Pemerintah Diminta Pangkas Jatah Negara dalam Kontrak Migas

Administrator - Selasa, 10 Mei 2016 - 16:12:44 wib
Pemerintah Diminta Pangkas Jatah Negara dalam Kontrak Migas
Rata-rata PSC di Indonesia mensyaratkan bagian negara sebesar 81 persen, jauh lebih besar dibandingkan negara lain yang hanya mengutip bagi hasil 62-70 persen. CNN
RADARRIAUNET.COM - Pemerintah diminta mengurangi porsi negara di dalam kontrak bagi hasil produksi (Production Sharing Contract/PSC) minyak dan gas bumi (migas). Pasalnya dengan jatah negara yang terbilang besar saat ini, bisa menjadi disinsentif bagi kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) untuk melakukan investasi di tengah kondisi harga minyak yang rendah.
 
Manager of Upstream Oil and Gas Woodmack Mackenzie Andrew Harwood mengatakan pemerintah jelas membutuhkan uang investor untuk menggarap sektor hulu migas, terutama di kawasan Indonesia Timur yang belum banyak di eksplorasi.
 
"Di Indonesia Timur masih banyak potensi yang perlu diujicoba. Tapi kalau perusahaan top migas tidak tertarik ya siapa lagi yang mau menjamah wilayah itu. Menurut kami, salah satu insentif yang paling baik adalah mempertimbangkan penambahan porsi KKKS karena dana yang keluar juga banyak," ujar Harwood di Jakarta, Selasa (10/5).
 
Apalagi menurutnya, saat ini jatah bagian negara di dalam kontrak PSC di Indonesia rata-rata sebesar 81 persen. Angka ini, menurutnya, jauh lebih besar dibandingkan rata-rata bagian Pemerintah negara-negara Asia Pasifik sebesar 70 persen dan bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata negara di dunia yang menganut sistem PSC dengan besaran 62 persen.
 
Dengan adanya insentif tersebut, ia yakin kegiatan eksplorasi di Indonesia bisa bertahan di tengah penerimaan KKKS yang berkurang sebagai imbas pelemahan harga minyak dunia. Eskplorasi ini, tambahnya, juga sangat penting karena Indonesia butuh cadangan migas yang lebih banyak kedepannya.
 
"Kalau tidak ada eksplorasi, maka tidak ada cadangan baru mengingat Indonesia sudah kekurangan 50 persen cadangan terbuktinya dalam beberapa tahun terakhir. Dibanding Malaysia dan Australia, eksplorasi Indonesia bisa dibilang mengecewakan dalam lima tahun terakhir," terangnya.
 
Kebijakan Fiskal
 
Harwood mencatat, sepanjang tahun ini nilai investasi di sektor hulu migas diperkirakan mencapai US$7 miliar. Namun sebagian besar ditanamkan pada lapangan-lapangan yang sudah berproduksi atau bahkan yang telah melewati puncak produksinya. Hal ini, jelasnya, jauh berbeda dengan tren negara-negara penghasil migas lain yang mulai memfokuskan investasi di lapangan-lapangan non-mature.
 
Dengan angka investasi yang terbilang kecil, ia sangat menyayangkan jika uang tersebut hanya digelontorkan bagi lapangan yang sudah tua. Maka dari itu, diperlukan insentif agar KKKS mau menggarap lapangan-lapangan baru serta mau melakukan eksplorasi.
 
"Dan mengubah rezim fiskal agar lebih menarik memang terbilang penting," ujar Andrew.
 
Menurut data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas), saat ini Indonesia memiliki 228 wilayah kerja eksplorasi yang tersebar di seluruh Indonesia.
 
Di dalam Rencana Kerja dan Anggaran (Work Program and Budget/WP&B) SKK Migas tahun ini, rencana program eksplorasi tercatat terdiri dari pengeboran 151 sumur eksplorasi. Angka ini lebih optimis dibandingkan tahun sebelumnya dimana 55 pengeboran sumur eksplorasi berhasil terealisasi dari 157 rencana pengeboran.
 
Selain itu, SKK Migas juga mencatat rencana seismik 2D sepanjang 11.126 kilometer, dan seismik 3D seluas 5.361 kilometer persegi sebagai bagian dari eksplorasi.
 
 
 
Alex harefa/Cnn/ RRN