Ulur-Tarik Omnibus Law Ketenagakerjaan

Administrator - Rabu, 15 Januari 2020 - 12:50:48 wib
Ulur-Tarik Omnibus Law Ketenagakerjaan
Razali Ritonga. Foto: Mi

RADARRIAUNET.COM: Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan kini tengah merampungkan draf omnibus law ketenagakerjaan sebagai salah satu dari 11 klaster omnibus law cipta lapangan kerja.

Adapun 11 klaster lainnya ialah penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, pemberdayaan, perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, serta dukungan riset dan inovasi. Lalu, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, ketenagkerjaan, pengadaan lahan investasi dan proyek pemerintah, serta kawasan ekonomi.

Dari 11 klaster itu, klaster ketenagakerjaan merupakan hal yang perlu mendapat perhatian serius karena berkaitan dengan ketiga pilar sekaligus, yakni pemerintah, buruh, dan dunia usaha. Dalam konteks itu, pemerintah berkepentingan agar omnibus law ketenagakerjaan dapat meningkatkan aliran investasi, meningkatkan kesempatan kerja, dan pertumbuhan ekonomi.

Sementara itu, buruh berkepentingan dalam soal kesejahteraan, terutama pengupahan, pesangon, dan jam kerja. Sebaliknya, dunia usaha berkepentingan dalam hal efisiensi melalui penciutan biaya operasional perusahaan yang kerap menyasar pengeluaran untuk buruh, seperti upah dan pesangon. Ulur-tarik antara buruh dan dunia usaha sebelumnya kerap terjadi, khususnya dalam penetapan upah minimum.

Dalam konteks itu, salah satu aspek penting yang mendapat sorotan serius ialah upah kerja per jam. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebutkan keberatannya terhadap rancangan omnibus law ketenagakerjaan, terutama sistem upah per jam untuk pekerja di bawah upah minimum pekerja formal (Media Indonesia, 28/12/2019).

Dampak upah per jam

Pemberlakuan upah per jam kini menjadi alternatif lain dalam penentuan upah di Tanah Air, yang sebelumnya melalui UU No 13 Tahun 2013 hanya didasarkan pada upah minimum.

Dalam rancangan omnibus law ketenagakerjaan, upah minimum berlaku pada buruh yang bekerja pada jam kerja normal, yaitu 40 jam per minggu. Sementara itu, untuk buruh yang bekerja di bawah jam kerja normal akan diberikan upah per jam sehingga hal ini menjadi kekhawatiran buruh bahwa upah yang diterima bakal lebih rendah dari upah minimum.

Dengan pemberlakuan upah per jam dikhawatirkan persentase pekerja di bawah jam kerja normal yang kini terbilang tinggi akan kian meningkat. Hasil Sakernas Agustus 2019 menunjukkan sekitar 28,8% pekerja bekerja kurang dari jam kerja normal atau kurang dari 35 jam seminggu. Meningkatnya persentase pekerja di bawah jam kerja mencerminkan kian menurunnya produktivitas nasional.

Meski penurunan produktivitas itu barangkali bersifat sementara karena pekerja di bawah jam kerja normal akan mencari tambahan kerja pada usaha lain, tapi hal itu akan menimbulkan persoalan baru. Jelasnya, pemberlakuan upah per jam akan meningkatkan pekerja rangkap, yang pada tahap lanjut akan menurunkan kesempatan kerja bagi mereka yang masih menganggur.

Selain berpotensi menurunkan pendapatan, pemberlakuan upah per jam juga dikhawatirkan menyebabkan ketidakpastian dalam hal pesangon jika terjadi PHK. Berbeda halnya dengan buruh dengan jam kerja normal yang tidak hanya mendapat upah minimum, tapi juga uang pesangon sesuai dengan UU No 13 Tahun 2013. Maka, pemberlakuan upah per jam berpotensi akan kian menurunkan kesejahteraan buruh.

Padahal, kesejahteraan buruh di Tanah Air jika dibandingkan dengan sejumlah negara lain, terutama di ASEAN, kini masih terbilang rendah. Hal itu antara lain terekam dari tingginya persentase pekerja miskin dengan pendapatan kurang dari US$3,10 per hari berdasarkan ukuran paritas daya beli (purchasing power parity/PPP) .

Laporan UNDP (Statistical Update, 2018) menyebutkan bahwa pekerja miskin di Tanah Air (27,6%) lebih tinggi dari Singapura (0,3%), Thailand (0,6%), Malaysia (1,1%), Vietnam (7,8%), dan Filipina (18,2%).

Distorsi pekerjaan layak

Dengan potensi menurunnya pendapatan buruh dengan upah per jam, hal itu akan melemahkan daya beli buruh yang pada gilirannya rentan jatuh miskin bagi mereka yang sebelumnya tidak miskin. Hal ini pada gilirannya akan mendistorsi keinginan untuk mewujudkan pekerjaan layak (decent work) bagi semua pada 2030 seperti tertuang pada gol delapan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs).

Menurut Badan Perburuhan Internasional (ILO), pekerjaan layak ialah kesempatan kerja produktif dengan upah memadai, keamanan bekerja, proteksi sosial, prospek pengembangan diri, kebebasan beraspirasi, serta turut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan untuk kehidupan pekerja.

Secara faktual, perjuangan untuk mewujudkan pekerjaan layak untuk semua hingga kini masih cukup berat. Hal ini mengingat target pemenuhan itu sejatinya tidak hanya untuk pekerjaan formal yang jumlahnya hanya 2/5 (44,28%) dari seluruh tenaga kerja di Tanah Air. Pekerjaan layak juga perlu diwujudkan pada pekerjaan informal, yang justru merupakan pekerja terbanyak (55,72%).

Dengan upah per jam juga dikhawatirkan buruh kurang memiliki kesempatan untuk pengembangan diri dan turut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di tempat bekerja sebab untuk upaya pengembangan diri diperlukan peningkatan keterampilan dan pengembangan karier sehingga mereka tidak selamanya terjebak dalam pekerjaan kerah biru (blue collar).

Maka atas dasar itu diperlukan rencana matang dalam penyusunan draf omnibus law ketenagakerjaan agar tidak mencederai kesejahteraan buruh.

Dalam konteks itu, ketiga pilar, yakni pemerintah, buruh, dan dunia usaha barangkali perlu duduk bersama untuk penyempurnaan penyusunan draf yang sekaligus diharapkan dapat mnghentikan ulur-tarik antara buruh dan dunia usaha, terutama dalam soal jam kerja, upah, dan pesangon.

Secara faktual, upaya peningkatan kesejahteraan buruh, khususnya dalam hal pendapatan dan pengembangan karier, tidak hanya untuk mewujudkan pekerjaan layak, tetapi juga menjadi bagian penting dari peta jalan keluar jeratan kelas menengah (middle income trap).

 

RR/MI