Mengakselerasi Perusahaan Negara

Administrator - Kamis, 05 Desember 2019 - 12:57:07 wib
Mengakselerasi Perusahaan Negara
Ilustrasi. Foto: Mi

RADARRIAUNET.COM: Menilai kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tak pernah bisa linier. Keberadaan BUMN tak bisa dipisahkan antara fungsi komersial di satu sisi dan fungsi pelayanan masyarakat di sisi yang lain. Bahkan, dalam fungsi komersial mereka pun, BUMN masih diwajibkan 'menyumbang' keuntungan kepada negara, sang pemegang saham utama.

Dualisme fungsi itu sebetulnya sah-sah saja. Pemerintah meminta bagian dividen dari keuntungan BUMN juga merupakan hal yang lumrah. Yang kerap kebablasan ialah cara mereka, para BUMN, dalam menerjemahkannya. Demi mengejar untung, sebagian dari mereka punya kebiasaan tak lazim, yakni merambah sektor yang sebetulnya bukan fokus mereka.

Sebagai contoh, BUMN yang bergerak di bidang nonhotel, tapi punya anak usaha yang menjalankan bisnis perhotelan. Contoh lain, BUMN di sektor jasa pengiriman, punya anak perusahaan properti.

Bahkan, seperti yang diungkapkan Menteri BUMN Erick Thohir dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR, Senin (2/12), rupanya hampir semua perusahaan pelat merah memiliki hotel.

Tidak fokus dan tak setia dengan core business tentu sebuah kebiasaan buruk. Dalam bahasa yang lebih keras, itu mengkhianati spirit penentuan bidang usaha setiap BUMN yang pasti sudah dipertimbangkan pada awal pendiriannya dulu.

Tak mungkin BUMN didirikan untuk fokus di bidang tertentu tanpa memikirkan asas kemanfaatannya kelak, baik terhadap masyarakat maupun terhadap negara dari sisi ekonomi.

Betul, contoh berhasil dari BUMN lintas bidang memang ada. Namun, perilaku yang tidak fokus dan gemar merambah semua bidang usaha pasti punya risiko tinggi.

Bila dilakukan tanpa perencanaan dan strategi, juga tanpa eksekutor yang mumpuni, alih-alih dapat untung, malah bisa menjadi penyebab kebangkrutan BUMN.

Akan tetapi, faktanya, itulah jalan yang kini banyak dipilih BUMN. Sebagian untuk menyelamatkan diri dari tekanan usaha di bidang yang mereka geluti. Sebagian lain demi nafsu ekspansi dan merambah sektor-sektor yang sedang trending dan dinilai punya prospek baik.

Celakanya, dengan bisnis yang tak fokus dan melebar ke mana-mana, nyatanya dari 142 BUMN yang ada saat ini hanya 15 perusahaan yang memberi keuntungan. Pada sisi yang lain, fungsi pelayanan kepada masyarakat juga tak maksimal.

Artinya, apa yang dilakukan sebagian besar BUMN dengan memanjangkan jangkauan ke berbagai sektor yang tak jelas ialah sebuah langkah yang salah. Langkah yang justru membuat pemerintah mesti menyuntikkan modal besar demi meningkatkan kinerja mereka. Negara tak jadi untung, malah buntung.

Melihat fakta itu, kita jadi bisa memaklumi kegeraman Menteri Erick. Geramnya Erick mestinya bisa menjadi pintu masuk untuk mulai serius membenahi BUMN secara total. Sebelum ini, jargon pembenahan BUMN acap kita dengar, tapi hasilnya hampir nihil. BUMN tetap saja menjadi objek perahan dan eksploitasi bagi sebagian orang dan kelompok.

Jangan sampai janji pembenahan hanya jadi lengkingan merdu dari seorang menteri baru di depan parlemen, tapi kemudian melempem pada saat eksekusi.

Termasuk rencana Erick yang ingin mengubah konsep superholding menjadi subholding BUMN untuk mengembalikan perusahaan pelat merah ke bisnis inti masing-masing, jangan pula hanya ingin sekadar berbeda dengan menteri sebelumnya.

Harus ada langkah nyata secepatnya. Mesti ada tahapan jelas dari sekarang hingga lima tahun ke depan, pembenahan BUMN seperti apa yang ingin dicapai.

Pembenahan tentu saja bukan cuma untuk merapikan fokus BUMN dan menyelamatkan BUMN yang sakit, melainkan juga mengakselerasi BUMN-BUMN yang sudah unggul agar bisa bersaing di kancah global.

Sekali lagi, menilai kinerja BUMN tak bisa linier, membenahi mereka pun tidak bisa dengan cara-cara linier.

 

RR/MI