Raperda KTR DKI Berisiko Kuatkan Bisnis

Administrator - Jumat, 10 Oktober 2025 - 22:44:37 wib
Raperda KTR DKI Berisiko Kuatkan Bisnis
Ratusan massa pedagang protes menyatakan kekecewaan mereka pada Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR) DPRD DKI Jakarta, Kebon Sirih, Selasa (7/10/2025). (foto.dok.wartakota)

Radarriau net | Jakarta  – Polemik Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di tempat hiburan Jakarta makin melebar setelah sejumlah ekonom dan pakar tata kota menyuarakan kekhawatiran yang melampaui sekadar penurunan omzet. Mereka menilai penerapan KTR yang terlalu kaku di tempat hiburan dapat memunculkan konsekuensi ekonomi yang tidak terduga dan merugikan daerah.

Kekhawatiran 'Bisnis Gelap' dan Distorsi Pasar

Tom Pasaribu, seorang pengamat ekonomi dan kebijakan publik, menyoroti bahwa larangan merokok di dalam tempat hiburan malam tidak realistis dan berpotensi menimbulkan distorsi pasar yang serius.

"Di negara manapun, industri malam selalu identik dengan kebebasan tertentu, termasuk merokok. Jika Jakarta melarang keras, Anda tidak hanya mendorong pelanggan ke luar, tetapi juga berpotensi menciptakan 'bisnis gelap' di dalam kota," ujar Pasaribu.

Menurut analisisnya, alih-alih menyediakan Ruangan Khusus Merokok (RKM) yang mahal dan rumit, beberapa tempat hiburan kecil mungkin memilih untuk tetap mengizinkan merokok secara sembunyi-sembunyi, menghindari pengawasan, dan menjadikannya sebagai 'nilai jual' terselubung. Hal ini justru melemahkan upaya penegakan hukum dan menempatkan bisnis yang patuh pada kerugian.

Peningkatan Pengangguran di Kawasan Perbatasan

Pasaribu juga mendukung kekhawatiran Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Asphija) mengenai potensi PHK massal.

"Dampaknya ganda. Pertama, terjadi pengurangan karyawan di Jakarta karena omzet anjlok. Kedua, pertumbuhan pesat bisnis hiburan di kota-kota perbatasan, yang ironisnya akan menyerap tenaga kerja dari Jakarta yang baru di-PHK. Ini adalah transfer masalah sosial dan tenaga kerja ke wilayah tetangga, sementara PAD Jakarta yang terdampak," jelasnya.

Ia mendesak DPRD agar membuat Kajian Dampak Ekonomi (KDE) yang transparan sebelum Raperda disahkan. Tanpa KDE yang mendalam, aturan ini dinilai hanya didasarkan pada keinginan tanpa perhitungan risiko fiskal yang matang.

Respons Pemprov DKI: Berjanji Mencari Titik Tengah

Menyikapi rencana unjuk rasa Asphija dan analisis kritis dari para pakar, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melalui Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) menyatakan siap menampung aspirasi semua pihak.

Kepala Bidang Industri Pariwisata Disparekraf DKI, Iffan Wahyudi, menegaskan bahwa Pemprov berkomitmen untuk mencari solusi yang adil (win-win solution) yang menyeimbangkan antara perlindungan kesehatan dan keberlangsungan usaha.

"Kami menyadari betul bahwa industri hiburan menyumbang banyak bagi PAD dan lapangan kerja. Raperda ini masih dalam tahap rancangan, dan kami akan mendorong dialog segitiga antara Pemprov, DPRD (Pansus), dan perwakilan pelaku usaha," kata Iffan.

Pemprov DKI saat ini sedang mengkaji opsi-opsi regulasi, termasuk kemungkinan penerapan zona merokok semi-terbuka yang lebih fleksibel di fasilitas hiburan malam, atau skema insentif pajak bagi pengusaha yang menyediakan RKM dengan standar kesehatan tertinggi, sebagai upaya meredam penolakan dan menghindari dampak ekonomi yang terburuk.

Iffan berharap aksi demonstrasi 14 Oktober dapat berjalan tertib dan dijadikan momentum untuk membuka ruang negosiasi yang lebih konstruktif.

(Ig)