BEBERAPA hari belakangan ini kembali terjadi polemik pro-kontra revisi UU terkait dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Seluruh fraksi yang ada di DPR dengan suara bulat sepakat atas revisi UU KPK tersebut. Sebaliknya, KPK dan para pegiat antikorupsi menentang rencana revisi UU KPK tersebut, dengan alasan bahwa materi revisi akan melemahkan KPK sehingga tidak sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi.
Jika mencermati dan mengikuti proses perjalanan revisi UU KPK tersebut, penyusun UU menggunakan paradigma pencegahan korupsi. Meskipun di luar paradigma pencegahan dalam substansi revisi UU KPK tersebut, ada beberapa penyesuaian terhadap mekanisme kerja seperti penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang selama ini tidak dikenal, hal lainnya, misalnya, penambahan organ dewan pengawas.
Terlalu prematur secara hukum jika menyimpulkan bahwa KPK sedang dalam keadaan darurat atau sedang dilemahkan. Kekhawatiran banyak pihak terkait dengan isu pelemahan KPK tersebut sesungguhnya belum terbukti, meskipun hal tersebut tetap harus diapresiasi sebagai bentuk partisipasi publik. Saat ini seluruh elemen masyarakat setuju bahwa korupsi sudah menggerogoti bangsa secara masif dan harus segera diakhiri.
Kini sebenarnya, jika dilihat secara jernih, polemik yang terjadi di masyarakat sebenarnya terletak pada cara dan paradigma pemberantasan korupsi. Misalnya, sebagian pihak menilai bahwa cara mengakhiri ancaman bahaya korupsi ialah dengan mencegah korupsi itu sendiri sehingga revisi UU KPK tidak dipandang sebagai bentuk ancaman maupun pelemahan terhadap KPK dan pemberantasan korupsi. Sebaliknya, bagi masyarakat yang memiliki paradigma bahwa cara mengakhiri ancaman korupsi dengan melalui upaya pemberantasan, upaya revisi UU KPK dipandang sebagai upaya pelemahan terhadap KPK.
Sejatinya perlu dipahami, masyarakat harus melihat secara jernih, baik cara pencegahan maupun pemberantasan, memiliki tujuan sama untuk kebaikan bangsa sehingga isu pelemahan KPK dalam hal ini perlu dieliminasi. Hal yang kini harus dilakukan ialah menguraikan cara pemberantasan dan pencegahan yang tepat serta mengompromikan dalam revisi UU KPK.
Pencegahan vs pemberantasan
Masyarakat harus sadar bahwa dalam hal ini tujuan bersama ialah mengakhiri korupsi yang sudah akut di Indonesia, bukan justru terbelah oleh kubu pro dan kontra pada revisi UU KPK. Fokus sebenarnya dalam hal ini ialah sesegera mungkin mengakhiri korupsi. Saat ini Indonesia sudah masuk pada fase yang sangat memprihatinkan dan hampir setiap hari masyarakat disuguhi berita OTT KPK.
Jepkin (2008), menguraikan bahwa cara terbaik mengakhiri tindakan korupsi yang sudah akut ialah dengan mencegahnya sebab pencegahan akan memakan waktu yang lebih cepat, mengingat esensi pencegahan ialah menjauhkan pelaku dan (calon) pelaku dari akses dan potensi guna terjadinya korupsi. Dalam hal ini pembentuk UU harus memikirkan pembatasan akses untuk terjadinya korupsi, evaluasi pada aspek yang kerap dieksploitasi, semisal anggaran proyek pemerintah harus segera dilakukan.
Paradigma pencegahan sebenarnya juga merupakan salah satu cara yang sangat efektif untuk mengakhiri korupsi dengan pembatasan pada akses pada hal-hal yang dapat dieksploitasi. Itu karena dengan pencegahan yang berhasil justru tidak melahirkan perbuatan jahat (dalam hal ini korupsi) dan tidak ada kerugian negara. Kini pada fase penyusunan revisi UU KPK tersebut, fokus pencegahan ialah pengaturan pembatasan akses pada sumber sumber yang rawan tereksploitasi sehingga korupsi dapat dihindari.
Pada prinsipnya paradigma pencegahan menitikberatkan pada tidak adanya kesempatan korupsi. Meskipun dalam hal ini tidak terjadi korupsi karena tidak ada kesempatan, bukan berarti tak ada korupsi. Itu karena masyarakat sadar bahwa korupsi sangat merugikan bangsa. Sebaliknya, bagi pihak yang menggunakan paradigma pemberantasan untuk mengakhiri korupsi, menekankan pada efek jera bagi pelaku korupsi.
Kritik terhadap mazhab ini ialah pemberantasan yang menekankan pada hukuman yang berat dan penindakan yang progresif sekalipun menghasilkan efek jera. Namun, dalam hal ini kejahatan korupsi sudah terjadi dan kerugian sudah diderita negara. Ditambah lagi bahwa proses penegakan hukum dipandang belum mampu menghasilkan efek jera yang optimal bagi pelaku korupsi. Bisa dilihat sepanjang 2018-2019 peninjauan kembali pada perkara korupsi cenderung menghasilkan potongan hukuman bagi koruptor.
Gabriel Tarde (1986) menguraikan bahwa mengakhiri kejahatan dengan model pemberantasan akan menghasilkan berhentinya kejahatan karena rasa takut dari pelaku atau orang yang akan melakukan kejahatan tersebut. Artinya, jika efek pemberantasan tersebut tidak cukup menghasilkan rasa takut, efek jera yang dihasilkan dari model pemberantasan tersebut tidak akan terwujud.
Dalam hal ini mustahil rasanya jika mengakhiri korupsi hanya dengan pemberantasan maupun pencegahan. Mengakhiri korupsi yang telah akut harus dengan keduanya, yakni pencegahan dan pemberantasan sehingga tindakan koruptif akan dapat diakhiri. Dalam hal ini ialah hal yang tepat jika peran pencegahan KPK diperkuat, bahkan ketika revisi UU KPK banyak mengakomodasi aspek pencegahan hal tersebut merupakan hal yang positif. KPK merupakan lembaga ad hoc dengan tujuan merubah keadaan, dari korupsi sebagai sebuah kewajaran, menjadi terciptanya budaya antikorupsi. Hal-hal inilah yang harus menjadi tujuan dari pencegahan.
Masyarakat perlu menyadari bahwa pelemahan bukan terjadi dengan revisi UU KPK, melainkan pelemahan justru akan terjadi jika substansi revisi UU KPK tidak efektif untuk mengakhiri praktik korupsi akut yang terjadi di negeri ini. Dalam hal ini optimisme perlu dibangun melalui pandangan bahwa revisi UU KPK diperlukan untuk memperkuat KPK dan upaya mengakhiri praktik korupsi, baik melalui pencegahan maupun pemberantasan yang efektif.
Tidak dapat dimungkiri bahwa UU KPK yang ada saat ini masih memiliki sejumlah kekurangan sehingga dalam hal ini seluruh komponen harus melihat revisi UU KPK sebagai peluang penguatan dan optimalisasi KPK. Revisi UU KPK harus mengakomodasi sisi pemberantasan dan pencegahan yang optimal. Jika kelak ternyata substansi revisi UU KPK justru nyata-nyata terbukti melemahkan upaya pemberantasan korupsi, dalam hal ini ketentuan tersebut masih dapat diuji melalui proses judicial review di Mahkamah Konstitusi
RRN/MI