Berebut Suara Jenderal Tua di Medan Pilpres

Administrator - Senin, 11 Februari 2019 - 10:23:52 wib
Berebut Suara Jenderal Tua di Medan Pilpres
Pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 Joko Widodo dan Ma'ruf Amin serta pasangan capres dan cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. cnni pic

Jakarta: Di masa kampanye seperti saat ini, ruang publik tak hanya riuh dengan perdebatan masing-masing anggota timses peserta Pilpres 2019. Panorama politik Indonesia juga dibanjiri oleh berita tentang aliran dukungan dari berbagai kelompok masyarakat kepada paslon pilpres.

Mulai dari kelompok pengemudi ojek online, alumni universitas, hingga kelompok ulama. Termasuk pula dukungan dari purnawirawan TNI dan Polri yang sudah memiliki hak pilih pascapensiun.

Badan Pemenangan Nasional (BPN) mengklaim 2.500 purnawirawan TNI/Polri mendeklarasikan dukungan kepada Prabowo pada 31 Januari lalu. Momen itu terjadi di kediaman Prabowo, Hambalang, Bogor.

Prabowo mengucapkan terima kasih atas dukungan yang diberikan. Dia mengajak para veteran untuk ikut berperan membangun bangsa.

"Terimakasih atas kehadiran dan dukungan yang diberikan kepada saya dan saudara Sandiaga Uno. Mari kita berjuang bersama mewujudkan cita-cita pendiri bangsa kita, menciptakan Indonesia yang adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia," tutur Prabowo kala itu.

Capres petahana Joko Widodo juga sudah memperoleh dukungan dari kelompok purnawirawan TNI dan Polri. Ketua panitia Laksamana Madya purn Iskandar Sitompul mengklaim ada 1.000 pensiunan TNI dan Polri yang memberikan dukungan. Acara deklarasi dihelat di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta, Minggu (10/2).

Seperti halnya Prabowo, Jokowi seolah merasa tersanjung mendapat dukungan dari para veteran. Jokowi, atas nama paslon nomor urut 01, mengucapkan terima kasih atas dukungan yang diberikan.

"Ini adalah dukungan yang memberi semangat kepada kami berdua. Untuk bekerja lebih baik lagi," kata Jokowi, seperti sitat CNN Indonesia, Senin (11/2/2019).

Peneliti militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan sebenarnya tidak ada keuntungan yang besar dari sisi politik dari dukungan yang diberikan para veteran. Dia mengamini bahwa pensiunan TNI/Polri memiliki hak pilih. Namun, jumlahnya tak besar.

Menurut Khairul, keuntungan bagi peserta capres hanya sekadar soal persepsi publik.

"Lebih banyak diuntungkan dari sisi persepsi publik saja," tutur Khairul seperti sitat CNNIndonesia.com, Senin (11/2/2019).

Menurut Khairul, masih banyak kalangan di masyarakat yang menganggap bahwa pilihan para tentara patut diikuti. Itu pun tergantung siapa tokoh purnawirawan yang memberikan dukungan.

Apabila ada sosok populer dan diagungkan di masa mudanya, maka capres yang diberikan dukungan akan mendapat aura positif. Sebaliknya, jika ada mantan tentara dengan riwayat kontroversi memberikan dukungan, maka persepsi negatif tersemat pada capres yang bersangkutan.

"Cenderung negatif bagi pembentukan persepsi publik," ucap Khairul.

Dia memberi contoh Mayjen TNI purn Muchdi PR yang baru saja memberikan dukungan kepada Jokowi-Ma'ruf bersama ribuan purnawirawan lainnya. Menurut Khairul, hal itu bisa saja malah menjadi kontraproduktif atau merugikan Jokowi-Ma'ruf.

Namun, lanjut Khairul, dukungan dari para veteran tetap penting bagi Jokowi. Terlepas ada satu atau dua orang yang memiliki riwayat kontroversi. Menurut dia, dukungan mantan prajurit kepada Jokowi berguna untuk mengimbangi persepsi publik.

Dengan kata lain, Prabowo atau pendukungnya boleh saja memamerkan diri berasal dari kalangan militer yang dikenal memiliki budaya tegas nan disipilin. Tetapi, Jokowi atau pendukungnya bisa turut melawan persepsi tersebut karena telah mendapat dukungan atau kepercayaan dari para mantan jenderal.

"Dukungan 'tentara' sejauh ini masih dianggap membawa pengaruh positif," ucap Khairul.

Menyoroti Gen Tentara Indonesia

Khairul kemudian menyinggung soal gelagat para purnawirawan yang seolah tak mau jauh dari lingkaran kekuasaan meski sudah pensiun dari kedinasan. Menurut dia, itu nampak ketika mereka memberikan aliran dukungan kepada tokoh yang akan menjadi pemimpin negara.

Khairul mengatakan gelagat itu memang ciri khas tentara Indonesia sejak dulu. Dia menyebutnya sebagai hasrat praetorian.

"Hasrat praetorian sangat sulit untuk hilang," ucap Khairul.

Khairul menjelaskan bahwa militer Indonesia lahir saat emosi terhadap penjajah tengah meluap-luap. Implikasinya, lanjut Khairul, tentara menjadi sulit memposisikan diri sebagai prajurit profesional atau sebagai pejuang.

Kemudian, jati diri tentara menjadi bersifat praetorian. Hal itu masih terjadi hingga hari ini.

"Karena itu, pelibatan mereka dalam even-even politik selalu dimaknainya sebagai sesuatu yang heroik, sebagai kontribusi terhadap keselamatan dan keutuhan bangsa dan negara," tutur Khairul.

Khairul kemudian beranjak ke soal anatomi kelompok purnawirawan yang mendukung Prabowo dan Jokowi. Dia mengamini bahwa mereka yang mendukung kedua paslon adalah dua kelompok yang berbeda.

Meski begitu, Khairul tak yakin kedua kelompok tersebut benar-benar menjangkarkan keberpihakannya secara total kepada paslon yang mereka dukung. Khairul menilai justru ada agenda tersembunyi dari militer untuk tetap mendapat posisi di kekuasaan.

"Saya meragukan ini sebagai bentuk keberpihakan full," kata Khairul.

Khairul menegaskan bahwa anggota TNI/Polri aktif memang tidak boleh berpihak dalam kontestasi politik. Namun di sisi yang lain, Khairul menilai TNI/Polri pun tidak ingin diasingkan terlalu jauh atau dirugikan oleh pemerintah yang berkuasa selanjutnya.

Demi mencegah hal tersebut terjadi, maka para purnawirawan yang bergerak. Tentu karena kini sudah memiliki hak pilih dan bisa 'berpura'pura' berpihak ke salah satu paslon.

"Saya memaknai terbelahnya dukungan para purnawirawan itu bukanlah bentuk perpecahan, melainkan bentuk pembelahan. Tentu agar siapapun yang menang, tetap ada yang bisa memastikan bahwa rezim itu tak akan merugikan kepentingan 'militer'," kata Khairul.

"Para purnawirawanlah instrumen yang paling mungkin digunakan sebagai kepanjangan tangan. Hidden agenda para praetorian terlalu riskan jika hanya ditumpukan pada salah satu paslon," ujar dia.


RRN/CNNI