RADARRIAUNET.COM: Perdebatan soal revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai acuan untuk pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang sudah dimulai dari sekarang. Proses revisinya sendiri baru akan dimulai Februari, tetapi 'pertarungan' mulai tampak. Terutama debat panas tentang ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT).
Pada UU Pemilu yang berlaku sekarang, PT ditetapkan sebesar 4% untuk DPR dan 0% untuk DPRD. Artinya, partai politik yang meraih suara di bawah 4% secara otomatis tidak lolos ke Senayan, alias gagal mendapatkan kursi di DPR. Namun, untuk kursi DPRD mereka masih bisa punya wakil.
Kini, untuk kepentingan Pemilu 2024, mulai muncul usulan untuk menaikkan ambang batas itu. PDIP dalam salah satu rekomendasi rakernas mereka, pekan lalu, mengusulkan PT naik menjadi 5% untuk DPR, 4% untuk DPRD provinsi, dan 3% untuk DPRD kabupaten/kota. Partai Golkar bahkan melempar wacana penaikan ambang batas parlemen menjadi 6%-7%.
Seperti yang sudah-sudah, perdebatan soal PT bakal alot. Kita ambil contoh pada 2011 ketika PT diusulkan naik dari 2,5% menjadi 3%-4% untuk Pemilu 2014. Saking alotnya perdebatan waktu itu, penentuan angka PT bahkan harus dibawa ke forum Rapat Paripurna DPR karena macet di pembahasan Badan Legislasi. Cerita yang sama bukan tidak mungkin akan terjadi lagi tahun ini.
Berkaca dari perdebatan soal PT yang hampir selalu muncul di setiap pembahasan revisi UU Pemilu itu, sesungguhnya kita mesti menyandarkannya pada sistem pemerintahan yang kita anut. Jika kita patuh pada sistem presidensial, semestinya kita juga mendukung keefektifan sistem itu dengan konsep kepartaian sederhana di lingkup parlemen.
Faktanya sistem multipartai di negeri ini bukanlah multipartai yang sederhana, malah cenderung mengarah ke multipartai ekstrem. Semakin banyak partai, semakin tinggi pula tarik ulur kepentingan politik di parlemen. Karena itu, suka tidak suka, yang kita butuhkan ialah penyederhanaan partai. Jika kita masih ingin mempertahankan sistem presidensial yang kuat, sistem multipartai yang sederhana mutlak diikhtiarkan.
Tentu saja menyederhanakan jumlah partai politik tidak bisa dipaksakan seperti era Orde Baru yang menjalankan taktik fusi (penggabungan) parpol dengan semena-mena. Di alam demokrasi, penyederhanaan partai haruslah dilakukan alami sekaligus bermartabat. Salah satunya melalui rekayasa perundang-undangan di bidang politik, yakni dengan cara menaikkan angka ambang batas parlemen di UU Pemilu.
Dengan perspektif seperti itu, semestinya tak perlu lagi ada perdebatan soal perlu naik atau tidaknya angka PT. Yang harusnya didebatkan ialah berapa angka dan proses yang ideal dari penaikan ambang batas tersebut. Apakah mesti bertahap hingga pada akhirnya mencapai level PT 10%, misalnya? Atau cukup sekali tahapan dengan angka penaikan yang cukup tajam, dari 4% (saat ini) menjadi 7%?
Hal itu penting karena penaikan angka ambang batas parlemen bukan semata-mata bertujuan menghasilkan pemerintahan efektif. Ikhtiar itu sesungguhnya juga dalam rangka membangun konsolidasi demokrasi melalui pelembagaan politik yang berbasis pada kepentingan rakyat.
Parpol yang hanya asal didirikan dan tak pernah bekerja untuk kepentingan rakyat memang akan selalu waswas dan ketakutan dengan aturan ambang batas tinggi itu. Parpol yang selama ini memperlakukan aspirasi rakyat masuk telinga kiri keluar telinga kanan tak bakal nyaman dengan angka PT tinggi.
Bagaimanapun, ambang batas parlemen yang tinggi ialah penyaring parpol terbaik untuk saat ini dan masa mendatang.
RR/MI