RadarRiau.net | Jakarta – Pelayanan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit, khususnya RSUD dan fasilitas rujukan BPJS Kesehatan, kembali menjadi sorotan tajam. Relawan Kesehatan Indonesia (Rekan Indonesia) menyoroti seringnya konflik antara pasien peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan tenaga medis, yang dipicu oleh perbedaan interpretasi mengenai kondisi gawat darurat.
Ketua Rekan Indonesia DKI Jakarta, Martha Tiana Hermawan, mengungkapkan bahwa mayoritas kasus yang dilaporkan berasal dari pasien yang merasa berada dalam kondisi darurat, namun klaim BPJS mereka ditolak karena pihak rumah sakit menilai sebaliknya. Meski tetap dilayani, pasien seringkali harus menanggung biaya pribadi.
“Pasien datang ke IGD dalam kondisi panik, berharap pertolongan cepat, tapi malah disuruh pulang atau bayar sendiri karena dianggap tidak gawat. Situasi ini terus berulang, dan BPJS Kesehatan tidak hadir untuk menyelesaikannya,” tegas Martha kepada awak media, Senin (14/7).
Regulasi Jelas, Implementasi Lapangan Masih Abu-abu
Martha menjelaskan bahwa meskipun regulasi mengenai layanan kegawatdaruratan telah diatur jelas dalam Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 1 Tahun 2019 dan Permenkes Nomor 47 Tahun 2018, yang menegaskan hak peserta JKN untuk mendapatkan layanan IGD tanpa rujukan jika mengalami kondisi mengancam nyawa, kesadaran, pernapasan, atau peredaran darah, praktik di lapangan berbeda.
Di lapangan, kata Martha, pasien kerap diminta menandatangani surat pernyataan kesediaan membayar, dengan alasan bahwa kondisi mereka tidak termasuk kategori darurat menurut penilaian sepihak petugas. “Penilaian itu sepihak. Tidak ada transparansi atau ruang klarifikasi bagi pasien,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa selama ini BPJS Kesehatan cenderung bersikap pasif dan tidak hadir sebagai mediator atau pembela hak peserta ketika ada komplain atau kerugian.
Lima Masalah Krusial di IGD yang Sering Dikeluhkan Masyarakat
Rekan Indonesia telah mengidentifikasi lima pola masalah yang paling sering dilaporkan oleh masyarakat terkait pelayanan IGD:
* Penilaian sepihak kondisi gawat darurat tanpa melibatkan penjelasan kepada keluarga pasien.
* Pembebanan biaya pribadi kepada pasien, meskipun datang dengan keluhan serius.
* Minimnya transparansi terkait status klaim BPJS dan alasan penolakannya.
* Diskriminasi layanan antara pasien umum dan pasien JKN, mulai dari antrean hingga pilihan obat.
* Pemberian surat pernyataan pembayaran dalam situasi tekanan, tanpa edukasi yang memadai.
Desakan Audit dan Edukasi kepada BPJS Kesehatan
Menurut Martha, BPJS Kesehatan tidak dapat lagi bersembunyi di balik regulasi. Ia menilai lembaga ini telah gagal dalam menjalankan peran edukatif dan pengawasan terhadap rumah sakit. “Jangan hanya rumah sakit yang disalahkan. Yang bikin sistem, yang pegang kendali klaim, dan yang terima iuran adalah BPJS Kesehatan. Maka mereka juga harus bertanggung jawab,” kata Martha dengan tegas.
Rekan Indonesia mendesak BPJS Kesehatan untuk segera:
* Melakukan audit layanan IGD secara berkala.
* Mengawasi sistem triase dan evaluasi keputusan status kegawatdaruratan.
* Menyediakan jalur aduan dan klarifikasi yang mudah diakses bagi peserta yang merasa dirugikan.
* Mengedukasi masyarakat secara masif terkait batasan layanan IGD yang ditanggung.
Martha menekankan bahwa sistem jaminan kesehatan seharusnya menjadi pelindung, bukan justru menimbulkan masalah baru bagi warga yang sedang sakit. “Orang datang ke IGD untuk ditolong, bukan diadili. BPJS Kesehatan tidak boleh abai. Mereka harus hadir, bertanggung jawab, dan berpihak kepada peserta, bukan sekadar angka di dashboard klaim,” pungkasnya.
[]