UNTUK kesekian kalinya, sebelum perhelatan Hari Kemerdekaan, saya berkesempatan memantau kegiatan para remaja yang akan bertugas sebagai Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) tingkat daerah di pusat pelatihan mereka. Saya menyaksikan wajah-wajah mereka yang penuh dengan cahaya gemilang.
Namun, tidak sebatas itu. Pada diri mereka juga terbayang sosok semacam Bung Karno yang tengah tafakur di bibir panggung menyimak pidato sang guru politiknya, HOS Tjokroaminoto. Salah satu kutipannya, "Lebih lama lebih dirasakan bahwa tidak patut lagi Hindia diperintah oleh Netherland, seperti tuan tanah mengurus persil-persilnya. Tidak patut lagi untuk memandang Hindia sebagai sapi perasan, yang hanya mendapat makan karena susunya. Tidak pantas lagi untuk memandang negeri ini sebagai tempat untuk didatangi dengan maksud mencari untung, dan sekarang juga sudah tidak patut lagi, bahwa penduduknya, terutama putra-buminya, tidak punya hak untuk ikut bicara dalam urusan pemerintahan yang mengatur nasibnya."
Ambisi HOS Tjokroaminoto untuk memerdekakan negeri dari kaum pencari untung yang datang dari negeri seberang, seolah-olah mengendap dalam alam bawah sadar insan-insan Indonesia dari satu generasi ke generasi berikutnya. Endapan itulah yang kemudian berpendar-pendar pada raga para amggota Paskibraka.
Juga membayang kisah kepahlawan Soerabaja tempo doeloe, yang para pemuda memilih menggunakan manuver garis keras dengan menduduki stasiun radio dan kantor polisi. Para pemuda itu berhimpun dalam unit bernama Bo-ei Teisintai. Barisan berani mati yang terinspirasi Jibakutai itu terdiri atas keigun heiho dan para pelajar SMP.
Tulis Asmadi dalam Pelajar Pejuang (terbitan Sinar Harapan, 1985), sekian banyak pelajar, bersama berbagai lapisan rakyat lainnya, terjun ke medan laga sambil menenteng bahan peledak. Dengan menjadi bom hidup, para pelajar yang berusia masih sangat belia itu lalu menabrakkan diri mereka ke kendaraan-kendaraan pasukan sekutu hingga rusak tak dapat difungsikan lagi.
Kesediaan untuk berkorban demi kebenaran dan kejayaan itu pula yang berdentam-dentam dari langkah tegap para anggota Paskibraka. Tapak-tapak kaki mereka mengguncang seluruh makhluk di kolong langit sehingga tercekat diam menjadi saksi bagaimana sang Dwiwarna mendaki ke singgasananya.
Orangtua mana yang tak bahagia sekaligus bangga memiliki darah daging yang dipercaya menjadi pengantar 'sang Berani dan sang Suci'. Namun, tak mungkin dimungkiri, pada saat yang sama, siapa orangtua yang tak kecewa bahkan berduka tatkala putra-putri mereka terhalang untuk menjadi pusat perhatian di puncak peringatan 17 Agustus. Terhalang karena mendadak sakit, menghilang tanpa kabar, atau bahkan mengembuskan napas terakhirnya.
Tentu, kita punya kesadaran bersama, Paskibraka harus sempurna. Jiwa dan raga. Akal dan budi pekerti. Ilmu dan takwa. Namun, sadar tak sadar, harapan sedemikian tinggi itu pula yang boleh jadi turut menghadirkan 'beban' di pundak mereka. Apa boleh buat, ada puluhan juta pelajar SMA yang sebenarnya juga bercita-cita ambil bagian dalam pasukan 17, pasukan 8, dan pasukan 45. Konsekuensinya, persaingan untuk ke sana pun menjadi tidak ringan.
Betapa pun demikian beratnya proses untuk itu, dan diksi yang mengemuka adalah 'pasukan', 'baris-berbaris', 'tegap sempurna', serta sejenisnya, tapi patut ditandaskan berulang-ulang bahwa Paskibraka bukanlah tentara. Mereka patriotik, tapi bukan prajurit. Paskibraka tetap warga sipil, dan warga sipil sudah seharusnya diperlakukan secara civil (penuh kesantunan).
Apalagi karena Paskibraka ialah kumpulan individu yang masih berada pada rentang usia anak (merujuk Undang-Undang Perlindungan Anak), proses tempaan terhadap mereka pun--tidak boleh tidak--mesti ramah anak.
Pada butir itulah saya merasa ada kebutuhan untuk menyamakan persepsi terkait dengan sakit atau pun wafatnya sejumlah anggota Paskibraka. Terlebih karena--harus saya katakan--tragedi wafatnya Paskibraka sesungguhnya bukan baru terjadi tahun ini saja. Sebelum Aurellia Qurratuaini, pada tahun-tahun sebelumnya, antara lain ada Agung Zainal Abidin, Aknes Yuriko, dan Aritya Syamsuddin.
Pemberitaan di media menyebut mereka meninggal dunia karena sakit. Sakit semasa menjalani pemusatan latihan dan hanya beberapa hari sebelum bertugas sebagai Paskibraka. Ada pula nama-nama lain yang disebut tewas karena kecelakaan.
Pada kasus Aurellia, misalnya, polisi menyatakan tidak ada unsur pidana di balik meninggalnya anak muda yang membanggakan itu. Pasalnya, polisi mengacu pada hasil pemeriksaan, menegaskan bahwa tidak ditemukan adanya tanda-tanda kekerasan.
Polisi sudah selesai menjalankan tugasnya. Wafatnya almarhumah Aurellia bukan merupakan kasus hukum. Namun, sebagaimana saya sampaikan di atas, karena Aurellia dan para Paskibraka lainnya ialah orang yang berpredikat anak, seluruh pemangku kepentingan sepatutnya menakar diri: seberapa jauh pelatihan bagi Paskibraka telah benar-benar ramah anak. Ini memang belum tentu mutlak persoalan pidana walau juga tidak bisa dipandang sebelah mata.
Karena itulah, meski kerja penegakan hukum telah berakhir, proses evaluasi dan audit terhadap program seleksi dan pelatihan patut tetap diselenggarakan. Inti audit ialah derajat ramah anak. Definisi operasional ramah anak dalam konteks seleksi dan pelatihan Paskibraka perlu dirumuskan secepatnya. Permenpora 65/2015 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Paskibraka dapat dijadikan sebagai acuan umum, setidaknya untuk saat ini, sampai nantinya tersedia panduan seleksi dan pelatihan ramah anak yang lebih teknis-operasional lagi.
Ke depan
Sampai pada alinea di atas, pusat perhatian saya ada pada anak-anak muda yang sejatinya sudah menerima amanah sebagai pengibar sang Merah Putih, tapi suratan tangan punya cerita berbeda.
Dari situ saya beranjak memandang Paskibraka sebagai aset bangsa. Presiden Jokowi belum lama ini mengutarakan keinginannya untuk membangun lembaga manajemen talenta dalam rangka mencari talenta-talenta istimewa di Indonesia. Pemerintah, kata Presiden, akan mengidentifikasi, memfasilitasi, dan memberikan dukungan kepada mereka. Tujuannya ialah agar sumber daya manusia berbakat yang hebat itu bisa membawa Indonesia lebih kompetitif di tataran global.
Paskibraka, di mata saya, ialah salah satu golongan talenta hebat Indonesia itu!
Selama ini, seusai menjalani misi mereka, para remaja yang tergabung dalam Paskibraka belum terlalu terkelola secara maksimal. Ikatan antaralumnus Paskibraka sering lebih cenderung berwarna sentimental. Pengelolaan dalam sebuah program besar, sebagaimana dikatakan Presiden, layak dikenakan pada para anggota Paskibraka tersebut. Dengan cara itu, pengembangan jiwa kepemimpinan mereka tidak hanya terhenti pada dimensi seremonial belaka, tapi juga benar-benar terasah sebagai talenta dengan jiwa kepemimpinan substantif.
Kiasan dari Bung Karno ialarelevan di sini. Kemerdekaan, ujar Bung Karno, hanyalah jembatan emas. Titian menuju cita-cita. Siapa pun yang melalui jembatan emas itu tetap harus berusaha keras dan memeras keringat, menggapai kejayaan yang diimpikannya. Begitu pula dengan Paskibraka.
Kesuksesan mengibarkan Sang Merah Putih 'hanya'-lah jembatan emas. Talenta-talenta belia itu masih harus terus dikembangkan dan kompak bahu-membahu agar bisa ikut berkiprah menggemparkan dunia. Mari kita catat: kemasyhuran Indonesia tidak hanya terletak di pucuk tiang bendera. Indonesia akan gilang-gemilang saat benderanya berada di puncak dunia. Kiranya Paskibraka senantiasa siap untuk ditempa menuju ke arah sana! Semoga.
RRN/MI