Alasan Pemerintah Tolak Kewenangan PDTT BPK Dihapus

Administrator - Rabu, 13 November 2019 - 16:05:49 wib
Alasan Pemerintah Tolak Kewenangan PDTT BPK Dihapus
Ilustrasi Gedung MK. Foto: INT

RADARRIAUNET.COM: Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materi Pasal 6 ayat (3) UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan (UU BPK) dan Pasal 4 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara terkait kewenangan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) dengan agenda mendengarkan keterangan pemerintah.

Kepala Biro Advokasi Kementerian Keuangan Tio Serepina Siahaan menilai kewenangan PDTT merupakan original intent pembentuk UU yang memberi ruang kepada BPK melakukan pemeriksaan secara menyeluruh dan mendalam terhadap pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang belum dapat ditemukan melalui pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan laporan keuangan semua lembaga negara baik pusat atau daerah,menyitat dari HKN Selasa (12/11/2019).

Ia menjelaskan Pasal 5 ayat (1) UU Pemeriksaan Keuangan Negara, seluruh pemeriksaan dilakukan BPK, baik pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, maupun PDTT harus mengacu pada standar pemeriksaan. Standar pemeriksaan disusun oleh BPK setelah berkonsultasi dengan pemerintah. Standar Pemeriksaaan Keuangan Negara (SPKN) mengacu pada The Generally Accepted Government Auditing Standard.

“Dalil Pemohon yang menyatakan PDTT mengakibatkan potensi adanya abuse of power terbukti dalil yang mengada-ada. Karena, seluruh pemeriksaan oleh BPK termasuk PDTT telah diatur secara ketat pelaksanaanya dan standar pemeriksaanya melalui SPKN,” kata Tio.

Menurutnya, Pemohon yang mempertanyakan mengapa ada lembaga negara yang sudah mendapatkan opini WTP tetap dikenakan PDTT menunjukkan kekurangpahaman terhadap proses pemeriksaan laporan keuangan dan makna dari WTP.

Sebab, opini WTP diberikan BPK setelah melakukan pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan atas laporan keuangan.Dia menerangkan yang diperiksa BPK saat mengeluarkan opini WTP hanya mengenai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah dengan mempertimbangkan aspek kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP); kecukupan pengungkapan sesuai yang diatur dalam SAP; kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan efektivitas sistem pengendalian intern.

“WTP bukanlah menjadi stempel pasti bahwa tidak terdapat pelanggaran pengelolaan keuangan negara pada lembaga dimaksud karena yang dinilai adalah apakah laporan keuangan itu sudah disusun secara wajar,” kata dia.Tio mengatakan sejak berlakunya UU Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan Negara dan UU BPK dengan adanya kewenangan pemeriksaan PDTT, BPK telah berhasil mengungkap banyakpenyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara baik penyimpangan pengelolaan keuangan negara oleh pihak-pihak yang mengelola keuangan negara, kementerian/lembaga pusat maupun daerah serta lingkungan badan usaha milik negara.

Pemerintah berharap MK bisa menghadirkan BPK sebagai Pihak Terkait untuk dapat memberikan penjelasan atas hasil pelaksanaan PDTT yang selama ini telah dilakukan BPK. Menurutnya, menghilangkan(menghapus) kewenangan PDTT BPK dapat menjadi celah hukum melemahkan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang dibuat pembentuk UU.

Sebab, UU BPK dibentuk dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan akuntabel untuk mencapai tujuan negara, mencapai masyarakat adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.

Menanggapi keterangan pemerintah, Hakim Konstitusi Saldi Isra menilai pemerintah belum memberikan keterangan yang spesifik, perbedaan pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan tujuan tertentu. “Nah,tolong ini dibuat keterangan tambahannya, bahwa pemeriksan tujuan tertentu itu apa saja dan apa karakteristik yang membedakan dengan pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja,” kata dia.

Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menambahkan semua negara demokrasi pasti memiliki BPK, namun apakah kewenangannya sama? “Jadi, pertanyaannya apakah pemeriksaan dengan tujuan tertentu itu memang suatu ciri yang universal berada di BPK seluruh dunia? Maksudnya, negara-negara demokrasi. Ini penting diberikan penjelasan agar diberikan gambaran kepada MK, sehingga bisa melihat permohonan ini lebih komprehensif.”Permohonan ini diajukan oleh  ahli hukum dari Universias Tarumanagara yakni Ahmad Redi dan ahli hukum dari Universitas Pancasila Muhammad Ilham Hermawan.

Pemohon menilai kewenangan pemeriksaan BPK dalam tujuan tertentu menimbulkan persoalan karena tidak memiiki kejelasan makna atas tujuan tertentu yang dimaksud, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum serta melanggar prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan.Pasal 6 ayat (3) UU BPK menyatakan, “Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu”.

Sedangkan Pasal 4 ayat (1) UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyatakan “Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.”

Pemohon berpendapat UU BPK sebagai UU organiknya tidak memberikan penjelasan terkait dengan PDTT. Namun, pengertian PDTT dijelaskan pada huruf B angka 3 dalam bagian penjelasan UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang merupakan tindak lanjut dari UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara. Penjelasan PDTT yang dimaksud adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja.

Menurut pemohon, basis kewenangan konstitusional BPK ialah pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Bila dimaknai secara tekstual gramatikal maka makna frasa Pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara yang menjadi wewenang konstitusional BPK ialah pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. “Bila ada wewenang lain di luar wewenang itu maka sejatinya kewenangan itu inkonstitusional, karena telah memperluas kewenangan konstitusional yang diberikan UUD 1945 secara eksplisit dan limitatif.

”Karena itu, Pemohon meminta kepada Mahkamah, agar Pasal 6 ayat (3) UU BPK terhadap frasa “dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Serta, Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jwab Keuangan Negara terhadap frasa “dan Pemeriksaan dengan tujuan tertentu,” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

 

RR/DRS/HKM