Jakarta: Manajer Umum GA & HRD PT Gajah Tunggal Tbk, Ferry Lawrentius Hollen mangkir dari panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tanpa alasan yang jelas.
Ferry sedianya diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
Ferry akan diperiksa untuk tersangka mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung.
"Saksi Ferry Lawrentius Hollen tidak hadir. Belum ada informasi terkait ketidakhadiran saksi," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah kepada media di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (1/11).
Belum diketahui secara pasti apa yang akan dikorek dari Ferry dalam kasus dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI, yang ditaksir merugikan negara Rp4,58 triliun.
Dugaan sementara, pemeriksaan terhadap Ferry untuk mendalami aset Sjamsul Nursalim di Gajah Tunggal. Taipan yang kini tinggal di Singapura sejak beberapa tahun lalu itu, memiliki saham di perusahaan ban tersebut.
KPK juga pernah memeriksa Direktur Utama PT Datindo Entrycom, Ester Agung Setiawan.
Datindo merupakan biro administrasi efek dan kerap mencatatkan saham-saham yang dicatatkan di luar negeri atau dual listing baik di Singapura, Australia, Amerika Serikat maupun London.
Sejauh ini, KPK belum berhasil memeriksa Sjamsul Nursalim, yang diduga diuntungkan dalam penerbitan SKL BLBI oleh Syafruddin. Sudah dua kali, surat panggilan penyidik KPK tak digubris Sjamsul Nursalim maupun istrinya Itjih Nursalim.
Sementara itu, penyidik KPK sudah memeriksa Syafruddin beberapa kali sebagai tersangka. Namun, Syafruddin yang kini bekerja di PT Fortius Investment Asia, belum ditahan. KPK masih terus mengumpulkan sejumlah bukti kasus ini.
Dalam kasus ini, Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham BDNI, masih memiliki kewajiban sebesar Rp4,8 triliun atas kucuran dana BLBI, saat Indonesia dilanda krisis ekonomi.
Dari total tagihan itu, Sjamsul Nursalim baru menyerahkan Rp1,1 triliun yang ditagihkan kepada petani tambak. Sementara, sisanya Rp3,7 triliun tak dilakukan pembahasan dalam proses restukturisasi BPPN, dan tak ditagihkan kepada Sjamsul Nursalim.
Setelah aset yang diklaim Sjamsul Nursalim sebesar Rp1,1 triliun dilelang PT Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA), ternyata aset tersebut hanya bernilai Rp220 miliar.
Berdasarkan audit investigatif BPK, kerugian negara dalam penerbitan SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim mencapai Rp4,58 triliun.
wis/cnni