RADARRIAUNET.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi tengah meyelidiki dugaan aliran dana sekitar Rp800 miliar dari sebuah perusahaan farmasi kepada sejumlah dokter. Uang sebesar itu diduga sebagai gratifikasi untuk dokter atas jasa penjualan produk kesehatan kepada pasien.
Pelaksana Harian Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati mengatakan, penyelidikan atas dugaan tersebut dilakukan untuk menyimpulkan ada atau tidaknya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh perusahaan dan pihak terkait lain.
"Laporan masih harus dianalisa dan ditelusuri. Tidak begitu ada laporan kami bisa mengusut. Kami membutuhkan waktu lagi untuk menelusuri apakah kasus tersebut memang ada kaitannya dengan korupsi," ujar Yuyuk, Jumat (16/9).
Laporan dugaan gratifikasi untuk dokter tersebut diterima KPK dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sekitar dua minggu lalu, berbarengan dengan sejumlah temuan aliran dana di sektor kesehatan.
Yuyuk enggan merinci laporan PPATK itu. Ia tak menyebut perusahaan farmasi mana saja yang mengeluarkan uang sebesar itu kepada dokter. Ia hanya berkata, KPK telah berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan untuk mendalami penyelidikan.
KPK menduga aliran dana Rp800 miliar yang dikucurkan oleh perusahaan farmasi merupakan bentuk dukungan finansial bagi dokter. Selama ini, ujar Yuyuk, dukungan finansial dari perusahaan diperbolehkan untuk kepentingan tertentu.
"Sponsorship itu diperbolehkan untuk kepentingan menambah kompetensi tenaga kesehatan, bukan hanya dokter," kata Yuyuk.
Namun dukungan finansial yang dberikan oleh perusahaan farmasi harus dikontrol Kemkes dan lembaga yang menaungi dokter penerima dana.
Soal transfer Rp800 miliar dari perusahaan farmasi ke sejumlah dokter pertama kali dikemukakan oleh Ketua KPK Agus Rahardjo.
"Pabrik farmasi yang tidak terlalu besar di Indonesia," ujar Agus di Kantor Kemenko Kemaritiman, Jakarta, Kamis (15/9).
Dokter bukan agen obat
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan melarang dokter untuk menerima hadiah atau gratifikasi dari perusahaan farmasi.
Gratifikasi biasanya marak dalam bentuk pembiayaan untuk mengikuti seminar atau konferensi, sebab biaya itu tak dapat ditanggung negara.
Celah ketidakmampuan negara membiayai konferensi dan seminar yang dibutuhkan oleh 126 ribu dokter di Indonesia itu lantas dimanfaatkan oleh perusahaan farmasi.
Setiap tahun, para dokter harus menyambangi sedikitnya 10 acara konferensi atau seminar untuk menaikkan kredit mereka selama lima tahun berturut-turut. Jika tak dilakukan, gelar dokter bakal dicabut.
"Pemberian biasanya ditujukan ke individu dokter. Itu termasuk gratifikasi karena menyangkut jabatan dan kewenangan. Jadi harus dilaporkan ke KPK," ujar Pahala.
Dokter pegawai negeri sipil maupun dokter swasta harus melapor ke KPK jika menerima hadiah atau pemberian. Selanjutnya KPK akan menelaah apakah hadiah tersebut masuk dalam kategori gratifikasi atau tidak.
Jika gratifikasi, maka barang itu menjadi milik negara. Bila bukan gratifikasi, dapat dikembalikan ke pelapor, yakni dokter terkait.
cnn/radarriaunet.com