RADARRIAUNET.COM - Tahun 2016 menandai satu dekade lebih perjalanan perwakafan sebagai bagian dari hukum positif nasional. Kelahiran UU Wakaf pada 2004 yang disusul peraturan pemerintah menjadi aturan pelaksanaannya pada 2006 telah berumur satu dekade lebih. Sejumlah perkembangan dari praktik perwakafan di masyarakat juga mulai terlihat. Dimulai dari kelahiran Badan Wakaf Indonesia sebagai nazir wakaf nasional lalu adanya inovasi berupa wakaf uang yang digunakan untuk berbagai proyek kemaslahatan umat, serta paradigma pengelolaan wakaf yang diarahkan untuk bersifat produktif. Yakni, pengelolaan wakaf yang dapat menghasilkan nilai tambah ekonomi, sehingga manfaat wakaf dapat dirasakan tidak hanya pada sektor sosial namun juga sektor ekonomi.
Meskipun demikian, tetap diakui masih ada beberapa hal yang masih perlu diperbaiki dari sistem perwakafan nasional. Di antara permasalahan yang mendasar dari praktik wakaf adalah pemahaman masyarakat mengenai wakaf, khususnya wakaf uang serta paradigma wakaf produktif yang masih tergolong baru. Hal tersebut dapat dipahami, mengingat sejak kecil, umumnya masyarakat memahami wakaf untuk keperluan yang bersifat religius dan pendidikan, seperti wakaf tanah yang kemudian didirikan masjid, pesantren, dan pemakaman. Pemahaman demikian tidaklah salah apabila ditinjau dari perspektif fikih. Terlebih, jika diperhatikan bahwa salah satu ketentuan utama wakaf adalah kekekalan zat dan manfaat dari harta yang diwakafkan. Namun, kondisi tersebut apabila ditinjau dari perspektif maslahat, maka wakaf menjadi tidak optimal dalam mendorong kebangkitan peradaban umat, karena tidak seluruh sektor kehidupan kaum Muslimin tersentuh oleh wakaf.
Kondisi di atas menyebabkan potensi wakaf Indonesia menjadi tidak terhimpun dan terkelola secara optimal. Padahal, potensi wakaf di Indonesia, sebagaimana diajukan oleh Mustafa Edwin Nasution dari Universitas Indonesia, dengan asumsi bahwa terdapat 10 juta kaum Muslimin berpendapatan menengah yang rutin berwakaf uang setiap bulan sebesar Rp 100 ribu, maka setiap bulan dapat terhimpun dana sebesar setidaknya Rp 1 triliun per bulan atau Rp 12 triliun per tahun.
Dana tersebut, jika secara optimal terhimpun dan terkelola secara profesional dapat digunakan untuk beragam proyek pembangunan dan sosial, seperti pembangunan sekolah gratis, rumah sakit berbiaya terjangkau, atau pembangunan hotel syariah yang dapat menghasilkan laba.
Namun, realitanya potensi di atas masih belum tergali. Perlu adanya suatu upaya untuk mendorong pemahaman masyarakat agar masyarakat memahami dan tergerak untuk berwakaf. Salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah dengan mendorong teladan berwakaf dari pemerintah. Metode keteladanan adalah salah satu metode pendidikan yang telah umum dikenal termasuk dalam sejarah Islam. Bahkan, Rasulullah SAW mendapatkan gelar sebagai uswatun hasanah atau teladan yang baik bagi umat manusia. Artinya, hendaknya pemimpin, yang dalam konteks ini adalah pemerintah dapat pula mendorong praktik wakaf melalui keteladanan. Menurut Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar, gelar uswatun hasanah pada diri Nabi adalah keteladanan pribadi beliau, saat beliau mengatur keluarga maupun mengatur negara.
Karenanya, dalam Islam negara haruslah berperan dalam mewujudkan keteladanan, termasuk dalam berwakaf.
Keteladanan berwakaf dari pemerintah dapat berasal dari individu-individu yang mengisi struktur pemerintahan melalui tindakan wakaf pribadi, maupun melalui institusi pemerintahan yang mereka pimpin. Berbeda dengan wakaf dari individu yang telah umum dikenal, praktik berwakaf yang dijalankan institusi dapat dikatakan masih asing bagi masyarakat kita. Padahal, berwakaf melalui institusi pemerintahan adalah suatu hal yang dimungkinkan, bahkan telah dilakukan.
Pada tahun 2006, Kementerian Agama (Kemenag) meluncurkan program wakaf uang yang berasal dari dana APBN. Nazir-nazir wakaf yang dianggap Kemenag memenuhi syarat akan diberikan hibah berupa dana sebesar Rp 2 miliar yang oleh para nazir akan dikelola sebagaimana dana wakaf uang dari masyarakat. Program ini memiliki tujuan untuk mendorong pertumbuhan nazir-nazir wakaf yang ada di Indonesia, khususnya yang telah dianggap berhasil.
Salah satu contoh keberhasilan program di atas adalah ruang rawat inap VIP yang dibangun di lingkungan Rumah Sakit Islam Universitas Islam Malang (RSI Unisma). Sebelum tahun 2006, RSI Unisma belum memiliki ruang rawat inap VIP, tapi terdapat lahan kosong yang masih memungkinkan untuk dibangun. Zawawi Mukhtar, selaku nazir dari ruang inap VIP, yang pada saat itu belum dibangun, melihat peluang tersebut dan mengajukan proposal kepada Kemenag. Alhasil, pada 2006 dimulailah pembangunan ruang rawat inap VIP RSI Unisma. Ruang rawat inap VIP RSI Unisma sepenuhnya dikelola secara komersial,dengan manfaat yang timbul berupa laba sebagiannya digunakan untuk membiayai para dai dan guru TPA yang ada di sekitar RSI Unisma.
Tidak hanya sampai di situ, Zawawi Mukhtar dan manajemen nazir wakaf memperluas cakupan pengelolaan wakaf di bidang lainnya, yakni minimarket. Saat ini, di kota Malang telah terdapat empat gerai Minimarket al-Khaibar yang dibangun dari hasil pengelolaan wakaf berupa ruang rawat inap VIP RSI Unisma. Selain RSI Unisma, terdapat pula Yayasan al-Khairaat Palu yang berhasil membangun swalayan dengan menggunakan skema dana hibah Kemenag yang dikelola secara wakaf.
Berangkat dari beberapa contoh sukses di atas, lembaga pemerintah lainnya hendaknya mulai melirik wakaf sebagai sektor yang dapat digunakan untuk mendukung penyerapan APBN. Penyerapan APBN yang rendah dapat dikurangi dampaknya melalui anggaran hibah yang disalurkan lembaga pemerintah kepada masyarakat untuk dikelola secara wakaf. Skema tersebut akan lebih baik apabila disalurkan ke sektor yang bersesuaian dengan tugas pokok lembaga pemerintah tersebut.
Sebagai contoh, Kementerian Pertanian dapat menganggarkan sejumlah dana hibah yang sejatinya digunakan untuk pengadaan bibit bagi petani untuk disalurkan kepada lembaga wakaf yang mengelola pertanian. Contoh lainnya adalah Kementerian Perindustrian mewakafkan mesin produksi mi kepada lembaga wakaf yang membina UKM yang memproduksi mi. Berbeda dengan skema hibah biasa yang memasrahkan pengelolaan sumber daya yang dihibahkan kepada penerima, skema wakaf akan mendorong penerima untuk mengelola sumber daya yang diwakafkan agar dapat kekal zat dan menfaatnya. Bahkan, apabila berhasil, sumber daya yang diwakafkan akan berkembang sehingga dapat menarik pihak lain untuk terlibat, dan manfaat dari skema hibah tadi dapat diterima oleh lebih banyak orang.
Skema di atas tentu saja harus bersesuaian dengan politik dan hukum anggaran yang berlaku disertai penilaian dan pengawasan program yang baik. Namun, skema di atas perlu dipertimbangkan agar permasalahan penyerapan APBN dapat teratasi, dan di sisi lain praktik wakaf yang dijalankan di era modern ini dapat lebih maju serta berperan lebih luas dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Raditya Sukmana
Ketua Departemen Ekonomi Syariah Universitas AirlanggaImam/rol