Transaksi dalam Ruang Gelap MA

Administrator - Rabu, 17 Februari 2016 - 22:19:02 wib
Transaksi dalam Ruang Gelap MA
Laode Ida. (mtnc)
Penulis: Laode Ida, Wakil Ketua DPD RI 2004-2014, Komisioner Ombudsman RI
 
RADAR RIAU NET OPINI - KASUS tertangkapnya seorang pejabat di Mahkamah Agung (MA), Agung Andri Tristianto (AAT) berikut seorang pengusaha (Ichsan Suaidi) dan kuasa hukum (Awang Lazuardi Embat), melalui operasi tangkap tangan (OTT) KPK terkait dengan korupsi proyek pembangunan dermaga Labuhan Haji di Lombok Timur (NTB), kembali mencoreng citra dari benteng penjaga keadilan yang tertinggi itu.
 
Peristiwa itu membuktikan putusan hukum yang sudah berketetapan dengan substansi memperkuat hukuman bagi para koruptor pun ternyata bisa dimainkan pejabat yang menangani administrasinya.
 
Motifnya jelas untuk 'mengaburkan' atau 'memperlambat eksekusi putusan hakim', seraya memperoleh uang dari pihak terdakwa.
 
Menariknya lagi, kasus putusan yang hendak ditransaksikan itu ialah produk Artidjo Alkostar yang terkenal sebagai algojo untuk para koruptor yang mencoba memperoleh keringanan (atau pembebasan dari) hukuman melalui proses kasasi di MA.
 
Ini bisa diartikan bahwa putusan beradilan dan sarat integritas tidak didukung sepenuhnya sebagian pihak administrator elemen sistem pendukung di intern lembaga peradilan tertinggi itu sekaligus menunjukkan ketidaksenangan mereka terhadap figur hakim agung yang 'ganas' terhadap para koruptor.
 
Praktik transaksional yang dilakukan AAT itu bukan mustahil sudah jadi bagian dari karakter (sebagian) aparatur negara di MA.
 
Ia tentu tidak sendirian karena bekerja dalam suatu sistem dengan perilaku yang boleh jadi sudah saling 'tahu sama tahu' alias TST.
 
Tidak mengherankan kalau tidak sedikit di antara pejabatnya yang miliki kekayaan materi jauh melebihi rasio gaji normal baik sebagai PNS maupun hakim agungnya.
 
Kita semua tahu bahwa yang ditangani MA bukan saja kasasi kasus korupsi, melainkan juga berbagai kasus strategis nan 'basah' lainnya, seperti sengketa tanah (lahan), narkoba, dan lainnya; semuanya bisa diperjualbelikan seperti yang dilakukan AAT.
 
Tidak mengherankan kalau tak sedikit kasus sengketa tanah bukan saja mengendap lama di MA, melainkan juga posisi rakyat biasa nan miskin umumnya kalah jika berhadapan dengan para pemilik modal atau orang-orang kaya.
 
Tepatnya, tak jarang rasa keadilan dipertukarkan dengan materi sehingga rakyat kecillah yang jadi korbannya dan pada saat yang sama, orang yang kaya semakin kaya dan aparatur di MA pun mengakumulasi harta.
 
Kita masih ingat, misalnya Sekretaris MA, Nurhadi yang miliki meja kerja senilai kurang lebih Rp1 miliar (terungkap pada November 2012), di mana juga yang bersangkutan menyelenggarakan pesta perkawinan anaknya sangat mewah di hotel berbintang lima (Hotel Mulia) seraya membagi-bagi Ipod pada sejumlah tamu undangan (Maret 2014).
 
Tampilan mewah dengan nuansa gaya hidup hedonis itu sungguh-sungguh tak masuk akal untuk bisa dilakukan jika tidak mengakumulasi harta dengan cara-cara koruptif atau dengan memanfaatkan jabatan dan peluang dalam proses-proses hukum yang bersifat final di MA seperti yang dilakukan AAT.
 
Dalam kaitan ini, bukan mustahil pula perilaku transaksional itu secara diam-diam sudah 'seizin' pimpinan atau sepengetahuan teman sejawatnya.
 
Hanya kebetulan saja kali ini AAT-lah yang 'pasang badan' dan kemudian nahas karena terkena OTT dari KPK.
 
Kondisi lembaga penentu atau penjaga keadilan terakhir dan final seperti itu sungguh sangat memprihatinkan.
 
Sebuah potret kegagalan dalam membangun pulau integritas dan transparansi di dalamnya.
 
Mengapa?
 
Pertama, posisi jabatan strategis ternyata masih diisi figur-figur yang pragmatis dan transaksional.
 
Ini boleh jadi merupakan warisan masa lalu yang sudah mendarah daging di MA, yakni mereka sudah menerapkan prinsip keadilan harus ditukar dengan materi dan tak ada keadilan bagi yang tak miliki nilai tukar. Semakin banyak yang beperkara di MA, akan semakin banyak juga pemasukan di luar gaji dan berbagai tunjangan.
 
Tepatnya, dalam bahasa Presiden Jokowi, bisa dikatakan bahwa MA gagal melakukan revolusi mental.
 
Praktik korupsi atau transaksional di kalangan aparatur memang merupakan bagian dari kegagalan pimpinan dalam melakukan pengawasan internal terhadap aparatur bawahannya.
 
Soalnya, mengacu pada UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, pimpinan suatu instansi secara langsung berperan mengawasi para aparatur bawahannya, selain pengawas internal fungsional yang jadi bagian dari dalam struktur kelembagaan (Pasal 35 ayat 2).
 
Tentu saja pengawasan dimaksud bukan sekadar formalitas belaka, melainkan lebih substansial terkait dengan penempatan aparatur yang bersih dan perilaku transaksional yang harus dicegah.
 
Yang terjadi sekarang, jika jujur diakui, umumnya instansi pemerintah, justru pihak atasan cenderung menempatkan aparat yang disenangi dan dipercayai untuk sekaligus dijadikan oknum pencari tambahan pendapatan melalui berbagai proyek ataupun transaksi kasus seperti AAT.
 
Kedua, jika jujur diakui, proses-proses penyelesaian kasus di MA selama ini masih sangat tertutup dan bahkan sulit diprediksi kapan bisa selesai atau sampai di mana perkembangan perkaranya sehingga sampai bertahun-tahun belum juga jelas nasibnya.
 
Saat jadi anggota/pimpinan DPD RI, penulis banyak menerima keluhan sekaligus permintaan untuk dicarikan jalan agar bisa dapat akses ke dalam MA.
 
Sungguh sangat menyedihkan jika perkara seperti itu dialami rakyat dari berbagai daerah di Indonesia, yakni mereka harus berurusan langsung di Jakarta dengan tanpa kepastian.
 
Pada akhirnya, pasrah menerima apa pun hasil putusan MA yang final itu.
 
Itulah bagian dari ruang gelap dalam proses-proses penyelesaian perkara di MA, yakni figur Artidjo Alkostar barangkali hanya berjuang dalam kesendirian tanpa topangan kuat dari pimpinan maupun administrator di intern lembaganya.