Korupsi “Lembaga” Politik

Administrator - Senin, 08 Juni 2015 - 20:29:19 wib
Korupsi “Lembaga” Politik
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau dan Kandidat Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Oleh : Muhammad Nurul Huda, S.H., M.H

Dalam Negara hukum, lembaga politik merupakan salahsatu pemain penting dalam menentukan arah kebijakan-kebijakan strategis kehidupan berNegara.  

Salahsatunya ialah menentukan arah kebijakan dalam mendukung penegakan hukum. Hukum akan tidak bergigi tanpa dukungan politik yang kuat dari lembaga politik.
 
Sehingga, apabila suatu lembaga penegakan hukum tidak mendapat dukungan politik secara mayoritas dari lembaga-lembaga politik, bisa dipastikan lembaga penegakan hukum tersebut akan dibuat “mati suri” melalui keputusan politik “bawah tanah” dan politik anggaran yang dimiliki oleh lembaga politik yang perwakilan berada di Senayan.

Hal ini bisa dilihat, semakin berkurangnya dukungan politik yang diberikan lembaga politik setelah KPK mengalami kekeliruan dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Tidak bisa dipungkiri bahwa, lembaga politik memang “sengaja” menyimpan dendam terhadap KPK karena banyak elit-elit lembaga politik yang telah ditetapkan menjadi tersangka serta telah menjadi terpidana tindak pidana korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap.

Sebut saja misalnya,  mulai dari mantan presiden partai politik (parpol), mantan menteri, Gubernur, Bupati, walikota, anggota DPR, anggota DPRD bahkan banyak lagi yang tidak bisa disebutkan dalam tulisan ini.

Jika anda bertanya pada diri sendiri, apa mungkin lembaga politik tidak melakukan aksi balas dendam terhadap KPK setelah elit-elit dalam tubuh lembaga politik ditangkap KPK. Sulit rasanya membantah bahwa tidak ada dendam yang terdalam dari lembaga politik untuk “memati surikan” KPK.
Apabila KPK telah berhasil “dimati-surikan” oleh lembaga politik, bisa dipastikan korupsi lembaga politik akan menjadi lancar dan bersama-sama membagi kue-kue untuk dibajak dan untuk menjadi modal perhelatan politik.

Korupsi politik menurut Robert G. Thobaben dibagi menjadi dua. Dalam arti sempit, korupsi politik merujuk pada tindakan yang dilakukan pejabat publik yang tidak jujur dan illegal. Dalam arti luas, korupsi politik meliputi tindakan pejabat publik yang meskipun tidak melanggar hukum, tetapi dalam sistem pemerintahan demokratis tindakan tersebut menciderai integritas.

Korupsi politik seperti yang dikatakan oleh Menchen Hopnuy juga merupakan adanya ekploitasi politik dalam upaya memperoleh keuntungan politik.  Hal ini juga dibenarkan oleh Joseph Lapalomkara yang mengatakan bahwa korupsi politik merupakan penyimpangan tingkah laku dari pejabat pelayan publik, apakah pejabat itu menduduki jabatannya karena dipilih atau ditunjuk, yang menunjukkan pertentangan dengan tugasnya sebagai pelayan publik, dan dari tindakannya itu ia lalu mendapat keuntungan pribadi atau menguntungkan orang lain atau kelompoknya.(Aridjo Alkostar, 2008)

Dari pendapat pakar diatas terlihat bahwa, lembaga politik sangat berkepentingan untuk melemahkan bahkan mengadu-domba sesama institusi penegak hukum, agar institusi penegak hukum tidak lagi berfokus pada kebersamaan pemberantasan korupsi, tetapi saling unjuk kekuatan bahkan saling menonjolkan egoisme sektoral dalam mempergunakan wewenangnya.

Korban akibat adu-domba lembaga politik ini ialah rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi  tidak lagi diberikan kesempatan untuk melihat kehidupan kedepan yang lebih baik.  Baik itu jaminan kesejahteraan, pendidikan, maupun jaminan kesehatan yang lebih beradab.

Untuk itu, dalam upaya memotong mata rantai korupsi lembaga politik, diperlukan tindakan yang luar biasa. Tindakan yang dilakukan adalah:

Pertama, institusi penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, KPK serta Pengadilan sebaiknya membuat kesepahaman bersama bahwa perang terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan perang untuk menjaga keutuhan dan keberlangsungan NKRI sebagai sebuah bangsa yang bermartabat dan berbudi luhur.

Kedua, Kepolisian, Kejaksaan dan KPK harus saling menghormati dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Ketiga, hakim sebaiknya tidak lagi berfokus pada pemenjaraan, tetapi berfokus pada pengembalian kerugian keuangan Negara serta mencabut semua hak-hak politik pelaku korupsi untuk dapat dipilih dan memilih dalam suatu jabatan publik.

Keempat, Guru dan Dosen sebaiknya menyampaikan pesan kepada peserta didiknya dalam setiap kesempatan proses belajar-mengajar bahwa, tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang menjijikkan dan tidak beradab.

Kelima, hakim harus berani membekukan cabang partai politik di daerah, apabila dilakukan oleh elit politik di daerah, sebagai tolak ukur untuk membekukan partai politik yang berada di pusat.

Terakhir, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di NKRI, tidak lagi memilih partai-partai politik yang berupaya melemahkan institusi penegak hukum dalam memerangi tindak pidana korupsi, terlebih lagi upaya-upaya partai politik untuk membredel kewenangan KPK dalam melakukan tindakan pemberantasan tindak pidana korupsi.***

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau dan Kandidat Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret