Stunting, Mengancam Bonus Demografi

Administrator - Jumat, 20 Desember 2019 - 14:45:31 wib
Stunting, Mengancam Bonus Demografi
Ilustrasi. Foto: Mi

RADARRIAUNET.COM: Isu kesehatan paling menarik perhatian publik sepanjang 2019 ialah tentang karut-marutnya BPJS. Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilaksanakan Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS Kesehatan) ini sebenarnya program unggulan.

Cakupannya yang sangat massal menjadikan program ini disebut sebagai lompatan besar kebijakan kesehatan. Akan tetapi, kehadiran BPJS ini membawa dua implikasi yang berbeda.

Di satu sisi, program ini sangat membanggakan karena membawa kita melangkah ke arah pemerataan layanan kesehatan yang bisa mencakup seluruh warga negara. Namun, di sisi lain, manajemen BPJS masih belum sanggup mengatasi masalah utamanya.

Sampai hari ini BPJS sebagai pelaksana JKN masih defisit atau tekor triliunan rupiah sehingga memerlukan suntikan dana dari pemerintah. Sedemikian sulitnya mengatasi soal ini, pemerintah sampai menaikkan iuran peserta BPJS yang memicu gelombang protes masyarakat. Keruwetan BPJS ini menempati rangking teratas dalam daftar isu kesehatan yang paling menyedot perhatian masyarakat.

Selain itu, ada juga isu kesehatan lain yang tak seheboh BPJS dalam menyedot perhatian masyarakat, tapi sebenarnya sangat memalukan harga diri bangsa.

Inilah soal stunting/tengkes, yaitu kondisi balita yang mengalami gangguan pertumbuhan atau kerdil disebabkan kekurangan asupan nutrisi dan gizi. Awalnya, media nasional menuturkan bahwa Indonesia masih didera stunting. Kemudian, menyusul pemberitaan bahwa di Papua ditemukan banyak balita menderita stunting.

Sedemikian hebohnya sampai debat ketiga capres-cawapres pada Maret 2019, KPU memasukkan stunting ini sebagai materi debat. Sampai April, media massa masih meramaikan pemberitaan stunting ini.

Data yang dipublikasikan Unicef (United Nations Children's Fund) 2017 menempatkan Indonesia sebagai negara peringkat kedua se-ASEAN dengan prevalensi stunting tertinggi, yakni 36,4%.

Peringkat pertamanya Laos, dengan prevalensi 43,8%. Sementara itu, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 memaparkan, angka stunting pada balita Indonesia mencapai 30,8%, lumayan turun dari angka 37,2% pada Riskesdas 2013. Padahal, WHO menetapkan angka prevalensi stunting maksimal 20% dari populasi balita. Dengan demikian, Indonesia masih jauh di bawah standar WHO.

Menurut data Kemenkes 2017 yang dipublikasikan 2018, lima provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi, yaitu NTT (40,3%), NTB (39%), Sulteng (36,1%), Kalsel (34,2%), dan Papua (32,8%). Sementara itu, yang terendah ialah DIY (19,8%).

Di akhir masa jabatannya, Oktober 2019, Menkes Nila Moeloek menyatakan bahwa prevalensi stunting balita Indonesia turun menjadi 27,67%. Memang angkanya turun, tapi masih belum memenuhi standar WHO.

Gencarnya pemberitaan stunting ini langsung memunculkan respons positif, 22 kabupaten/kota di Papua langsung mendapatkan kucuran dana Rp60 juta sebagai dana darurat penanganan stunting.

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) langsung menyiapkan dana Rp1,3 miliar untuk penanganan stunting di 22 kabupaten di Papua. Tiap kabupaten mendapatkan alokasi dana Rp60 juta. Salah satu wujudnya ialah program Bina Keluarga Balita (BKB) untuk memenuhi kebutuhan gizi ibu hamil dan bayi serta penerapan pola asuh pada 1000 hari pertama usia balita.

Pemilik tambang emas raksasa, PT Freeport, ikut merespons dengan membuat program Pemberian Makanan Tambahan untuk Pemulihan (PMTP). Kementerian Pertanian juga ikut merespons melalui Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan memberikan 220 hewan ternak untuk warga Kabupaten Nduga yang balitanya banyak menderita stunting. Itulah sebagian contoh reaksi berbagai pihak atas berita merebaknya stunting. Ada keinginan kuat untuk menurunkan prevalensi stunting yang mengkhawatirkan ini.

Penyebab stunting

Stunting adalah kondisi pada anak yang mengalami kekurangan gizi kronis karena kurangnya asupan makanan dalam waktu yang lama sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan pada anak, yakni tinggi badannya lebih pendek (kerdil) dari standar usianya. Tidak hanya keterlambatan pertumbuhan fisik, tetapi juga stunting bisa menyebabkan keterlambatan pertumbuhan otak pada anak.

Jadi, penyebab langsungnya ialah kurangnya asupan nutrisi bergizi dalam waktu yang lama. Itu ialah penjelasan dari sisi kesehatan. Masalahnya, apa yang menyebabkan kekurangan asupan nutrisi bergizi dalam waktu yang lama dan demikian masif itu?

Penyebab terbesarnya ialah karena miskin sehingga tak mampu membeli bahan makanan yang cukup, baik cukup jumlahnya maupun cukup kandungan nutrisi atau gizinya. Bisa miskin secara individu, bisa juga miskin secara kelompok (misal di sebuah desa mayoritas warganya miskin, tanahnya tandus tidak produktif, banyak pengangguran, minim keterampilan, dan seterusnya).

Penyebab tak langsung ialah kondisi lingkungan. Misalnya, kekurangan akses air bersih, sanitasi yang buruk, lingkungan kumuh dan kotor, terisolir karena tak ada akses yang bagus untuk menghubungkan dengan wilayah luar, dan seterusnya.

Desa miskin yang mayoritas warganya tak punya sumur dan MCK (mandi, cuci, kakus) serta hanya mengandalkan air sungai untuk mandi, cuci, dan buang air sekaligus, maka balitanya rentan jadi stunting.

Bagaimana mau membangun sumur dan MCK jika untuk makan sehari-hari saja susah terpenuhi? Situasi semacam itu mudah ditemui di kabupaten-kabupaten yang terdata tinggi prevalensi stunting-nya. Jika disimpulkan secara sederhana, faktor penyebab stunting, baik individu maupun komunal lebih dominan karena kemiskinan.

Dalam situasi inilah, stunting bukan lagi sekadar persoalan sektor kesehatan, melainkan juga sudah menjadi persoalan lintas sektor. Memang ada yang mengalami stunting karena faktor genetis, kecacatan, atau penyakit, tapi stunting jenis ini jumlahnya amat sedikit dan amat sulit bisa merebak dalam satu wilayah secara bersamaan.

Strategi menurunkan stunting

Anak usia balita akan tumbuh menjadi generasi muda. Dalam tahun-tahun mendatang, kita akan mendapatkan bonus demografi berupa ledakan populasi usia produktif. Generasi muda yang sehat, pandai, dan produktif akan menjadi modal luar biasa bagi pertumbuhan ekonomi dan kemajuan bangsa.

Sebaliknya, balita yang tidak sehat, jika tidak ditangani sejak dini, berpotensi menjadi generasi muda yang tidak produktif, bahkan menjadi beban nasional. Untuk itulah ledakan balita stunting ini harus ditangani oleh lintas sektor secara terintegrasi.

Presiden Jokowi malu dengan peringkat kedua stunting se-ASEAN ini. Presiden memerintahkan untuk segera menyusun rencana menurunkan prevalensi stunting. Bappenas merancang pada akhir masa pemerintahan Jokowi di 2024 nanti, prevalensi stunting bisa diturunkan menjadi 19%, terpaut sedikit di bawah standar WHO 20%. Akan tetapi, rupanya presiden menuntut agar bisa diturunkan lebih rendah lagi, menjadi 14% di akhir 2024. Ini positif sekaligus target yang ambisius.

Sejak pemberitaan stunting merebak di pertengahan tahun lalu, Menkes (saat itu) Nila Moeloek menyebut ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam menyusun strategi penanganan stunting, yaitu perbaikan pola makan, pola asuh, dan perbaikan sanitasi serta akses air bersih.

Akan tetapi, masalah kesehatan berada di hilir. Hulunya ialah persoalan ekonomi, sosial, politik, lingkungan, dan sebagainya. Uraian Menkes saat itu tepat. Stunting ialah akibat dari multifaktor, bukan semata akibat masalah kesehatan. Karena itu, strategi penanganannya juga haruslah multifaktor, komprehensif, dan berkelanjutan.

Pemberian bantuan makanan dan susu sesaat setelah berita stunting merebak, haruslah dianggap sebagai langkah ad hoc atau darurat. Harus segera dilanjutkan dengan serangkaian langkah yang terencana dan terukur dalam lingkup preventif-promotif hingga kuratif yang di dukung pendanaan kolektif dan seterusnya.

Dari sisi kesehatan, harus ada kelembagaan yang menjalankan fungsi layanan kesehatan di tingkat kampung, bahkan RT/RW. Sebenarnya, selama ini sudah ada pos pelayanan terpadu (posyandu) yang menjalankan multifungsi, seperti pengecekan kesehatan ibu-anak secara rutin, monitoring pertumbuhan balita lewat kartu pertumbuhan, pemberian nutrisi tambahan untuk balita, dan sebagainya.

Posyandu bisa mendata jumlah ibu hamil dan balita di sebuah kampung, memonitor perkembangan kesehatan dan pertumbuhan badannya. Jika ada indikasi kesehatan balita menurun atau pertumbuhannya di bawah standar, bisa segera dilakukan tindakan awal seperti pemberian nutrisi bergizi.

Sejauh ini posyandu sudah memberikan tambahan nutrisi berupa susu, telur, bubur kacang hijau, dan sebagainya pada balita. Jika posyandu tak punya kemampuan, bisa segera melaporkan situasinya ke puskesmas, demikian seterusnya sampai ke level di atasnya. Dengan demikian, situasi bisa direspons secepatnya.

Posyandu ialah garda terdepan layanan kesehatan sebelum naik ke tingkat puskesmas. Jika posyandu bisa tersebar merata di wilayah-wilayah yang prevalensi stunting-nya tinggi, penanganan selanjutnya bisa lebih mudah.

Masih dari sisi kesehatan, bisa dipertimbangkan juga pendapat tentang fortifikasi garam. Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kemenko Maritim, Agung Kuswandono, menjelaskan pentingnya fortifikasi garam. Yodium pada mineral garam bisa berperan pada nutrisi tubuh. Yodium menjaga fungsi tiroid tetap stabil.

Hormon tiroid yang baik berperan mengoptimalkan fungsi otak dan sistem saraf. Hormon tiroid membantu perkembangan janin agar fungsi otak dan sistem saraf berkembang normal. Atas dasar ini, fortifikasi (penambahan) yodium pada garam akan membantu agar janin berkembang normal, tapi fortifikasi yodium pada garam ini sebenarnya sudah lama dilakukan, bahkan jauh sebelum kebijakan fortifikasi vitamin A pada minyak goreng.

Di atas dijelaskan, stunting bukan semata masalah kesehatan, melainkan juga masalah multisektor. Sederhananya, masalah kemiskinan, baik kemiskinan individu ataupun komunal. Karena itu, perlu model penanganan yang lintas sektor pula. Jika ada wilayah yang sangat terisolir, dibutuhkan membangun akses yang menghubungkan keluar.

Jika mayoritas warganya mandi, mencuci, dan BAB sekaligus di sungai, diperlukan membangun fasilitas MCK--setidaknya fasilitas umum di kampung. Selain untuk MCK, air bersih mutlak untuk kebutuhan makan-minum. Karena itu, pembuatan sumur--setidaknya sumur bersama--menjadi prioritas.

Jika mayoritas warga desa menjadi pengangguran atau tak bisa menghasilkan produk pertanian-peternakan padahal wilayahnya subur, menjadi tugas pemerintah untuk memberikan bantuan pelatihan, keterampilan, serta pendampingan dengan mendatangkan penyuluh pertanian.

Demikian seterusnya sehingga persoalan ini ditangani secara multisektor. Benar, stunting ialah persoalan kesehatan, tapi akar masalahnya ialah problem sosial-ekonomi.

 

RR/MI