Jakarta : Presiden Jokowi akhirnya mengumumkan Kota Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, sebagai ibu kota baru Indonesia menggantikan DKI Jakarta.
Selain karena alasan geografis yang berada di tengah kepulauan Indonesia, Jokowi menganggap Kutai dan Penajam minim risiko bencana.
Namun, banyak pihak masih mempertanyakan rencana besar Jokowi tersebut karena dinilai perlu konsep dan pertimbangan yang sangat matang mulai dari faktor ekonomi, sosial, hingga pertahanan dan keamanan (hankam).
Dari sisi hankam, ahli politik internasional Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, menuturkan pemindahan ibu kota ini bak dua mata pisau bagi Indonesia.
Di satu sisi, Teuku menilai pemindahan Ibu Kota DKI Jakarta ke Kutai dan Penajam bisa jadi momentum pemerintah memperkuat pertahanan militer, terutama di wilayah utara Indonesia yang berbatasan darat langsung dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam.
Rencana pemindahan ibu kota ini mengusik cerita lama soal ancaman keamanan, terutama terkait terorisme.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu sebelumnya juga mengatakan daerah perbatasan Indonesia-Malaysia kerap dijadikan jalur pelarian bagi kelompok teroris Abu Sayyaf Group (ASG) dan ISIS jika ada gempuran dari pasukan militer Filipina.
Menurut Teuku, posisi ibu kota yang berbatasan langsung dengan negara lain "memaksa" Indonesia harus mengubah pusat pergerakan militer dan strategi pertahanan nasional lebih adaptif lagi terhadap potensi ancaman asing karena radius ibu kota yang semakin dekat dengan perbatasan negara.
"Suatu negara akan mengkondisikan pertahanan ibu kota itu sangat kuat sehingga tidak mudah diinvasi atau dikuasai siapa pun," kata Teuku seperti sitat CNNIndonesia.com, Rabu (28/8/2019).
Teuku menuturkan perpindahan ibu kota jelas akan mengubah centre of gravity pertahanan militer Indonesia selama ini. Hal itu, paparnya, melibatkan pembangunan infrastruktur militer dan pengerahan artileri berat ke Kutai serta Penajam.
Langkah seperti ini, papar Teuku, memunculkan kekhawatiran bagi negara tetangga seperti Malaysia, Brunei, bahkan Singapura karena berpotensi mengancam hankam mereka.
Menurut dia, jika ibu kota pindah ke Kaltim maka radius ibu kota dengan Malaysia hanya berjarak sekitar 500 kilometer saja. Latihan militer darat, laut, dan udara yang dilakukan Indonesia berpotensi "mengganggu" negara tetangga.
Negara tetangga dikhawatirkan juga akan memperkuat hankam masing-masing karena merasa keamanannya terusik sehingga berpotensi menimbulkan perlombaan senjata dan memicu konflik.
"Saat ini latihan udara kita berpusat di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Jet-jet kita latihan di wilayah Banten hingga Laut Jawa. Apakah latihan seperti ini akan berlaku ketika ibu kota pindah ke Kutai dan Penajam?" tutur Teuku.
"Pemindahan ibu kota pasti jadi risiko keamanan juga bagi Malaysia dan Brunei secara langsung atau tidak langsung karena center of gravity pertahanan kita akan semakin dekat dengan wilayah perbatasan mereka. Kalau ada keramaian seperti demonstrasi di ibu kota juga pasti akan mengganggu perbatasan," katanya menambahkan.
Kata Teuku, pada umumnya negara-negara mendesain ibu kota mereka sejauh mungkin dari negara lain.
Selain risiko ancaman terhadap hankam, Teuku menganggap letak ibu kota yang berbatasan langsung dengan negara lain mengharuskan pemerintah membangun sistem pertahanan yang lebih mapan dan terintegrasi lagi antara angkatan laut, udara, dan darat.
"Kita lihat di Eropa, London berjauhan dari Paris, Paris jauh letaknya dari Berlin, dan Berlin berjauhan dari Moskow, itu semua sudah mereka desain seperti itu demi mengantisipasi risiko keamanan yang timbul dari negara lain."
Teuku mengatakan Indonesia belum siap membangun sistem komando militer terintegrasi seperti itu.
Sementara denah ibu kota baru yang disodorkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) baru-baru ini juga belum sampai menyentuh objek vital negara seperti letak pangkalan militer dan infrastruktur strategis lainnya.
"Saya pikir (Indonesia) belum siap karena pemindahan ibu kota juga harus dipikirkan pembangunan sistem pertahanan baru. Sementara itu, memindahkan satu batalyon atau satu polres saja ke ibu kota baru itu perlu anggaran besar dan tidak main-main. Saya pikir pemerintah belum pikirkan sampai situ," kata Teuku.
Ibu Kota Baru ala Jokowi dan Cerita Lama Ancaman Terorisme
Senada dengan Teuku, pengamat militer dan pertahanan negara, Connie Rahakundini Bakrie, menilai pemindahan ibu kota harus turut diiringi dengan perubahan doktrin sistem pertahanan negara yang lebih visioner dan mapan lagi.
Sebab, paparnya, ancaman hankam bagi Indonesia akan terus berkembang di masa depan dengan atau tanpa pemindahan ibu kota.
Connie menuturkan Indonesia sudah tidak bisa lagi mengandalkan doktrin strategi pertahanan yang pasif atau inward looking, apalagi Jokowi telah mendeklarasikan bahwa Indonesia merupakan poros maritim dunia pada 2014 lalu. Sebagai negara poros maritim dunia, Connie menuturkan pertahanan Indonesia sudah seharusnya bermain di level kawasan.
"ini momentum penting untuk mengubah doktrin hankam Indonesia menjadi outward looking strategy," kata Connie.
"Jadi ancaman hankam sudah tidak boleh kita tunggu di rumah. Misalkan kita tahu ada ancaman terorisme dari selatan Filipina, kita sudah tidak bisa nunggu itu masuk ke wilayah kita dulu, tapi begitu tau (ada ancaman tersebut) ya kita harus langsung kerahkan pasukan ke wilayah itu. Kalau sekarang hankam Indonesia masih sifatnya defensive," ucap dia menambahkan.
Pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur memang dinilai mempengaruhi lanskap serta perhitungan ancaman terhadap hankam negara. Secara geografis, letak Kutai dan Penajam lebih dekat ke perbatasan bagian utara Indonesia yang berbatasan langsung (darat) dengan Malaysia dan Brunei.
Tak hanya itu, Pulau Kalimantan juga tak begitu jauh letaknya dari wilayah selatan Filipina dan Laut China Selatan yang rawan konflik.
Perairan dan wilayah selatan Filipina sarat akan aktivitas kelompok militan. Wilayah itu bahkan dinilai sebagai "sarang" kelompok teroris seperti ISIS di Asia Tenggara.
Sementara itu, Laut China Selatan menjadi rawan konflik setelah Pemerintahan Presiden Xi Jinping mengklaim 90 persen wilayah di perairan itu sebagai kedaulatannya. Beijing juga terus menegaskan pengaruhnya di perairan itu dengan membangun pulau buatan dan menempatkan instalasi militer di sana.
Connie mengatakan doktrin hankam Indonesia harus bisa beradaptasi dengan situasi dan potensi ancaman yang semakin dinamis ini. Dia menganggap ancaman terbesar yang harus diantisipasi Indonesia bukan lagi sebatas potensi perang antar-negara, tetapi lebih kepada risiko serangan siber dan serangan udara pihak asing.
Demi menghadapi ancaman-ancaman tersebut, Connie menganggap Indonesia harus benar-benar membangun jaringan komando terpusat militer yang lebih terintegrasi lagi. Angkatan darat, laut, dan udara TNI menurutnya sudah tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.
Selain itu, pemerintah juga harus menjalankan pembaruan alat utama pertahanan dan persenjataan secara konsisten dan terukur sesuai kebutuhan, bukan kemampuan daya beli. Kapasitas kekuatan personel dan persenjataan, papar Connie, harus sudah ditetapkan berdasarkan perhitungan ancaman yang ada dan kebutuhan negara.
"Jadi penetapan anggaran pertahanan sudah seharusnya ditetapkan berdasarkan perhitungan ancaman dan kebutuhan, berdasarkan idealnya itu berapa. Saat ini kan anggaran hankam masih bertumpu pada minimum essential forces," kata Connie.
Selain itu, ia juga menegaskan pemerintah harus bisa konsisten menjalankan visi dan misi hankam negara apalagi jika pemindahan ibu kota benar-benar terjadi. Sebab, menurutnya proses administrasi dan politik untuk memindahkan ibu kota tidak akan selesai hanya dalam lima tahun ke depan.
Selain itu, pemindahan ibu kota juga mengharuskan pemerintah membangun sejumlah infrastruktur militer baru di Kutai dan Penajam. Pembangunan tersebut akan memakan waktu yang lama, sementara ancaman hankam akan selalu ada setiap saat.
"Kita harus yakin betul bahwa kekuatan hankam kita masif, jangan sampai road map pertahanan baru karena pemindahan ibu kota sudah dibuat berdasarkan analisis ancaman, kebutuhan, dan visi ke depannya, tiba-tiba ketika nanti ganti presiden rencana itu berubah lagi," kata Connie.
RRN/CNNI