Jakarta: Maria Ressa, bos media yang lantang menyuarakan kritik terhadap pemerintah Filipina, Rappler, menyebut penahanannya atas tuduhan fitnah pada Rabu (13/2) sebagai sebuah parodi peradilan.
"Kasus ini konyol dan fakta bahwa mereka merilis surat penangkapan adalah sebuah parodi peradilan," ujar Ressa setelah penangkapannya seperti sitat CNN Indonesia, Kamis (14/2/2019).
Ressa ditangkap di kantornya di Manila dengan tuduhan fitnah digital, perkara baru yang disangkakan kepadanya setelah dugaan penggelapan pajak.
Aparat menyatakan kasus ini bermula dari berita di Rappler yang ditulis mantan jurnalis mereka, Reynaldo Santos, Jr., tujuh tahun lalu. Saat itu, Santos mengulas soal dugaan hubungan antara seorang pengusaha dan hakim Filipina yang disinyalir melanggar hukum.
Pada 2017, sang pengusaha mengajukan keberatan atas berita itu, tapi ditolak oleh penyelidik. Namun, kasus itu ternyata diserahkan kepada kejaksaan Filipina.
"Inilah yang harus dihadapi jurnalis di Filipina," ucap Ressa.
Lihat juga: Pemerintah Filipina Tuding Bos Rappler Gelapkan Pajak
Penahanan Ressa ini langsung menuai kecaman dari berbagai pihak, mulai dari aliansi jurnalis internasional hingga kelompok pegiat hak asasi manusia, Amnesty International.
Menurut Amnesty, sangat aneh melihat penahanan Ressa dilakukan dengan cekatan di negara yang proses peradilannya terkenal lamban.
"[Kasus itu] jelas bermotif politik," demikian pernyataan Amnesty International.
Selama ini, Rappler dikenal kerap menyuarakan kritik terhadap pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte, terutama terkait kampanye anti-narkoba yang sudah menelan banyak korban tanpa proses peradilan jelas.
Ini bukan kali pertama Ressa menjadi sasaran pemerintah Filipina. Sebelumnya, perempuan yang masuk daftar orang-orang berpengaruh pada 2018 versi majalah Time itu juga diadili karena Rappler dituding tidak membayar pajak saham pada 2015.
RRN/CNNI