RADAR TIONGHOA - Asal mula pemujaan leluhur masyarakat Tionghoa berasal dari kepercayaan masyarakat dahulu yang berpendapat bahwa setelah seseorang meninggal, arwah orang tersebut dapat meninggalkan tubuhnya dan tetap terus hidup. Konsep mengenai arwah ini menimbulkan ketakutan dalam diri mereka. Arwah yang telah meninggalkan tubuh dapat lebih bebas untuk pergi kemanapun. Kemampuan untuk mempengaruhi hal yang membahagiakan dan merugikan manusia lebih besar dibandingkan sewaktu dia hidup. Oleh karena itu muncullah pemujaan terhadap orang yang telah meninggal.
Apa Tujuan Pemujaan Terhadap Leluhur ?
Masyarakat Tionghoa sendiri sangat mementingkan kesinambungan sukunya. Yang dimaksud dengan ‘dupa tidak berhenti terbakar’ adalah keturunan terus membakar dupa dan menyediakan persembahan untuk leluhurnya. Pada saat hari kelahiran dan kematian leluhur serta pada hari besar, keturunan tidak boleh lupa untuk membakar dupa. Masyarakat Tionghoa juga percaya bahwa arwah leluhur yang berada di dunia akhirat bergantung pada sanak saudara dan sahabat mereka di dunia ini, barulah mereka dapat hidup dengan nyaman di sana. Makanan yang dimakan, uang yang dipakai, serta pakaian yang dikenakan oleh mereka, semuanya berasal dari dunia manusia dan diberikan kepada mereka di dunia akhirat melalui pemujaan. Di satu sisi ada rasa hormat yang mendalam terhadap leluhur yang telah meninggal. Tetapi di lain sisi ada sebuah perasaan takut akan dunia arwah, yang harus ditenangkan dengan upacara sesajian sehingga para arwah tersebut tidak akan mengganggu yang hidup. Inilah juga yang menjadi salah satu tujuan dasar dari pemujaan leluhur.
Bagaimana Cara Melakukan Pemujaan Terhadap Leluhur ?
Umumnya cara melakukan pemujaan terharap orang yang telah meninggal adalah mereka harus membakar dupa, bersujud (kowtow), dan membakar uang kertas di depan foto atau papan arwah leluhur yang berada di rumah. Saat bersujud (melakukan kowtow) harus sambil berlutut (kui), kedua tangan diletakkan di dekat pinggang, membungkukkan badan, kepala digerakkan secara perlahan ke atas dan ke bawah yang biasanya dilakukan sebanyak tiga kali. Ssetelah bangkit dari bersujud kedua tangan bersoja (tangan kanan membentuk kepalan tinju, tangan kiri menggenggam tangan kanan, lalu diayunkan ke atas dan ke bawah). Setelah pemujaan berakhir, kepala keluarga harus melemparkan ‘papoe’ untuk bertanya kepada leluhur apa seluruh ritual pemujaan sudah boleh berakhir.
Kapan Waktu Pemujaan Terhadap Leluhur Dilakukan ?
Waktu Pemujaan terhadap leluhur biasanya dilakukan setiap bulan pada tanggal satu (Ce It) dan lima belas (Cap Go) penanggalan Imlek. Pemujaan leluhur akan dilakukan dengan menyediakan makanan, buah-buahan dan uang kertas. Pada saat hari kelahiran dan kematian leluhur, mereka akan kembali dipuja. Menjelang Tahun Baru Imlek merupakan salah satu waktu pemujaan yang utama, di mana leluhur akan menerima lebih banyak persembahan. Biasanya sembahyang leluhur pada Tahun Baru Imlek diadakan pada saat sehari menjelang tahun baru berlangsung.
Selain itu, pemujaan terhadap leluhur juga akan dilakukan saat terdapat perayaan atau kesusahan dalam keluarga. Perayaan keluarga adalah hal membahagiakan yang terjadi dalam keluarga, misalnya adanya kelahiran dalam keluarga atau adanya pernikahan. Kesusahan dalam keluarga terutama menyangkut adanya kematian, penyakit dan musibah tak terduga dalam keluarga. Saat qingming juga diadakan pemujaan leluhur. Pada saat itu, akan dilakukan pembersihan dan perbaikan pada makam. Makam leluhur juga akan dipuja oleh seluruh anggota keluarga. Pada hari besar lainnya, leluhur juga akan dipuja, misalnya pada sembahyang rebutan.
Sangat jarang pemujaan leluhur dilakukan pada saat hari ulang tahun dan hari kematian sang leluhur. Mungkin karena berbagai alasan seperti leluhur yang dipuja sudah terlalu banyak, sehingga jika tiap hari ulang tahun dan kematian para leluhur diadakan pemujaan akan menghabiskan banyak waktu dan uang; atau sudah lupa hari ulang tahun dan kematian leluhur dan sebagainya, sehingga tidak dapat melakukan pemujaan pada hari ulang tahun dan kematian leluhur.
Barang-barang yang Dibutuhkan pada Saat Pemujaan Leluhur, antara lain :
Papan Arwah
Biasanya papan arwah diletakkan di ruang tengah. Bentuk papan arwah bermacam-macam, yang paling umum adalah papan kecil berbentuk persegi panjang yang terbuat dari kayu. Orang-orang biasanya akan meletakkan papan arwah di atas meja pendupaan biasa atau digantung di dinding. Tetapi saat ini sebagian besar menggunakan kertas merah untuk menggantikan papan kayu. Terhadap leluhur dalam keluarga yang telah meninggal, fotonya akan digantungkan di atas papan arwah atau langsung menggantungkannya di dinding. Selain itu juga terdapat Tok Wi. Tok Wi awalnya muncul pada zaman Dinasti Zhou, yang berfungsi sebagai kain alas yang digunakan untuk tirai meja penutup altar leluhur; namun lama kelamaan digunakan juga untuk altar dewa-dewa.
Seiring berjalannya waktu membuat kehidupan semakin modern. Mungkin masyarakat sekarang tidak ingin repot, ingin yang praktis, sehingga tidak lagi menggunakan papan arwah. Ditambah lagi, di luar Tiongkok belum tentu ada orang yang dapat membuat papan arwah. Ada yang berpendapat bahwa menggantung foto leluhur lebih praktis, namun ada juga yang tidak menggantungkan foto leluhur karena berbagai penyebab.
Dupa dan Lilin
Memulai pemujaan leluhur dengan menyalakan dua buah lilin merah, menandakan kemakmuran keturunan. Setelah menyalakan lilin, akan membakar dupa (hio). Secara umum, membakar dua dupa untuk memuja leluhur, sedangkan untuk memuja dewa membakar tiga dupa. Namun ada juga orang yang membakar tiga dupa, karena menganggap leluhur sama seperti dewa.
Uang Kertas
Uang kertas adalah ‘uang akhirat’ yang disediakan untuk digunakan oleh orang yang telah meninggal. Di dunia, yang pertama dibutuhkan oleh orang adalah uang. Oleh karena itu, dalam pemujaan leluhur, sering ditemui pembakaran uang kertas. Mereka percaya bahwa uang kertas adalah uang yang digunakan orang yang telah meninggal di dunia akhirat. Hal ini menandakan bahwa mereka masih percaya kehidupan di dunia akhirat menyerupai kehidupan yang mereka jalani saat ini. Di sini membutuhkan uang, disana pun juga pasti membutuhkan. Oleh karena itu mereka berharap dengan membakar uang kertas, leluhur dapat memiliki kehidupan yang baik.
Jenis uang kertas bukan hanya ada satu, tapi ada tiga. Yang pertama adalah daqian (??), yaitu menggunakan palu dan cetakan uang yang terbuat dari besi; cetakan uang tersebut diletakkan di atas kertas tanah lalu menggunakan palu untuk memukulnya sehingga bentuk uang terbentuk di kertas tanah tersebut. Yang kedua adalah jianqian (??), yaitu kertas tanah yang dibentuk menjadi kotak lalu ditempel dengan kertas foil emas dan perak; juga dibentuk menjadi seperti batang emas atau perak berbentuk sepatu pada zaman feodal di Tiongkok. Yang ketiga adalah yinqian (??), yaitu uang kertas yang menirukan uang zaman modern; terdapat cetakan tulisan ‘Bank Dunia Akhirat’ dan berbagai macam angka yang menandakan jumlah uang, layaknya seperti uang kertas yang ada di dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, uang kertas modern menjadi cukup popular. Sedangkan kemunculan ‘Kartu kredit Dunia Akhirat’ dan ‘Cek Dunia Akhirat’ dapat mencerminkan perubahan zaman.
Meski begitu, sebagian dari mereka juga melihat kondisi mereka sendiri untuk melakukan tradisi kebiasaan membakar uang kertas ini. Apalagi harga uang kertas sekarang juga tidak murah. Jika setiap melakukan pemujaan membakar banyak serta bermacam-macam uang kertas, sudah tentu akan menghabiskan banyak uang. Yang terpenting adalah terus melakukan pemujaan leluhur meski secara sederhana dengan hati yang ikhlas.
Makanan dan Minuman
Pemujaan leluhur tidak dapat dilakukan tanpa makanan. Menu makanan sembahyang leluhur yang paling sering dihidangkan adalah sansheng/samseng (??), yakni suatu menu yang terdiri dari ayam, ikan dan sapi. Pada saat festival atau hari raya peh cun (bakcang), hari raya pertengahan musim gugur (kue bulan) dan malam tahun baru Imlek, masing-masing akan disediakan pula penganan khas festival tersebut, seperti bakcang, kue bulan dan kue keranjang. Dalam menu makanan pemujaan juga disediakan nasi putih yang disediakan berdasarkan jumlah leluhur yang dipuja, sehingga leluhur masing-masing akan mendapatkan semangkuk nasi.
Selain makanan pokok, pemujaan juga menggunakan buah-buahan dan sayur-sayuran segar. Secara umum, jumlah buah yang harus disediakan saat melakukan pemujaan kepada leluhur berjumlah genap, yaitu dua macam, empat macam, atau enam macam (kelipatan). Minuman keras (jiu) dan teh (cha) adalah minuman khas tradisional Tiongkok. Agar terlihat indah saat pemujaan leluhur, ketika menghidangkan teh atau minuman keras akan menggunakan cangkir kecil sebanyak tiga buah.
Makanan dan minuman yang disediakan untuk pemujaan leluhur, umumnya tidak hanya berdasarkan kebiasaan yang dulu, tapi juga disesuaikan dengan makanan dan minuman yang disukai oleh leluhur. Seperti saat hidup leluhur menyukai makanan dan minuman apa, itulah yang akan disediakan. Ada pula yang hanya menyediakan menu seadanya, seperti saat di rumah ada makanan apa, itulah yang disediakan untuk leluhur.
Siapa Yang Harus Melanjutkan Untuk Melakukan Pemujaan Leluhur Ini?
Sejak zaman dulu, anak laki-laki pertama (sulung) adalah pewaris sah untuk melaksanakan pemujaan, menggantikan ayahnya. Karena itu kedudukan anak laki-laki dalam pemujaan leluhur sangat penting. Kelangsungan garis keluarga Tiongkok kuno sejalan dengan kelangsungan pemujaan, dimana pewaris garis keluarga akan mengambil alih tanggung jawab untuk memuja leluhur. Anak perempuan bertanggung jawab atas leluhur suaminya, bukan leluhur mereka sendiri. Sebenarnya mereka (anak perempuan) mengetahui bahwa yang seharusnya bertanggung jawab untuk mengadakan pemujaan leluhur adalah anak laki-laki sulung, namun karena berbagai penyebab, seperti leluhur ingin dipuja di rumah tersebut sedangkan yang menempati rumah tersebut adalah anak perempuannya sehingga yang melakukan pemujaan adalah perempuan, atau karena kakak laki-lakinya tidak bersedia untuk melakukan pemujaan di rumahnya, atau karena merupakan anak tunggal perempuan, sehingga akhirnya merekalah yang harus mengadakan pemujaan leluhur. Ini membuktikan bahwa perempuan juga dapat mengadakan pemujaan leluhur, tidak harus laki-laki yang mengadakan.
Perkembangan Pemujaan Leluhur di Rumah Masa Kini
Di Indonesia, umumnya tidak ada lagi masyarakat keturunan etnis Tionghoa yang mengetahui secara persis tentang asal mula pemujaan leluhur. Semua yang generasi sekarang tahu hanyalah berdasarkan ajaran dari orang tua yang diturunkan secara turun-temurun. Mereka mengetahui semua hal mengenai pemujaan leluhur dari orang tua. Jadi jika orang tua memiliki pengetahuan yang kurang tepat mengenai pemujaan leluhur, maka pengetahuan mereka pun juga menjadi tidak tepat. Mungkin karena tidak lagi tinggal di Tiongkok, sehingga tidak benar-benar mendapatkan pengetahuan mengenai pemujaan leluhur. Terlebih lagi, penutupan sekolah-sekolah Tionghoa pada masa Orde Baru membuat etnis Tionghoa semakin tidak bisa mendapatkan pengetahuan mengenai tradisi dan kebudayaan Tionghoa. Ditambah dengan lenyapnya media berbahasa Tionghoa dan organisasi-organisasi Tionghoa saat mereka dewasa, membuat mereka semakin tidak mengenal budaya Tionghoa.
Kebudayaan Tionghoa di Indonesia memang mengalami pengikisan yang cukup hebat akibat kebijakan asimilasi yang diterapkan oleh pemerintahan selama masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru, untuk mencapai asimilasi total, pemerintah Indonesia melarang etnis Tionghoa mengekspresikan identitas dan budaya Tionghoa mereka. Etnis Tionghoa juga harus berasimilasi secara total membaur menjadi warga pribumi, seperti diwajibkan mengubah nama aksara China nya menjadi nama yang telah di Indonesiakan. Selain itu, perayaan keagamaan dan adat istiadat, seperti Tahun Baru Imlek, Perayaan Kue Bulan dan Cap Go Meh, apabila diselenggarakan secara umum, tidak boleh mencolok. Etnis Tionghoa di Indonesia merasa dipojokkan secara budaya dalam tiga dasawarsa sesudah penerapan kebijakan asimilasi ini.
“Ketionghoaan” yang mau dihilangkan oleh pemerintah meliputi belajar dan mempraktikkan adat istiadat, kebiasaan dan bahasa Tionghoa. Karena itulah yang menyebabkan adanya perubahan dalam beberapa kebiasaan orang Tionghoa yang masih sering dilakukan di Indonesia saat ini.
Intinya, dalam melakukan pemujaan leluhur, tidak ada aturan yang ketat. Umumnya yang disiapkan hanyalah barang-barang pemujaan. Setelah itu anggota keluarga mulai memasang dan menyalakan lilin, membakar dupa/hio, bersoja dan membakar uang kertas. Tapi dengan perkembangan zaman yang semakin modern juga membuat kita harus memikirkan situasi dan keadaan kita sendiri. Jadi jika tidak mampu untuk melakukan tradisi yang dianggap terlalu berlebihan dan merepotkan, maka sebaiknya tidak perlu melakukannya. (infotionghoa/fn)