PERANG melawan korupsi perlahan menuju titik kemenangan seiring dengan mulai sirnanya sikap permisif masyarakat terhadap perilaku koruptif. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, indeks perilaku antikorupsi di Indonesia tahun ini mencapai 3,71, angka tertinggi sepanjang enam tahun terakhir. Indeks berkisar dalam skala 0 hingga 5. Semakin tinggi indeks, semakin anti masyarakat terhadap korupsi.
Survei BPS itu mengukur perilaku korupsi skala kecil, misalnya memberi uang pelicin untuk mengurus sesuatu. Lebih dari separuh menganggap tidak wajar sikap istri yang menerima uang dari suami di luar kelaziman tanpa mempertanyakan asal usulnya.
Pada salah satu indikator perilaku antikorupsi itu terlihat kaum hawa memiliki andil besar dalam mengekang perilaku koruptif dari tingkat rumah tangga. Dengan perilaku tersebut, menjadi tidak wajar bila seorang istri tidak tahu-menahu ketika suaminya melakukan korupsi.
Menyogok agar diterima menjadi pegawai atau supaya bisa menjadi murid di sekolah tertentu semakin dipandang tidak wajar. Kenaikan indeks antikorupsi ikut pula terdorong oleh perilaku masyarakat yang berangsur menghindari para calo. Dari 10 ribu rumah tangga di 33 provinsi yang disurvei tahun ini, sekitar 80,94% mengakses layanan publik sendiri tanpa perantara.
Tren positif perilaku antikorupsi di tingkat masyarakat selaras dengan Global Corruption Barometer 2017 yang dirilis Transparency International. Lebih dari setengah responden yang disurvei sepanjang April-Juni 2016 menilai pemerintah Indonesia bekerja lebih baik dalam memberantas korupsi. Masyarakat mengaku layanan publik terasa membaik setidaknya selama tiga tahun belakangan.
Perbaikan di pemerintah rupanya turut meningkatkan kesadaran masyarakat untuk lebih aktif memerangi korupsi, seperti yang terlihat pada hasil survei BPS. Sebagian mungkin akan menganggap perilaku antikorupsi itu belum signifikan karena hanya meneropong korupsi skala kecil.
Namun, perlu kita camkan, kecil ataupun besar, korupsi tetaplah korupsi. Suap, sogok, penggelembungan anggaran, penyunatan dana, dan gratifikasi boleh jadi terwujud dalam nominal kecil. Akan tetapi, jika jutaan orang melakukannya, efeknya akan sangat besar.
Yang paling kentara, korupsi membuat layanan publik berjalan lambat dengan kualitas buruk. Kemudian, pembangunan yang semestinya mampu membantu mengangkat perekonomian daerah dan penduduk miskin tidak bermanfaat optimal. Bukan kebetulan ketika tren perilaku antikorupsi meningkat, jumlah penduduk miskin pun cenderung menurun. Dalam catatan BPS, pada 2012 jumlah penduduk miskin mencapai 11,6 juta jiwa. Pada 2016, jumlah penduduk miskin tercatat tinggal 10,7 juta jiwa.
Kini yang perlu dilakukan ialah mempertahankan tren positif yang mulai tercipta. Akses-akses pengaduan telah dibuka lebih lebar bersamaan dengan bergulirnya Satgas Sapu Bersih Pungutan Liar. Jangan sampai akses itu buntu di tengah jalan karena setengah-setengah menindaklanjuti pengaduan.
Untuk memerangi skala korupsi yang lebih besar, yang dilakukan para elite politik dan birokrasi, tabuh lebih keras genderang antikorupsi. Saatnya sanksi yang lebih menjerakan diberlakukan. Pemiskinan serta pencabutan hak politik selayaknya menjadi standar hukuman koruptor, disertai sanksi sosial. Itu bertujuan agar tidak ada lagi koruptor yang disambut dengan tabuhan rebana selepas dari penjara.
Mtvn/RRN/MI