RADARRIAUNET.COM - Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, lema 'santri' berarti orang yang mendalami agama Islam; orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh; dan orang yang saleh. Namun, arti santri dalam terminologi sejarah bangsa bermakna lebih jauh daripada itu.
Guratan sejarah menunjukkan santri telah banyak berkontribusi dalam mewarnai dinamika perjalanan bangsa. Para santri tidak hanya asyik dan tekun dalam urusan-urusan ibadah.
Mereka juga ikut aktif berjuang mempertahankan kemerdekaan. Bahkan, jauh sebelum ide atau gagasan tentang kemerdekaan meruap ke permukaan, para santri di berbagai daerah telah memelopori gerakan perlawanan menentang kolonialisme yang mengisap rakyat.
Sepanjang abad ke-19 saja Pemerintah Kolonial Hindia Belanda telah mengalami sedikitnya lima perlawanan yang melibatkan kaum santri dan ulama: perang Cirebon (1802-1806), perang Diponegoro (1825-1830), perang Padri di Sumatra Barat (1821-1838), pemberontakan petani dan santri di Banten (1888), serta yang terpanjang pemberontakan santri di Aceh (1873-1908).
Tidak hanya terlibat dalam perjuangan bersenjata, kaum santri juga aktif berjuang melalui jalur pemikiran. Tokoh-tokoh, seperti Hadlratussyaikh Hasyim Asy'ari, KH Wahab Chasbullah, KH Machfudz Siddiq (Jember), KH Ma'shum (Lasem), KH Ahmad Wahid Hasyim, KH M Natsir, KH Agus Salim, Ki Bagus Hadi Kusumo, dan KH Idham Chalid adalah sedikit nama yang terlalu penting untuk dipinggirkan dalam wacana sejarah pemikiran bangsa. Mereka berperan membentuk watak dan karakter bangsa.
Kesadaran kebangsaan para santri dalam menentang pengisapan manusia terhadap manusia, baik melalui senjata maupun pemikiran, tidak bisa dilepaskan dari institusi pendidikan yang menaungi mereka: pesantren. Dari sebuah institusi berbasis agama, pesantren berkembang menjadi wahana pengetahuan hidup yang melahirkan kader-kader pemimpin rakyat berhati ikhlas.
Ahmad Baso dalam "Pesantren Studies 2a" mengatakan, para santri di pesantren mendapatkan pendidikan moralitas, pendidikan merawat alam (air, tanah, hutan), dan memberdayakan sumber-sumber ekonomi. Dalam konteks ini, pesantren menjadi institusi paripurna dalam menanamkan nilai keagamaan, kemanusiaan, dan kesadaran kebangsaan.
Kemampuan pesantren dalam membentuk karakter santri yang adaptif dalam merespons persoalan zaman, pernah juga diutarakan salah seorang pendiri Budi Utomo, yakni Dr Soetomo. Dalam "Polemik Kebudayaan" pada 1930-an, Soetomo menyebut pesantren sebagai institusi pendidikan asli Indonesia. Menurut Soetomo, para santri lulusan pesantren lebih bermanfaat bagi masyarakat ketimbang para lulusan sekolah Eropa, yang hanya bisa menjadi abdi pemerintah kolonial.
Pernyataan Soetomo tentu sangat menarik dicermati, mengingat latar belakangnya yang berbasis pendidikan modern barat. Menurut penulis, pernyataan Soetomo merupakan pengakuan jujur betapa para santri juga bisa bersaing menjawab persoalan zaman dengan mereka yang mengenyam pendidikan modern.
Hari Santri
Setelah delapan dekade lebih nyaris terpinggirkan dari narasi sejarah resmi, kini peran santri kembali meruap ke permukaan. Masyarakat Indonesia, khususnya kaum santri, patut berterima kasih kepada Presiden Joko Widodo yang berani menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri.
Pemilihan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri tidak terlepas dari konteks historis yang melingkupinya. Ketika itu, 22 Oktober 1945, sebelum revolusi fisik meletus pada 10 November 1945 di Surabaya, Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa jihad, yang dikenal dengan sebutan Resolusi Jihad NU.
Inti dari fatwa ini adalah perjuangan melawan Belanda merupakan jihad fisabilillah, yang wajib dilakukan kaum Muslimin. Berkat fatwa inilah perlawanan rakyat mempertahankan kemerdekaan dari agresi Belanda berkobar kencang.
Bagi penulis, keputusan presiden tersebut merupakan wujud nyata penghargaan negara atas eksistensi dan kontribusi kaum santri, yang sebelumnya terabaikan. Hari Santri menjadi penegasan bahwa santri bukanlah kaum pinggiran dalam dunia pendidikan di Tanah Air. Suara santri juga perlu didengar dalam wacana pembangunan.
Jumlah santri yang pada 2011 mencapai lebih dari tiga juta orang, dengan penyebaran yang siginifikan hingga berbagai pelosok Tanah Air merupakan aset besar bangsa, yang sayang jika tidak dioptimalkan.
Santri dengan karakternya yang adaptif, ulet, dan tekun berjuang bisa menjadi aktor penting memajukan bangsa dan menjawab persaingan global. Hal ini karena para santri tidak hanya dibekali oleh pengetahuan pikiran, tapi juga ditanamkan nilai-nilai budi pekerti dan keagamaan.
Karena itu, tidak berlebihan jika santri dijadikan sebagai salah satu tulang punggung dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), mewujudkan revolusi mental, dan melaksanakan program Nawacita Pemerintahan Jokowi-JK.
Untuk memulai langkah itu, pemerintah setidaknya bisa mengawali dengan cara menguatkan pesantren sebagai institusi pendidikan bangsa. Pesantren sebagai kawah candradimuka para santri perlu mendapat dukungan nyata secara moril, materil, ataupun legislasi. Dengan demikian, apa yang pernah dikatakan Dr Soetomo bahwa pesantren merupakan sumber pengetahuan dan mata air ilmu bisa tetap relevan pada zaman sekarang.
Oleh Abdul Kadir Karding
Sekretaris Jenderal DPP PKB, Ketua Fraksi PKB MPR RI/rol