RADARRIAUNET.COM - Sejumlah negara ekonomi utama tampaknya kompak menunjukkan tanda-tanda negatif, yang ditandai dengan data ekonomi terbaru dari Cina dan Jepang serta mencuatnya skandal di sektor keuangan di Eropa dan AS. Dalam laporan yang dirilis oleh Caixin pada Jumat (30/9) akhir bulan lalu, indeks manufaktur (PMI) Cina tercatat hanya naik tipis 0,10 poin ke level 50,1 untuk bulan September. Kenaikan tersebut didorong oleh meningkatnya pengiriman luar negeri dan permintaan sejumlah produk baru. Caixin mencatat, perolehan skor bulan September menjadi kali kedua manufaktur Negeri Panda mencapai level ekspansi sejak Februari 2015.
Kondisi lebih buruk dialami oleh Jepang. Pemerintah Negeri Sakura mencatatkan laju inflasi inti turun 0,5 persen pada bulan Agustus dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Penurunan ini menjadi yang tertinggi sejak Maret 2013. Senada dengan itu, pengeluaran rumah tangga Jepang juga tenggelam hingga 4,6 persen untuk bulan Agustus dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Perolehan tersebut dua kali lipat berada di bawah perkiraan para analis. Para ekonom dan analis tampaknya sepakat, perolehan angka laju inflasi dan konsumsi rumah tangga Jepang seolah menegaskan bahwa kebijakan ekonomi Bank Sentral Jepang (BOJ) dan pemerintah belum sama sekali membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan.
Selain kondisi yang cenderung negatif di kedua negara tersebut, sektor keuangan Amerika Serikat justru baru saja tersandung skandal penipuan yang dilakukan oleh Wells Fargo. Salah satu perusahaan keuangan terbesar di AS tersebut terbukti melakukan pemalsuan rekening hingga 2 juta akun. Tak pelak lagi, Kongres AS pun menyeret Bank Sentral AS (the Fed) untuk ikut serta bertanggung jawab dan melakukan pemeriksaan pada Wells Fargo. Untuk itu, skema stress test baru diusulkan oleh Gubernur the Fed Janet Yellen demi meminimalkan risiko sistemis bank-bank di AS.
Ternyata tekanan tak berhenti di situ saja, baru-baru ini investor global juga dilanda kecemasan akibat kesehatan neraca Deutsche Bank AG. Pemberi pinjaman asal Jerman itu berpotensi terpukul akibat denda 14 miliar dolar AS dari Departemen Kehakiman AS setelah terlilit skandal penjualan produk derivatif. Alhasil, beberapa perusahaan hedge fund memutuskan mengurangi eksposur keuangan atas bank pemberi pinjaman terbesar di Jerman tersebut.
Sepanjang pantauan saya, selain saham-saham Wall Street, bursa saham Eropa dan Asia pun sempat terpengaruh oleh sentimen dari Deutshce Bank, terutama setelah Kanselir Jerman Angela Merkel menolak membantu menyuntikkan likuiditas (bail out) kepada bank tersebut, sehingga tak terlalu mengherankan mengapa akhirnya beberapa analis khawatir risiko perbankan yang melanda Deutsche Bank akan memberi efek domino dan mengingatkan pelaku pasar pada kekisruhan krisis perbankan Eropa di tahun 2008.
Sementara itu, sejumlah sentimen negatif yang melanda AS membuat Dana Moneter Internasional (IMF) mengaku sedang bersiap-siap menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Paman Sam pada tahun ini. Dan kekhawatiran kian bertambah setelah Pemerintah Uni Eropa merilis laporan laju inflasi September pada Jumat (30/9) waktu setempat. Akibat tekanan dari bank terbesar Jerman, para analis akhirnya kompak memaklumi mengapa inflasi hanya mampu tumbuh 0,4 persen untuk bulan September. Meskipun naik dari perolehan Agustus yang mencapai 0,2 persen, capaian tersebut sejatinya masih jauh dari target Bank Sentral Eropa (ECB) yang sempat mematok angka sebesar 2 persen.
Seolah tak mau kalah, kemudian Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) juga ikut merilis proyeksi penurunan pertumbuhan perdagangan dunia yang menambah ingar-bingarnya sentimen negatif pasar global. Organisasi yang berbasis di Jenewa tersebut memangkas proyeksi pertumbuhan perdagangan global untuk tahun 2016 menjadi 1,7 persen. Proyeksi tersebut anjlok cukup dalam dari proyeksi bulan Maret yang mencapai 2,8 persen. WTO masih menggunakan dalih yang tak jauh berbeda dengan waktu sebelumnya, pemangkasan proyeksi adalah akibat dari perlambatan di Cina dan penurunan impor AS. Dua sinyal negatif yang muncul dari dua negara pelaku utama ekonomi global.
Berbagai data dan laporan mutakhir ini sangat layak menjadi perhatian khusus bagi pemerintah di seluruh dunia. Jangan sampai ditafsirkan ke dalam kebijakan yang salah arah sehingga membuat situasi malah semakin memburuk. Pesan utama yang harus ditangkap adalah bahwa mengingat sejumlah negara mengalami percepatan yang relatif sederhana dan sebagian lainnya justru anjlok, tampaknya terlalu optimistis jika kita menyebutkan bahwa ekonomi global telah mencapai titik baliknya.
Oleh karenanya, semua pemerintah, termasuk Indonesia, diharapkan terus memacu pertumbuhan setinggi yang bisa dicapai, mengedepankan kebijakan-kebijakan yang akan terus memperbanyak peluang kerja baru, meng-endorse kebijakan yang berorientasi penjagaan daya beli dan pengentasan kemiskinan, melakukan efisiensi di semua lini, menuntaskan reformasi struktural, akselerasi investasi, dan tetap berjuang memberikan dorongan dari sisi belanja pemerintah (counter cyclical). Jika tidak, terkhusus bagi Indonesia, tekanan ekonomi global akan menyambar kelambanan respons domestik dan mempercepat transformasi perlambatan menjadi titik awal lahirnya krisis ekonomi dalam negeri.
Berita baik terkait suskesnya pelaksanaan tax amnesty hanya satu sentimen positif yang tetap membuat pelaku pasar bertahan dengan optimisme. IHSG terdongkrak lagi, begitu pula dengan rupiah. Kendati demikian, pemerintah tetap saja harus cepat menanggapi dengan pembuktian segera terkait aktualisasi nyata paket-paket ekonomi yang sudah digelontorkan sampai ke level daerah dan mempersiapkan paket lanjutan yang sudah ditunggu-tunggu.
Ronny P Sasmita
Staf Ahli Komite Ekonomi dan Industri Nasional Republik Indonesia/rol