Jakarta : Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai tidak ada yang baru dari penjelasan pihak tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim (SJN) dan Itjih Nursalim. Komisi antirasuah pun meminta pihak kuasa hukum menghadirkan para tersangka yang sudah lama jadi buronan itu.
Sebelumnya, pengacara Sjamsul dan Itjih, Maqdir Ismail, menilai penetapan kliennya sebagai tersangka oleh KPK dalam BLBI tidak masuk akal.
Salah satu alasannya, kata dia, pada 1998 pemerintah dan Sjamsul telah menandatangani perjanjian Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) atas seluruh kewajiban BLBI yang diterima Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).
Menurut Juru Bicara KPK Febri Diansyah, "tidak terdapat hal baru dari penjelasan yang disampaikan oleh Maqdir". Pihaknya pun meminta Sjamsul dan Itjih menyerahkan diri jika ingin membela diri secara langsung.
"Sehingga, KPK memandang akan lebih baik jika pihak kuasa hukum SJN dan ITN membantu menghadirkan para tersangka untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut agar para tersangka juga dapat memberikan keterangan sesuai dengan data dan apa yang diketahui," kata Febri, seperti sitat CNN Indonesia, Selasa (11/6/2019).
Poin yang disampaikan oleh Maqdir, kata Febri, pun sudah disampaikan di persidangan oleh eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT).
Misalnya, terkait perjanjian MSAA yang telah terpenuhi atau closing pada 1999. Dalam fakta persidangan, Sjamsul diduga telah melakukan misrepresentasi ketika memasukkan piutang petani tambak Rp4,8 triliun. Padahal utang para petani tambak tersebut tergolong macet.
"Hakim juga menolak pembelaan penasihat hukum terdakwa SAT saat itu terkait dengan Release and Discharge kepada Sjamsul. Karena justru setelah dilakukan FDD justru ditemukan utang petambak tersebut dalam keadaan macet, sehingga BPPN kemudian menyurati SJN agar menambah jaminan aset sebesar Rp4,8 triliun tersebut," kata Febri.
KPK juga menyoroti hasil audit Badan Pemeriksa Keungan (BPK) 2002 yang dijadikan poin kejanggalan oleh kuasa hukum Sjamsul.
Diketahui, hasil audit BPK 2002 menyatakan bahwa seluruh kewajiban Sjamsul berdasarkan MSAA telah diselesaikan. Hasil audit itu juga menegaskan pemberian Surat Release and Discharge dan Akta Notaris Letter of Statement.
Menurut Maqdir, KPK tidak menjelaskan alasan pengabaian hasil audit BPK 2002 dan 2006.
Sementara itu, kata Maqdir, Audit BPK pada tahun 2006 mengkonfirmasi bahwa SKL (Surat Keterangan Lunas) telah layak diterbitkan kepada Sjamsul. Hal itu karena Sjamsul telah memenuhi semua kewajiban berdasarkan MSAA.
KPK pun dinilainya mengabaikan hasil audit BPK 2002 dan 2006 tersebut dan malah meminta BPK melakukan audit pada 2017.
Menurut Febri, dalam pertimbangan pada persidangan Syafruddin Arsyad Temenggung majelis hakim Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat tidak sependapat dengan bantahan Maqdir itu. Sesuai, sesuai keterangan ahli dari BPK di persidangan disampaikan bahwa Audit BPK 2002 dan 2006 merupakan audit kinerja.
Sementara, audit BPK Tahun 2017 merupakan audit untuk tujuan tertentu yakni menghitung kerugian negara dan semua dokumen yang dijadikan dasar untuk melakukan audit diperoleh dari Penyidik.
Namun, lanjut Febri, jika terdapat kekurangan maka auditor meminta pada penyidik untuk melengkapi. Walhasil, pembelaan terdakwa dalam perkara ini dikesampingkan.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah resmi menetapkan istri Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Sjamsul diduga sebagai pihak yang diperkaya Rp4,58 triliun dalam kasus ini.
Ia dan istrinya dijerat dengan pasal Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
RRN/CNNI