Jakarta, (RRN)- Yilmaz Pasha harus melalui perjalanan panjang dari Suriah menuju Eropa, menjadi pelarian perang yang mencari aman di negeri orang. Kelaparan, kedinginan dan kelelahan yang mewarnai perjalanan tersebut tidak serta merta memberikan kepastian akan nasib baik di akhir cerita.
Pasha, seperti diberitakan awakmedia ,Sabtu (22/8), adalah satu dari ratusan ribu warga Suriah yang mengungsi akibat perang saudara. Dia adalah aktivis yang nyawanya diincar, baik oleh rezim Bashar al-Assad maupun ISIS.
Kabur dari Suriah ke Turki dua tahun lalu, butuh enam bulan bagi Pasha untuk memantapkan hati dan merencanakan perjalanan menuju Eropa.
•
Perencanaan dimulai dengan menentukan rute.Hal ini bisa dipelajari dari sebuah grup di Facebook khusus para pengungsi, berisikan rute perjalanan, hotel dan wilayah yang ramah terhadap imigran.
Seperti pengungsi lainnya, perjalanan dimulai dengan mengarungi Laut Aegean menuju Yunani dari Turki.
Para penyelundup manusia telah berjaga di pinggir pantai, menyediakan beberapa perahu karet dengan motor.Di mata para penyelundup, pengungsi adalah uang.
Satu orang harus membayar setara Rp12 juta untuk naik ke perahu seadanya itu.Penyelundup lantas bertanya, siapa di antara mereka yang siap jadi kapten kapal. Kawan Pasha mengajukan diri walau belum pernah mengemudikan perahu.
"Mereka mengatakan pada kami, 'Kau tahu cara mengemudikan sepeda atau motor, ini sama saja, mudah'. Pertama kali kami menyalakan mesin, perahu goyang ke kanan-kiri, sangat menakutkan.Ini laut, bukan lelucon," kata Pasha.
Perahu tanpa rompi pelampung
Ada 55 orang berdesakan di perahu sempit itu.Tidak ada rompi pelampung, padahal banyak yang tidak bisa berenang. Selama sejam perjalanan menuju Pulau Lesbos di Yunani, beberapa pengungsi tidak lepas memegang ban penyelamat di perahu.
Di pulau ini mereka mendaftarkan diri dan boleh tinggal selama enam bulan sebelum ditentukan nasib selanjutnya.Namun kebanyakan pengungsi pilih beranjak lantaran Yunani sedang dilanda krisis ekonomi.
Sebelum mengungsi, Pasha menjual semua yang dia miliki, termasuk laptop untuk ongkos perjalanan. Di Lesbos, dia membeli kurma dan coklat batangan untuk makan di jalan.
Dari Lesbos mereka naik feri ke Athena, dilanjutkan dengan kereta menuju perbatasan dengan Makedonia.
"Kami berlari sepanjang jalur rel kereta menuju hutan.Kami menunggu sampai terbentuk kelompok besar. Kami saat itu berjumlah 1.000 orang," lanjut Pasha.
Di Makedonia, pengungsi dilarang menggunakan transportasi umum, akhirnya mereka beralih ke sepeda. Di tempat ini banyak yang menjual sepeda untuk pengungsi.
Harga sepeda itu 120 euro atau Rp1,8 juta. Belakangan Pasha menjualnya kembali dengan harga murah.
Mereka tidur beratapkan langit atau menggunakan bangunan-bangunan kosong sepanjang perjalanan. Dari Makedonia, berbekal peta di layar ponsel pintar, mereka jalan kaki menuju Serbia.
Di Serbia mereka ditangkap polisi dan diperintahkan meninggalkan negara itu dalam waktu 72 tahun. Saat memohon untuk dilepaskan, Pasha ditampar.
"Sangat memalukan.Saya ingat kelakuan mereka sama seperti tentara Suriah," kenang Pasha.
Tersesat di hutan
Pasha tiba di Belgrade, Serbia, dan mandi untuk pertama kalinya setelah seminggu berjalan. Di kota ini akhirnya dia menyantap makanan hangat pertamanya, pizza, sebelum berangkat dengan bus menuju perbatasan dengan Hungaria, negara yang tidak ramah terhadap pengungsi dan imigran.
Pemerintah Hungaria punya kebijakan, yang diadopsi oleh para warganya, bahwa imigran tidak diterima di negara ini. Ada papan iklan besar di negara itu, bertuliskan: "Jika kalian datang ke Hungaria, jangan mencuri pekerjaan warga."
Kebijakan ini hanya mendorong warga Hungaria bertindak kasar terhadap imigran, mengusir mereka dan melempari mereka dengan batu.
Pasha dan rombongannya sempat tersesat di hutan Hungaria selama dua hari tanpa air dan makanan. Tidur pun beralaskan tanah. Di tengah kegelapan malam hutan, tidak ada yang berani menyalakan api atau senter, khawatir tertangkap.
Mereka berhasil keluar dari hutan tersebut, namun tertangkap polisi di kota Szeged.
"Mereka memperlakukan kami seperti binatang. Mereka membawa kami dengan bus besar dan menempatkan kami di kamar kecil, padahal ada 40 orang, saya kira, kami tidak bisa bernafas," lanjut Pasha.
Dia diambil data-datanya, termasuk sidik jari, dan diminta berangkat ke kamp pengungsi lainnya. Namun dia dan rombongannya kabur dan mengambil jalan pintas: menggunakan jasa penyelundup manusia.
Dengan membayar mahal, penyelundup itu membawa Pasha dan kawan-kawannya dengan mobil berpendingin udara melalui Austria sebelum berakhir di Jerman.
Pasha melalui tujuh negara dalam 32 hari sebelum tiba di tempat tujuannya: Freyung, kota di selatan Jerman. Sekarang dia tinggal menunggu nasib apa yang menantinya.
"Saya ingin menyelesaikan studi dan saya ingin membawa keluarga saya.Saya merasa berutang pada orang tua saya--karena tindakan perlawanan saya kami kehilangan rumah di Suriah.Dan saya ingin adik perempuan saya punya kehidupan yang lebih baik," kata dia.
Dalam perjalanan yang melelahkan itu, Pasha membawa sebuah benda kenangan dari kekasihnya: parfum dan sebuah syal.
Setiap kali dia menyesali kepergiannya, meninggalkan keluarga dan kekasihnya, dia melihat bekas luka akibat terkena pecahan peluru di sikunya.
"Saat saya menyentuhnya, mengingatkan saya pada Suriah."
(stu/fn)