RADARRIAUNET.COM - Pertemuan KTT G-20 di Hangzhou, Cina, 4-5 September 2016 kali ini tampaknya masih berkutat dengan persoalan makroekonomi. Agenda pembahasan pertemuan G-20 kali ini, yaitu upaya menjaga stabilitas mata uang global, dukungan terhadap pembiayaan infrastruktur, dan kajian tentang profit perusahaan multinasional kepada negara setempat.
Meski demikian, kajian secara global tentu juga akan berkembang karena persoalan riil setiap negara pasti berbeda. Esensi pertemuan G-20 mengindikasikan bahwa isu global yang berpengaruh terhadap fluktuasi ekonomi menarik dicermati. Terkait hal ini, lawatan Presiden Jokowi pada dasarnya upaya menyinergikan antara kepentingan bilateral dan multilateral, terutama untuk mereduksi ancaman prospek ekonomi tahun 2017 dari fluktuasi ekonomi global.
Mengacu target pertumbuhan ekonomi tahun 2016, tampaknya tidak mudah untuk bisa merealisasikannya. Paling tidak, ada beberapa faktor yang perlu dicermati, baik mikro maupun makro dan karenanya perlu dibahas di KTT G-20. Identifikasi berbagai persoalan ekonomi maka pertemuan G-20 diharapkan mampu mengurai fluktuasi ekonomi global yang muncul sejak pertengahan tahun 2013 sehingga orientasi terhadap perekonomian pada 2016 menjadi lebih baik.
Adapun yang justru menjadi persoalan, yaitu komitmen semua anggota G-20 untuk mampu melepaskan diri dari fluktuasi ekonomi yang terjadi. Hal ini menjadi penting dan pengalaman dari gejolak krisis yang dialami sejumlah negara pada dasarnya menunjukkan bahwa komitmen untuk segera bebas dari jerat krisis adalah solusi cerdas dibandingkan mengharap bantuan negara lain, baik bilateral maupun multilateral.
Berkelanjutan
Jika dicermati, persoalan yang akan dibahas di forum G-20 pada intinya terfokus pada dua aspek, yaitu politik dan ekonomi. Aspek politik tidak bisa terlepas dari kondisi internal dan eksternal, termasuk misalnya bagaimana interaksi regional dan internasional. Karena itu, kajian tentang aspek politik di berbagai forum dunia, tidak hanya G-20, tetapi juga APEC, G-8, dan Asean Regional Forum selalu mengedepankan pembenahan terhadap isu-isu politik. Alasan yang mendasari karena isu-isu politik tidak bisa terlepas dari aspek stabilitas dan karenanya kajian tentang politik menjadi dominan di berbagai forum dunia. Selain itu, sinergi antara isu politik-ekonomi dan ekonomi-politik tidak akan pernah bisa dipisahkan.
Oleh karena itu, persoalan diplomasi multilateral sangat penting karena hal ini tidak hanya terkait dengan dukungan terhadap ekonomi, tetapi juga sosial-politik dalam konteks jangka panjang.
Pembahasan isu-isu politik pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu politik di internal negara dan politik dalam jalinan bilateral-multilateral. Di satu sisi, dari interaksi ekonomi global, maka kajian politik internal atau domestik tidak bisa lepas dari isu yang terjadi dalam jalinan bilateral-multilateral.
Oleh karena itu, apa yang ada di isu bilateral-multilateral secara tidak langsung berpengaruh terhadap isu yang muncul dan berkembang di kondisi politik internal atau domestik. Meski demikian, isu di politik internal atau domestik suatu negara belum tentu akan memengaruhi isu dalam politik bilateral-multilateral. Di sisi lain, ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap iklim politik, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Aspek kedua yang juga menarik dicermati dari berbagai forum pertemuan dunia adalah aspek ekonomi. Betapa tidak, kajian tentang ekonomi tidak hanya menyangkut peluang untuk melakukan kegiatan perdagangan bilateral-multilateral, tetapi juga menyangkut bagaimana membangun jaringan pasar bersama yang lebih baik.
Oleh karena itu, potensi dari aspek ekonomi justru menjadi perhatian utama. Meski demikian, kajian tentang hal ini tentu tidak bisa lepas dari aspek politik karena ada sinergi dari keduanya, yaitu aspek politik yang tangguh dan dijabarkan dalam stabilitas sospol yang kuat akan memberikan jaminan terhadap fondasi perekonomian internal atau domestik yang kokoh. Begitu juga sebaliknya, ketika fundamental ekonomi kuat, maka akan memberikan kepastian terhadap iklim politik dalam negeri. Isu terbaru dari konteks ini adalah kesepakatan Trans-Pasific Partnership Agreement atau TPP.
Pakta perdagangan tampaknya menjadi sesuatu yang mendukung globalisasi sehingga sejumlah negara terlibat dalam pembentukan sejumlah pakta perdagangan. Terkait ini, AS menyepakati pembentukan pakta perdagangan baru yang disebut TPP. Kesepakatan pakta TPP dilakukan di Atlanta, AS, pada Senin 5 Oktober 2015. Pakta TPP terdiri dari 12 negara, yaitu AS, Peru, Kanada, Jepang, Australia, Brunei, Cile, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Singapura, dan Vietnam. Hal yang menarik, Tiongkok juga berkepentingan menyepakati pembentukan pakta perdagangan Regional Comprehenship Economic Partnership atau RCEP.
Mengacu sinergi ekonomi politik dalam pembahasan di berbagai forum dunia, termasuk di forum G 20, maka AS memainkan peran yang sangat penting karena sampai saat ini dominasi AS terhadap isu ekonomi politik masih kuat, terutama pascaruntuhnya Soviet. Artinya, peran AS menjadi acuan membawa perubahan tata kelola perekonomian global. Hal yang juga tidak bisa diabaikan bahwa sebenarnya acuan untuk menciptakan tata kelola perekonomian pada era global harus mengacu kerja sama, kerelaan, dan saling pengertian karena tidak ada satu pun negara yang mampu terbebas dari persoalan fluktuasi global.
Artinya, ini adalah konsekuensi logis dari globalisasi dan karenanya semua negara harus mengerti dan memahami persoalan yang muncul karena faktor yang menjadi penyebab bisa berbeda dari setiap kasus di masing-masing negara. Artinya, pertemuan G-20 kali ini juga diharapkan mampu membangun fondasi ekonomi politik yang lebih baik lagi.
Edy Purwo Saputro
Dosen di FEB Universitas Muhammadiyah Solo/rol