RADARRIAUNET.COM - Maraknya tingkat kejahatan korupsi akhir-akhir ini di Provinsi Riau, mengingatkan kita pada pernyataan salah seorang Pakar hukum pidana Universitas Sumatera Utara (USU) Dr Pedastaren Tarigan,SH, mengatakan para koruptor yang telah merugikan keuangan negara, sudah sepantasnya dijatuhi hukuman mati, sehingga dapat membuat efek jera.
"Ganjaran hukuman mati itu, merupakan langkah yang dinilai paling tepat untuk diterapkan bagi koruptor yang ada di negeri ini," ungkapnya, beberapa waktu lalu kepada awak media.
Sebab, menurut dia, tanpa diterapkannya hukuman mati terhadap koruptor di negeri tercinta ini, pelaku kejahatan atau "pencuri" harta dan kekayaan negara itu akan terus berkembang dan semakin subur dan tidak akan pernah berhenti.
"Jadi, perlu adanya ketegasan dalam menerapkan hukuman mati terhadap koruptor yang telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan perekonomian negara," kata Kepala Laboratorium Fakultas Hukum USU itu.
Dia mengatakan, penerapan hukuman mati itu juga diatur dalam ketentuan hukum di Indonesia, namun sampai saat ini tidak pernah dilaksanakan terhadap koruptor yang nyata-nyata telah merugikan keuangan negara.
Oleh karena itu, katanya, pemerintah juga perlu mengkaji ulang Undang-Undang yang menerapkan hukuman mati tersebut.
"Selama ini, pelaku yang terbukti korupsi itu, hanya dijatuhi hukuman lima tahun penjara. Ini dinilai terlalu ringan, dan tidak membuat efek jera terhadap mereka yang telah memperkaya diri sendiri atau dengan sengaja menyalahgunakan keuangan negara," kata staf pengajar di Fakultas Hukum USU itu.
Selanjutnya Pedastaren mengatakan, dengan penerapan hukuman mati terhadap koruptor itu, diyakini dapat membuat rasa takut atau kehilangan nyali korup, serta mereka tidak akan mengulangi lagi kejahatan yang sama.
Penerapan hukuman mati itu, juga salah satu solusi untuk menyelamatkan keuangan negara dari koruptor yang juga sebagai musuh negara.
"Perlunya penerapan hukuman mati bagi koruptor itu, untuk terciptanya penegakan hukum yang tegas dan benar, sehingga minat untuk melakukan penyimpangan keuangan negara semakin berkurang," ujarnya.
Ketika ditanya mengenai wacana hukuman minimal lima tahun penjara bagi koruptor, Pedastaren mengatakan, dirinya kurang sependapat, hal ini terlalu ringan dan tidak akan membuat efek jera terhadap koruptor itu.
Hukuman lima tahun terhadap pelaku koruptor tersebut, jelas membuat senang bagi mereka yang melanggar hukum tersebut.
Karena, menurut Pedastaren, koruptor yang menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) itu, juga akan memperoleh remisi atau pengurangan hukuman. Koruptor tersebut juga tidak akan penuh menjalani hukuman di Lapas.
"Pemerintah juga perlu ketegasan mengenai penerapan hukuman terhadap koruptor itu, yakni apakah hukuman 20 tahun penjara, hukuman seumur hidup atau hukuman mati," kata Pedastaren.
Andai Ada Hukuman Mati Bagi Koruptor
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyayangkan hukuman bagi koruptor yang masih minim memberikan efek jera. Upaya penanganan kasus korupsi sering kali tak sebanding dengan hukuman yang dijatuhkan hakim di pengadilan. Tak pelak korupsi bernilai besar hanya membuat terdakwa divonis ringan.
Hukuman mati pun menjadi pertimbangan Ketua KPK Agus Rahardjo. Ia mengusulkan hukuman mati diterapkan bagi pelaku grand corruption alias korupsi dalam skala besar nan sistemis. “Contohnya kasusnya Nazaruddin. Dia transfer US$ 3.000 atau Rp 40 triliun. Kalau saya, itu pantas dihukum mati,” kata Agus Rahardjo di depan ratusan mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Sabtu, 2 April 2016.
Agus mengatakan sebenarnya hukuman mati sudah diatur oleh perundang-undangan di Indonesia. Ia merujuk pada UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang berlaku untuk korupsi tertentu, yang dianggap ‘luar biasa’. Dalam penerjemahan selanjutnya, kata dia, menggunakan dana korban bencana alam.
Dalam korupsi bencana alam, pasal tentang hukuman mati itu dapat diterapkan. “Karena korupsinya sendiri sudah luar biasa, lalu banyak orang yang membutuhkan,” tuturnya.
Tak hanya korupsi dana bencana alam, Agus mengatakan hukuman mati bisa diterapkan untuk kasus grand corruption atau kasus seperti yang dilakukan Muhammad Nazaruddin. Ia didakwa akibat penyuapan pembangunan wisma atlet (Hambalang) untuk SEA Games ke-26 pada. “Jadi undang-undang bisa diubah untuk kasus-kasus seperti ini. Hukumannya harus mati.”
Agus mendukung penuh upaya penerapan hukuman berat, termasuk mati bagi terdakwa koruptor. Namun, belakangan, ia mengakui banyaknya vonis yang ringan. Karenanya, pengawasan terhadap aparat penegak hukum juga perlu dilakukan. “Saya kira perlu diawasi juga karena dalam beberapa kasus terjadi komunikasi antara yang disidang dengan penegak hukumnya, dalam hal ini hakim," ucapnya.
Selain kurangnya efek jera karena hukuman yang ringan, upaya melemahkan tugas pemberantasan korupsi dapat timbul dari revisi UU Tipikor di tataran legislatif. "Saya akui UU Korupsi yang ada belum sempurna, perlu penyempurnaan beberapa pasal. Tapi bukan pasal yang jadi polemik di DPR itu yang perlu diubah.”
Ant/Alex harefa/tmpc/RR-H24