ICW: Dinas Pendidikan Rentan Akan Kasus Korupsi

Administrator - Selasa, 17 Mei 2016 - 20:49:15 wib
ICW: Dinas Pendidikan Rentan Akan Kasus Korupsi
Warga memperlihatkan Kartu Indonesia Sehat saat Peluncuran Kartu Indonesia Sehat dan Pintar di Kantor Pos Pusat, Jakarta, Senin, 3 November 2014. ICW menilai sektOr pendidikan rentan korupsi. Cnn
RADARRIAUNET.COM - Dinas Pendidikan menjadi lembaga yang rentan bersinggungan dengan kasus korupsi. Hal itu didasarkan hasil pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap kasus korupsi dalam sektor pendidikan.
 
Menurut Staf Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah terhitung semenjak tahun 2005 hingga 2016 ada sekitar 425 kasus korupsi. Sebanyak 214 kasus ditemukan di Dinas Pendidikan.
 
"Dari 15 lembaga, Dinas Pendidikan menjadi tempat paling sering terjadinya korupsi dengan 214 kasus korupsi dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini telah menimbulkan kerugian negara sekitar Rp457 miliar," ujar Wana dalam Media Briefing ICW pada Selasa (17/5).
 
Hal ini menurut Wana menjadi masuk akal karena sebagian anggaran pendidikan dikelola oleh Dinas Pendidikan Daerah. Dari total anggaran pendidikan pada tahun 2016 sebesar Rp424,7 triliun, 33,8 persen dikelola oleh Pemerintah pusat dan 64,9 persen dikelola oleh lembaga pendidikan daerah-daerah.
 
Selain Dinas Pendidikan, Sekolah juga merupakan lembaga kedua yang rentan bersinggungan dengan kasus korupsi. Sekitar 93 kasus korupsi bersumber dari penyelewengan anggaran pendidikan oleh pihak sekolah.
 
"Dari 15 lembaga rentan korupsi. Dinas Pendidikan menjadi yang utama dengan 214 kasus. Kedua itu sekolah dengan 93 kasus korupsi, dan sisanya melibatkan univeristas dan lembaga pendidikan lainnya," kata Wana.
 
Menurut Ketua Komunitas Perempuan Antikorupsi kota Bogor Hania Rahma kegiatan korupsi dalam sektor pendidikan tidak hanya terbatas pada tindakan yang merugikan keuangan negara tapi juga menyerupai penyalahgunaan dana sekolah yang berasal dari orang tua murid.
 
Menurutnya data di lapangam terkait penyelewengan dana pendidikan pada tingkatan yayasan sekolah yang masuk dalam hasil pantauan ICW masih lebih kecil dibandingan dengan hasil temuan di lapangan.
 
"Hasil temuan lapangan penyelewengan dana pendidikan oleh sekolah masih jauh lebih besar dibandingan data yang ada," ujar Hania.
 
Dalam pengamatan ditemukan beberapa perilaku koruptif yang marak dilakukan pada entitas-entitas sekolah. Diantaranya penyalahgunaan alokasi Biaya Operasional Sekolah (BOS), pungutan dan sumbangan liar yang dibebankan pada orang tua murid, serta gratifikasi orang tua kepada guru dan pihak sekolah.
 
Penyelewengan dana pendidikan juga marak terjadi pada tahap alokasi anggaran sekolah. Sering kali pihak sekolah mengalokasikan anggaran untuk kebutuhan yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan peningkatan mutu pendidikan dan tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 44 Tahun 2012.
 
"Misalkan sekolah ingin mengadakan pelatihan guru di luar kota. Kadang-kadang terselip agenda wisata yang sebetulnya tidak ada kaitannya dengan peningkatan mutu pendidikan," ujar Hania.
 
Menurut Hania banyak orang tua yang tidak sadar jika mereka sedang menjadi pelaku atau korban korupsi di sekolah. Seperti pemberian hadiah kepada guru dan sumbangan kepada sekolah guna mengamankan posisi akademik anak merupakan salah satu bentuk tindakan 'penyuapan' di tingkat sekolah.
 
Hal itu mendorong guru untuk memanipulasi nilai murid yang pada akhirnya merugikan siswa lain yang memiliki potensi yang jauh lebih baik.
 
"Itu memang tidak masuk ranah tindak pidana koruosi karena tidak merugikan negara secara langsung langsung. Tapi jelas merugikan siswa lain yang tidak 'main belakang' dan sebenarnya memiliki potensi akademik yang jauh lebih baik lagi," kata Hania.
 
Pungutan liar juga marak ditemukan di beberapa sekolah negeri favorit. Pungutan liar ini ditemukan pada kasus siswa pindahan. Hania menyatakan banyak sekali orang tua memaksakan anaknya untuk masuk sekolah favorit padahal hasil akademiknya tidak mencukupi kriteria sekolah tersebut.
 
Alhasil orang tua memberikan 'sumbangan' kepada pihak sekokah agar anak-anaknya dapat mengemban pendidikan di sekolah tersohor itu.
 
Kurangnya transparansi
 
Kurangnya transparansi menjadi faktor utama maraknya tindak korupsi di tingkat sekolah. Minimnya pengawasan komite dan yayasan terhadap operasional sekolah turut memperbesar celah korupsi di satuan pendidikan ini.
 
Menurut Hania, selama ini orang tua jarang dilibatkan dalam perencanaan alokasi anggaran sekolah.
 
"Peran orang tua jarang dilibatkan dalam perencanaan alokasi anggaran sekolah. Apalagi ketika berkaitan dengan dana dan angka-angka," ujar Hania.
 
Ia juga mengatakan peran komite yang seharusnya menjadi supervisi sekolah seolah tidak ada dalam pengawasan. Sering kali pihak komite tidak bersikap independen saat menemukan kejanggalan yang terjadi pada operasional sekolah.
 
"Peran komite seolah tidak optimal. Sering kali komite malah bersikap saling memback up dengan pihak sekokah ketika menemukan kejanggalan,"
 
Sebagai solusi, Hania mengimbau setiap pemerintah daerah membuat aplikasi berbasis web yang menyertakan laporan anggaran pengeluaran dan belanja setiap sekolah.
 
Hal ini diperlukan sebagai bentuk peningkatan transparansi dalam pengalokasian dana pendidikan.
 
"Laporan ini wajib diisi setiap sekolah yang dapat diakses juga oleh publik yang dapat digunakan sebagai data dan riset efisiensi dana sekolah," tambahnya.
 
 
 
Alex harefa/Cnn/Radarriuanet.com