YANGON (RRN) - Salah satu pendiri kelompok ultranasionalis Buddha memutuskan membantu partai yang berkuasa di Myanmar memenangkan pemilu setelah pemerintah meloloskan hukum yang dipandang anti-Muslim.
Kelompok bernama Ma Ba Tha ini tidak mengajukan calon anggota legislatif dalam pemilu tanggal 8 November itu karena biksu dilarang berpartisipasi dalam jabatan pemerintah.
Namun, kelompok ini menjadi ujung tombak kampanye dan dapat memengaruhi pemerintah yang pertama dipilih melalui pemilu dalam lebih dari setengah abad.
Untuk pertama kali biksu Paramaukkha, salah satu pendiri kelompok ini, mengungkap rincian pertemuan tertutup antara kelompok itu dengan pemerintah dalam upaya meloloskan RUU baru tersebut.
Undang-undang ini mewajibkan warga negara mendapat izin dari pemerintah untuk pindah agama, memaksa kaum perempuan memiliki anak setidaknya dengan jarak tiga tahun dan merinci hukuman bagi mereka yang memiliki lebih dari satu pasangan.
Mayoritas warga Myanmar adalah pemeluk agama Budha.
Kelompok hak asasi manusia mengatakan, undang-undang baru ini mendiskriminasi Muslim dan kaum perempuan dan bisa memicu ketegangan antar agama.
Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan, USDP, yang berkuasa memanfaatkan kursi mayoritasnya di parlemen untuk meloloskan RUU itu dengan keyakinan “Ma Ba Tha akan membantu mereka mendapatkan suara pemilih,” kata Parmaukkha, yang membantu mendirikan kelompok itu pada 2013.
“Mereka tahu kami adalah organisasi yang kuat.”
Tha Win, anggota parlemen dan pejabat senior partai USDP, menyangkal memiliki hubungan dengan Ma Ba Tha.
“Kami hanya terlibat dalam politik. Peraturan partai melarang kami melibatkan diri dalam urusan agama.”
Penjelasan Parmaukkha terkait peran Ma Ba Tha juga dipertanyakan oleh juru bicara kelompok itu, Thurain Soe, yang mengatakan kelompoknya berterima kasih atas bantuan USDP meloloskan RUU tersebut tetapi tidak mendukung partai manapun.
“Kami memerlukan RUU keagamaan. Siapa yang kita minta bantuan? Kami perlu menanyakan ini pada pemerintah. Itu semua proses yang wajar,” kata Thurain Soe kepada Reuters.
“Kami berterima kasih kepada presiden dan parlemen. Tetapi hanya ‘terima kasih’, tidak mendukung (USDP dalam pemilu).”
Referendum reformasi
Pemilu ini akan menjadi yang pertama sejak pemerintah setengah sipil menggantikan pemerintahan militer pada 2011, dan dianggap sebagai referndum terhadap proses reformasi Myanmar.
Para pengamat pemilu menilai pengaruh Ma Ba Tha terhadap mayoritas warga Myanmar bisa sangat penting dalam kampanye pemilu, terutama di daerah pedesaan, di mana otoritas vihara tidak bisa ditentang.
Pengaruhnya mungkin bisa menarik cukup banyak suara dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi, NLD, pimpinan Aung San Suu Kyi, sehingga partai oposisi ini tidak akan mendapatkan kursi mayoritas di parlemen.
Ashin Tilawkar Biwonsa ketua Ma Ba Tha dalam acara kelompok garis keras Budha Myanmar di Yangon. (Reuters/Soe Zeya Tun)
Dengan demikia, USDP yang didirikan oleh militer dan diketuai oleh Presiden Thein Sein, tidak dipermalukan dalam persaingan pemilihan umum tersebut.
Dua pejabat senior NLD mengatakan karena takut akan ancaman intimidasi Ma Ba Tha, partai itu memutuskan untuk tidak mengajukan bakal calon Muslim dalam pemilu mendatang.
Dalam beberapa tahun terakhir, kekerasan karena agama di Myanmar telah menewaskan 400 orang, yang sebagian besar adalah Muslim.
Ma Ba Tha memiliki nama Komite Bagi Perlindungan Kebangsaan dan Agama, dan merupakan sempalan dari gerakan “969” yang juga dipimpin oleh para biksu, yang meminta larangan perkawinan antar agama dan memboikot bisnis Muslim.
Parmaukkha mengatakan Ma Ba Tha mulai bekerja sama dengan pemerintah dan USDP melalui serangkaian pertemuan mengenai hukum ras dan agama pada 2014 dan 2015.
Dia menjelaskan, pertemuan di ibu kota Naypyitaw pada 2014 dihadiri oleh para pejabat dari kementerian agama, imigrasi dan dalam negeri serta penasihat presiden.
Tiga biksu terkemuka Ma Ba Tha membenarkan kepada Reuters bahwa mereka hadir dalam pertemuan pada bulan Mei itu untuk membicarakan RUU tersebut dengan satu gugus tugas pemerintah.
Anggota tim pemerintah itu, termasuk Soe Win yang merupakan Menteri Urusan Agama, tidak menjawab permintaan tanggapan atas hubungan antara pemerintah dan Ma Ba Tha.
Pertemuan tertutup itu sebelumnya tidak pernah diungkap kepada publik.
Prediksi kalah
Dalam pertemuan lain pada Maret 2015, seorang pejabat USDP yang juga seorang dirjen di sebuah kementerian, meyakinkan Ma Ba Tha bahwa pemerintah akan meloloskan RUU ras dan agama. Namun, Parmaukkha menolak menyebut nama pejabat itu dan Reuters tidak bisa mendapatkan verifikasi secara independen.
Pertemuan tersebut terjadi hanya beberapa minggu setelah satu survei internal USDP, memperlihatkan bahwa NLD akan mengalahkan partai yang berkuasa itu pada pemilu.
Dua bulan kemudian, Presiden Thein Sein menandatangani satu dari empat RUU sehingga menjadi undang-undang.
Tiga RUU lainnya diberlakukan kurang dari tiga minggu sebelum kampanye pemilu resmi dimulai.
Ma Ba Tha didirikan oleh para Biksu garis keras Myanmar dan para biksu dilarang terlibat dalam politik.
Juru bicara Ma Ba Tha, Thurain Soe, menyangkal para pemimpin kelompoknya telah bertemu para pejabat pemerintah terkait RUU ras dan agama ini pada 2014 dan 2015.
Zaw Htay, seorang pejabat senior dari Kantor Presiden, mengatakan satu petisi yang dimotori para biksu yang mendorong ide undang-undang itu.
Zaw Htay mengatakan, kampanye para biksu itu berhasil mengumpulkan dua juta tanda tangan agar ada hukum yang bertujuan melindungi ras dan agama, dan Kantor Presiden membuat rancangan undang-undang sebagai jawaban dari petisi itu.
“Sangat sulit memisahkan biksu Buddha dengan politik di negeri ini,” katanya, mengutip peran para biksu dalam perang kemerdekaan dari penjajahan Inggris, serta aksi protes pro-demokrasi beberapa tahun belakangan.
Mengecam Suu Kyi
Para pemimpin Ma Ba Tha dengan terbuka mendukung USDP dan mengecam Aung San Suu Kyi.
Wirathu, salah satu biksu terkemuka Ma Ba Tha, mendukung Presiden Thein Sein dengan mengatakan pemerintahnya “membuka pintu dan bekerja selangkah demi selangkah menuju perdamaian dan pembangunan.”
Dia mengecam Suu Kyi dan partainya dengan menyatakan: “Orang-orang NLD selalu membanggakan diri sendiri. Mereka tidak punya kesempatan untuk menang dalam pemilu.”
Vimalabuddhi, salah satu biksu yang ikut mendirikan organisasi ini, mengatakan karena sebagian besar para pemimpin USDP berasal dari militer, mereka lebih mengerti situasi negara itu daripada NLD yang hanya “politisi dan warga sipil”.
Partai NLD pimpinan Aung San Suu Kyi khawatir akan ancaman dari Ma Ba Tha sehingga tak ajukan caleg Muslim. (Reuters/Soe Zeya Tun)
“Mereka tidak benar-benar mengerti situasi kami,” ujarnya.
Ketika ditanya terkait kritik Ma Ba Tha ini, Win Htein dari NDL mengatakan: “Ajaran Buddha menyebutkan biksu tidak boleh terlibat urusan politik. Mereka seharusnya netral.”
Dia mengatakan Ma Ba Tha menyasar NLD sejak awal karena tidak mendukung hukum ras dan agama dan karena lebih bersimpati pada Muslim.
“Itu sebabnya kami memutuskan untuk tidak mengajukan calon Muslim, karena takut permusuhan dengan Ma Ba Tha, kehilangan suara dan tidak menjadi mayoritas di parlemen.
“Langkah ini menyebabkan kami berpikir dalam-dalam,” tambahnya. (Reuters/yns/fn)