Muhammad Nurul Huda, S.H., M.H
Hakim Agung Artidjo kembali membuat kejutan, dengan melipatgandakan hukuman terhadap terdakwa Anas Urbaningrum pidana pokok menjadi 14 (empat belas tahun) pidana penjara. 1 tahun 4 bulan kurungan apabila tidak mau membayar denda Rp. 5 Milliar dan 4 tahun pidana penjara apabila Anas Urbaningrum tidak mau membayar uang pengganti Rp. 57,5 Milliar. (detik.com)
Sebenarnya, Hakim Agung Artidjo bukanlah dewa. Artidjo hanyalah seorang manusia biasa yang dalam berhukum menggunakan akal semesta. Artidjo membentuk keadilan dengan menggunakan akal semesta, bahwa korupsi tidak saja dipandang sebagai melanggar ketentuan hukum negara yang berlaku. Lebih dari itu, Artidjo memandang persoalan membentuk keadilan merupakan persoalan tanggungjawab Hakim kepada tuhan (kick Andy). Tuhan tidak selalu ada pada pembuat keadilan yang rakus dan toleran terhadap pelaku korupsi.
Seorang hakim, seperti yang dikatakan oleh Roger Cotterrell harus dapat merasionalisasikan dan mengelaborasi doktrin hukum dalam menghadapi perubahan, serta sebagai pendorong dan penegas doktrin yang sudah ada dalam perkara yang disidangkan atau dalam kaitannya dengan tuntutan yang dibawa kehadapan mereka.
Merasionalisasikan dan mengelaborasi doktrin hukum tidak hanya sekedar menyesuaikan elemen-elemen atau unsur-unsur yang ada dalam Pasal-pasal hukum. Tetapi bagaiamana, hakim dapat merasionalisasikan dan mengelaborasi dokrin hukum yang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dalam memutus perkara tindak pidana korupsi misalnya, hakim sedapat mungkin harus dapat merasionalisakan dampak akibat korupsi terhadap kesejahteraan rakyat dan keutuhan NKRI. Dampak ini tidak saja harus diukur secara matematis dalam hitungan BPK (Badan Pemeriksaan Keuangan), tetapi dampak terhadap psikologis rakyat sebagai korban terhadap perbuatan korupsi.
Mengukur dampak psikologis terhadap perbuatan korupsi bisa dilakukan dengan menggunakan hati nurani. Frans Magnis Susino mengatakan hati nurani tidak bisa dibohongi, karena hati nurani itu bersih dan suci. Ketika putusan Hakim yang tidak sesuai dengan pertimbangan dengan fakta-fakta yang terjadi di persidangan, berarti ada pertentangan hati nurani dan pikirannya.
Tiga pendekar keadilan, yakni Artidjo, MS Lumme dan Krisna Harahap telah menggunakan hati nuraninya secara benar dan tepat. Pendekar keadilan ini secara tidak langsung berpesan kepada kepada penegak hukum lainnya, agar segera menyelesaikan berkas perkara baik yang masih dalam tahap penyelidikan dan penyidikan untuk segera mendaftarkan perkara tersebut ke pengadilan tipikor. Serta berpesan juga kepada calon-calon koruptor, agar tidak melakukan korupsi jika tidak ingin bernasib sama dengan koruptor-koruptor yang telah di vonis.
Berdasarkan data yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW), jumlah kasus korupsi cenderung menurun selama 2010-2012, tetapi kembali meningkat pada 2013-2014. Pada 2010, jumlah kasus korupsi yang disidik kejaksaan, kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencapai 448 kasus. Pada 2011, jumlahnya menurun menjadi 436 kasus dan menurun lagi pada 2012 menjadi 402 kasus. Namun, pada 2013, jumlahnya naik signifikan menjadi 560 kasus. Pada 2014, jumlah kasus korupsi diperkirakan akan meningkat lagi mengingat selama semester I-2014 jumlahnya sudah mencapai 308 kasus. Perkembangan jumlah kasus korupsi linier dengan jumlah tersangka korupsi. Pada tahun 2010, jumlah tersangka korupsi mencapai 1.157 orang, kemudian cenderung menurun pada 2011 dan 2012. Namun, pada 2013, jumlahnya meningkat signifikan menjadi 1.271 orang dan diperkirakan bertambah lagi pada 2014 (Kompas).
Beranak-pinaknya korupsi di Indonesia, Menurut ICW disebabkan, vonis terhadap pelaku korupsi seseuai dengan ancaman hukuman terendah dari Pasal UU Tipikor. Kategori vonis ringan hukuman 4 tahun ke bawah. Sedangkan vonis masuk kategori sedang adalah vonis di atas 4 tahun hingga 10 tahun. Masuk kategori vonis berat adalah kasus korupsi yang divonis di atas 10 tahun penjara. Pada semester II tahun 2014, dominan hukuman untuk koruptor masuk kategori ringan (<1-4 tahun) yaitu sebanyak 178 terdakwa (81,2%). Sedangkan masuk kategori sedang (<4-10 tahun) hanya ada 16 terdakwa (7,3%) dan kategori berat (di atas 10 tahun) hanya 2 orang (0,9%) yang divonis di atas 10 tahun penjara. Dari data ICW tersebut terlihat bahwa, Hakim Tipikor belum mempunyai semangat yang sama dalam upaya memerangi Tipikor.
Untuk itu, upaya yang harus dilakukan kedepan adalah bagaimana “cicak dan buaya” tidak lagi saling berebut perkara tipikor. Upaya yang mendesak yang harus dilakukan sekarang adalah, Pertama, perkara yang sudah tahap penyelidikan atau tahap penyidikan sesegera mungkin dilengkapi dan dilimpahkan ke pengadilan. Kedua, Kejaksaan dan KPK sebaiknya melakukan upaya hukum sampai tingkat Kasasi apabila vonis dari hakim tidak maksimal. Terakhir, Komisi Yudisial sebaiknya harus memeriksa seluruh vonis hakim yang tidak bersesuai dengan pertimbangan. Semoga !!
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau dan Kandidat Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.