RADAR OPINI - Hari-hari ini kita membaca dan mendengar pembicaraan tentang kemaritiman di media massa tengah hangat-hangatnya.
Tentu antusiasme pejabat dan pemangku untuk membenahi sektor kelautan membuncah, campur aduk antara pesimisme dan optimisme perlu kita dukung meskipun terkesan terlambat.
Sikap optimis diwarnai oleh komentar dan kemauan kuat pihak-pihak yang sangat bersemangat mengikuti langkah dan gaya kepemimpinan Ibu Menteri Susi.
Di pihak lain terdapat juga pihak yang pesimis apakah semangat membangun kelautan yang tiba-tiba megemukan kembali ini akan berhasil dengan segala kekurangan dana, SDM dan infrastruktur terkait (satellite remote sensing tools, IT, dana, SDM handal, aturan dan perubahan nyali/kemauan dan itikad baik/membenahi integritas aparat) guna mewujudkan semangat itu.
Apapun, nuansa dan semangat baru tersebut patut kita dukung sehingga slogan di laut kita jaya bukan hal mustahil dan dapat terwujud.
Jika meretas kembali sejarah perjalanan NKRI, ide kemaritiman ini sebenarnya bukan hal baru.
Kita layak acungkan jempol kepada Presiden Jokowi, yang mengingatkan dan menyadarkan kita di era Kabinet Kerja, bahwa kita adalah bangsa yang hidup dan tinggal di antara lautan sehingga tidak akan pernah mati kelaparan.
Sifat alpa dan mudah lupa, menyebabkan banyak di antara kita terperangah mendengar-membaca kata kemaritiman ala Jokowi.
Sejatinya mantan Presiden Suharto ketika berkuasa, tidak hanya berwacana, bahkan telah berbuat cukup banyak, sayangnya tidak diartikulasikan dengan serius dan baik oleh para pembantunya.
Suharto pernah mencanangkan super highway kelautan dengan membangun 7 (tujuh) pelabuhan Samudera yang dermaga dan fasilitasnya perlu dibenahi termasuk kedalaman laut dermaga ditambah agar kapal berbobot besar dapat berlabuh (di era alm. Fanni Habibie sebagai Dirjen Hubla).
Namun sayangnya kala itu, ide mulia tersebut mangkrak sebab dicemari isu ketidakwajaran-ketidakpatutan yang merebak.
Alasannya ialah laut bukan pemisah melainkan pemersatu wilayah nusantara. Guna mendukung idenya, Suharto membeli puluhan kapal penumpang raksasa kapasitas 2500+ penumpang pada tahun 1980-an sebagai armada toll laut nusantara (dari Belawan hingga Sulawesi, Kalimantan bahkan Papua) yang sebagian besar masih dapat kita saksikan saat ini (a.l. KM Lawit, KM Sinabung, KM Rinjani, KM Kerinci, dll).
Ide Suharto yang sejatinya lebih cemerlang lagi, ialah membangun PT Nurtanio bersama BJ Habibi BJ dengan alasan sederhana: Sebagai negara kepulauan (ingat Wawasan Nusantara) bahwa NKRI memerlukan armada buatan sendiri untuk mengangkut keperluan sembako, mengangkut sapi ke seantero pelosok negeri bahkan mengangkut jemaah haji pada suatu ketika agar tindak tergantung pada maskapai negara lain. Awalnya ada yang anggap remeh dan menertawakan wacana tersebut.
Suharto telah pergi, namun saya yakin idenya tetap hidup dan relevan dengan situasi dan berbagai persolan yang tengah kita hadapi. Bagaimana pun, karya itu adalah bagian yang tidak akan terpisahkan dari perjalanan kita sebagai sebuah bangsa yang besar. Yang buruk harus kita lupakan, yang baik, ayoo mari, kita lanjutkan bersama.
Untuk mencapai status digdaya dan jaya di lautan diperlukan tidak hanya revolusi mental, melainkan juga revolusi administrasi negara dilandasi kemauan politik perubahan mendasar.
Sejatinya sebagai negara maritim, dan yang memiliki matra Angkatan Laut kita harus memperkuat (revitalisasi) sektor keamanan laut kita. Disadari atau tidak, sektor yang satu itu terbengkalai dan luput dari perhatian penguasa, pengusaha dan rakyat yang sejatinya menjadi halaman primadona sumber hidup rakyat.
Adalah sangat wajar jika kita semua mendukung semangat Ibu Susi yang tengah menggebu-gebu di tengah pesimisme yang masih menggelantung.
Namun sebaiknya kita berkaca diri, mematut-matut diri terkait dengan dukungan infrastruktur kelautan yang ada. Luasnya wilayah laut kita yang jutaan Km2 di antara 2 benua dan 2 samudera maha luas membanggakan sekaligus "mengenaskan" jika diukur dari kemampuan menjaganya yang kita miliki.
Bisa saja terdapat pihak yang apatis melihat kemampuan pengawasan yang masih lemah termasuk aparat "pengawas kelautan" yang diwawancarai radio/TV mengakui kelemahan SDM dan infrastruktur/kapal-kapal tua, BBM terbatas dan sistem navigasi alakadarnya yang sangat miskin (bahasa gaulnya lemot) dihadapkan dengan kemampuan para begal-maling kekayaan laut dengan IT super canggih.
Jika dana menjadi kendala membangun satelit super canggih, maka dalam jangka pendek pemerintah dapat membangun sejumlah stasiun pemancar radar sekelas radar yang dimiliki bandara-bandara di titik-titik strategis garis pantai kita guna memantau pergerakan kapal-kapal di laut lepas terutama kawasan laut yang kaya ikannya.
Dengan dukungan fasilitas satelit dan radar tersebut, maka pusat-pusat pengawas kelautan dapat sekaligus mengawasi keamanan kawasan hutan dan perbatasan wilayah teritori nasional dengan baik.
Mengambil contoh cara Brasil mengawasi kawasan hutan Amazon yang seluas Eropa Barat, sudah sewajarnya Indonesia segera memasukkan rencana pengadaan alat penginderaan jarak jauh bersama LAPAN, Kemristek dll guna mengawasi laut kita yang maha luas.
Saya ikut pesimis, pengawasan laut dapat sukses jika tetap mengandalkan modal nekad, metode manual lama dengan perahu-perahu / speedboat uzur dan nir-canggih. Saya yakin sejuta kapal penjaga pantai pun tidak akan cukup mengawasi lautan kita yg maha luas dan maha kaya.
Belum lagi pengadaan dan biaya operasional kapal-kapal pengawas yang akan membutuhkan jutaan kiloliter BBM untuk mendukung operasional serta jumlah SDM handal yang sangat besar, disamping potensi penyalahgunaan penggunaan BBM jika tidak diawasi dengan cermat dan baik.
Dengan sistem penginderaan jarak jauh dan perangkat radar, maka biaya operasional (BBM) kapal-kapal pengawas dapat ditekan, tidak perlu wira-wiri 24 jam, namun menunggu perintah dari pusat kendali guna menyergap kapal asing yang ditengarai melakukan pelanggaran tapal batas laut atau melakukan pencurian di laut kita, sekaligus memata-matai keamanan landas kontinen dan batas terluar negara dari caplokan asing.
Sebagai negara maritim (archipelagic state) sudah sewajarnya pula diberi tekanan penguatan pada matra TNI Angkatan Laut kita tanpa niatan mengecilkan peranan penting angkatan (matra) lainnya.
Untuk itu perlu menjadi bagian dari prioritas upaya nyata memperkuat sistem penginderaan jarak jauh termasuk unit-unit radar sekelas yang dimiliki bandara-bandara untuk mengawasi laut dan hutan kita, revitalisasi peranan Pangarmatim dan Pangarmabar.
Selanjutnya langkah yang perlu dilakukan Pemerintah Pusat ialah meningkatkan dan mempertegas peranan dan tanggungjawab baru para gubernur dan jajaran dibawahnya terutama provinsi pemilik wilayah laut yang luas, dengan membenahi peralatan/infrastrukturnya serta membina kembali integritas aparat didukung perbaikan penghasilan mereka disertai Remunerasi yang memadai agar hidupnya sejahtera.
Ingat pameo: Mustahil berharap banyak pada Kucing Kelaparan untuk menjaga ikan segar dari santapan tikus.
Penulis pengamat masalah sosial.