Penulis: Sukron Ma’mun Nahdiyin di Sydney, Australia, sedang menyelesaikan program doktor di Western Sydney University
RADARRIAUNET.COM: Menjelang seabad usianya, Nahdlatul Ulama menggaungkan pesan damai untuk peradaban dunia dengan tema Merawat jagat, membangun peradaban.
Tema ini menyiratkan banyak pesan bahwa NU ingin memiliki kontribusi yang positif bagi perkembangan peradaban umat, yang tentu saja bukan hanya muslim di Indonesia, tapi juga seluruh jagat.
Semangat tersebut tentu bukan hal yang berlebihan, mengingat peradaban masyarakat dunia yang damai tentu menjadi harapan bagi seluruh umat manusia.
Damai dalam artian ketenangan hidup, tercukupinya kebutuhan dan kenyamanan religi.
Pada konteks kenyamanan dan kepentingan religi inilah yang acap kali menjadi sumbu awal munculnya permasalahan.
Meskipun tentu saja kecukupan kebutuhan hidup, meliputi sandang, pangan, dan tempat tinggal tetap menjadi pokok persoalan yang tidak kalah pelik, dan kadang sumber utamanya.
hubungan antarumat dalam masyarakat multikultur dan plural acap kali menimbulkan dinamika kehidupan yang cenderung destruktif.
Kasus yang kadang muncul ialah gesekan antarumat beragama ataupun antaretnik. Di Indonesia, kasus ini sering kali terjadi dalam sejarah perjalanan bangsa. Hal demikian juga terjadi dalam masyarakat di negara lain.
Memahami keberagaman dan masalahnya Bagi masyarakat Indonesia diaspora, perlu kiranya kita belajar memahami keberagaman dan persoalan yang timbul.
Salah satu contoh yang dapat dikemukakan di sini mungkin keberagaman beragama pada masyarakat muslim di Australia.
Posisi paling tinggi dalam persentase masyarakat beragama di Australia diduduki oleh agama Kristen (22,2%), Islam (2,6%), Buddha (2,4%), Hindu (1,9%), Sikh (0,5%), Yahudi (0,4%), lainnya (0,4%), dan tanpa agama (30,1) (ABS Census 2016). Islam menduduki posisi kedua masyarakat beragama setelah Kristen dengan berbagai sektenya.
‘Sekte’ agama Islam pun juga sangat beragam, meskipun tampaknya Sunni paling dominan. Hal itu dapat dilihat dari berbagai asal negara kaum muslimin, juga berbagai aktivitas keagamaan yang diselenggarakan di Islamic center ataupun masjid-masjid yang ada di Australia.
Namun, bukan berarti kehidupan antarumat beragama di Australia sangat ideal dalam konteks pluralitas, meskipun sejauh ini tidak banyak kasus yang melibatkan retak sosial karena agama.
Potensi konflik sosial tentu saja tetap ada sekecil apa pun, khususnya yang menyangkut hubungan antarumat beragama. Bahkan sejarah antarumat beragama yang kurang menyenangkan juga acap kali terjadi, seperti diskriminasi, kekerasan, dan pembatasan imigran hanya untuk orang Eropa (White Australian Policy) (Edwards, 2018).
Dalam kehidupan sosial-agama hingga saat ini, mungkin masih tersisa kecurigaan dan kebencian terhadap Islam (Islam phobia).
Misalnya, musala kampus menjadi target kebencian, seperti kasus pembuangan sampah di Universitas Sydney, pembuangan kepala babi di Universitas Western Australia (Kembrey 2016), serta pada 2018 ada mahasiswi Indonesia berjilbab yang diserang sekelompok orang (Whyte, 2019).
eberagamaan masyarakat diaspora Masih dalam kasus yang sama, muslim Australia berangkat dari berbagai negara, seperti Timur Tengah, Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan benua lainnya.
Tiap-tiap kelompok masyarakat memiliki tradisi dan budaya yang berbeda, tentu saja dalam ‘berbudaya’ Islam. Ada yang sangat religius, moderat, ataupun tidak peduli dengan keislamannya. Kelompok masyarakat agama yang religius dan cenderung fanatik beranggapan bahwa agama harus disebarkan, atau minimal nilai keagamaannya harus diperkuat.
Hal ini yang kemudian menumbuhkan kesadaran ‘berlebihan’ terhadap agama.
Keinginan ‘berlebih’ inilah yang tidak jarang memicu fanatisme buta, serta mengabaikan situasi sosial budaya di sekelilingnya. Fanatisme buta justru akan menumbuhkan cara pandang dan perilaku yang intoleran.
Muncul kelompok-kelompok agama fanatis yang dapat menjadi tantangan bagi masyarakat multikultur. Dalam masyarakat digital saat ini, masifnya arus informasi bukan tidak menutup kemungkinan saling memberikan dampak, baik positif maupun negatif.
Kelompok agama fanatik menjadi semakin kuat fanatismenya boleh jadi karena gesekan dengan media atau guru (murrabi) yang juga fanatik.
Problem ini, meskipun belum menimbulkan persoalan serius di negara seperti Australia atau belum ada data valid dari penelitian, patut mendapatkan perhatian.
Kelompok ini memungkinkan membangun kesadaran beragama dan berafiliasi dengan kelompok yang senada. Lebih jauh, bisa saling memberikan pengaruh kepada kelompok lain di negara yang berbeda, khususnya negara asalnya.
Bangunan kesadaran agama yang ‘rapuh’ menumbuhkan sikap dan bertindak dalam beragama yang rapuh pula. Efek domino selanjutnya, kadang menyalahkan pihak lain yang tidak ‘seiman’ dengan keyakinannya sebagai sesuatu yang sesat dan zalim.
Masyarakat diaspora yang memiliki komunitas banyak dari asal negaranya memungkinkan memiliki problem demikian. Spirit nahdiyin Fanatisme buta dapat menimbulkan persoalan yang serius dalam kehidupan sosial, beragama, dan bernegara. Salah satunya perilaku intoleransi.
Lantas, bagaimana persoalan tersebut harus diatasi? Tentu caranya tidak mudah dan membutuhkan proses, sama halnya dengan bagaimana munculnya fanatisme dan intoleransi tersebut disemai. Dalam masyarakat multikultur dan sekuler, upaya menumbuhkan sikap toleransi, saling menghargai dan menghormati orang lain perlu diupayakan dengan membentuk habitus. Habitus bukan hanya persoalan kebiasaan, tapi juga terkait kesadaran pengetahuan, persepsi, cara menyikapi, dan mengambil tindakan (Bourdieu 1997).
Seseorang memiliki habitus toleran dan damai dengan orang lain, bukan hanya sebatas ia dibiasakan, tapi juga hasil serapan pengetahuan, memersepsi orang lain, bersikap dan bertindak toleran. Faktor subjektivitas dan objektivitas sangat memengaruhi dalam proses tersebut.
Dalam kasus di atas, misalnya, bagaimana tumbuhnya kelompok islamis fanatik. Hal demikian muncul karena ada pengetahuan yang diserap, persepsi yang dibangun, sikap yang ditunjukkan, dan lingkungan yang memengaruhi.
Dengan begitu, dari mana ia belajar akan memengaruhi persepsi terhadap kondisi yang dihadapi. Situasi dan pergaulan juga akan menentukan tindakan seseorang. Seseorang yang belajar dari orang yang fanatik akan melahirkan cara pandang yang sempit. Pergaulan dengan kelompok yang eksklusif menumbuhkan sikap yang tertutup pula. Demikian halnya situasi yang mengitarinya, akan semakin menguatkan cara padang dan membentuk sikap.
RR/MI