Mengembalikan Narapidana ke Masyarakat

Administrator - Jumat, 29 April 2016 - 23:27:54 wib
Mengembalikan Narapidana ke Masyarakat
Petugas kebakaran memadamkan api yang membakar bangunan Lapas Klas II A Banceuy Bandung, Jawa Barat. ant
RADARRIAUNET.COM - LEMBAGA pemasyarakatan (LP) kembali menjadi pemberitaan setelah terjadi kerusuhan di LP Narkoba Kelas II A Banceuy, Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu, 23 April 2016.
 
Dalam kerusuhan itu para penghuni LP membakar LP Banceuy dan mengakibatkan kerugian sedikitnya Rp6 miliar.
 
Selain itu, kerusuhan tersebut mengakibatkan 21 penghuni LP dan empat polisi terluka. Peristiwa itu dipicu tewasnya seorang narapidana (napi) akibat bunuh diri.
 
Akan tetapi, tersebar isu di tengah-tengah penghuni Lp lainnya bahwa ia tewas akibat perlakuan tidak wajar dari sipir.
 
Kasus yang terjadi di LP Banceuy itu merupakan kerusuhan keenam di LP sejak 2016 di Tanah Air.
 
Kerusuhan-kerusuhan sebelumnya terjadi di LP Muara Bulian (Jambi), Rajabasa (Lampung), Malabero (Bengkulu), Tewaan (Sulawesi Tenggara), dan Kerobokan (Bali). Berbagai kerusuhan itu dipicu berbagai hal, antara lain kondisi LP yang penuh, perkelahian sesama penghuni LP, dan penolakan penghuni LP terhadap individu, juga perlakuan aparat.
 
Pada kasus di LP Banceuy, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan kerusuhan itu terkait dengan tekanan psikologis yang didapat para napi karena tidak mendapatkan remisi (Media Indonesia, 24 April 2016).
 
Terlepas dari pemicunya yang beragam, berbagai kerusuhan yang terjadi di beberapa LP itu setidaknya memicu pertanyaan sejauh mana LP menjalankan fungsi untuk membina para napi agar dapat hidup dengan wajar di tengah masyarakat setelah menjalani masa hukuman.
 
Selain itu, muncul pula pertanyaan tentang beban apa yang akan ditanggung negara dan masyarakat apabila LP belum berhasil membina napi untuk mempersiapkan diri kembali ke masyarakat.
 
Pada hakikatnya, lembaga pemasyarakatan atau LP merupakan bagian dari sistem 'pemasyarakatan' yang sangat berbeda dengan sistem 'kepenjaraan'.
 
Dalam hal ini, seorang narapidana atau seorang yang sedang menjalani hukuman pada hakikatnya merupakan seorang 'warga binaan pemasyarakatan'.
 
Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, warga binaan pemasyarakatan adalah insan dan sumber daya manusia yang harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu pembinaan yang terpadu.
 
Selanjutnya, UU itu mengatur bahwa sistem pemasyarakatan saat ini bertujuan agar warga binaan pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
 
Berdasarkan pemahaman itu, secara filosofis sistem pemasyarakatan jauh berbeda dengan sistem kepenjaraan yang menekankan pada prinsip pembalasan dan penjeraan.
 
UU No 12 Tahun 1995 bahkan menyebutkan bahwa sistem kepenjaraan yang berlaku sebelumnya di Indonesia tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
 
Pada sisi yang berbeda, sistem pemasyarakatan menekankan prinsip reintegrasi sosial yang memandang bahwa kejahatan merupakan konflik antara masyarakat dan terpidana.
 
Dengan demikian, pemidanaan diarahkan sebagai sarana untuk menyatukan kembali terpidana dengan masyarakat.
 
Lebih jauh lagi, sistem pemasyarakatan ternyata tidak sekadar menekankan reintegrasi sosial, tetapi juga bertujuan agar para narapidana (napi) menjadi insan yang berguna dan produktif bagi pembangunan setelah keluar dari LP.
 
Pada tataran tertentu, para mantan napi yang mampu berintegrasi kembali dengan masyarakat dan menjadi individu-individu yang produktif akan sangat berperan dalam memperkuat ketahanan nasional.
 
Secara filosofis, reintegrasi sosial antara para mantan napi dan masyarakat merupakan faktor yang sangat esensial dalam mendukung keamanan masyarakat.
 
Dalam hal ini, kondisi dan rasa aman yang ada di masyarakat merupakan modal penting untuk melaksanakan pembangunan.
 
Modal itu akan semakin kuat jika didukung individu-individu, termasuk para mantan napi yang produktif.
 
Pada gilirannya, pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam suasana keamanan yang kondusif akan mendorong kesejahteraan masyarakat.
 
Kedua hal itu, yakni keamanan dan kesejahteraan, merupakan tolok ukur dari kondisi ketahanan nasional.
 
Meski demikian, rentetan kerusuhan yang terjadi di LP akhir-akhir ini paling tidak menunjukkan bahwa LP belum dapat berfungsi sesuai dengan prinsip sistem pemasyarakatan itu sendiri.
 
Salah satunya terlihat dari hunian LP yang sudah melebihi daya tampung.
 
Menurut situs Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum dan HAM), hingga September 2015 persentase hunian LP dan rumah tahanan (rutan) mencapai 146%.
 
Artinya, penghuni LP dan rutan di seluruh Indonesia mencapai 173.172 orang, padahal kapasitasnya hanya untuk 118.950 penghuni.
 
Kendala lain yang juga berkaitan dengan kelebihan kapasitas LP dan rutan ialah rasio antara sipir dan penghuni LP yang belum seimbang.
 
Idealnya seorang sipir mengawasi 20 penghuni LP, tetapi saat ini satu sipir bertugas mengawasi 55 orang.
 
Selain itu, kendala yang tidak kalah menonjol sangat terkait dengan kapasitas dan integritas dari para petugas LP atau sipir itu sendiri.
 
Sebagai contoh, pada 2015 terdapat 21 sipir yang dijatuhi hukuman berat karena terlibat bisnis narkoba dari dalam LP (Kompas, 29 Januari 2016).
 
Ketiga kendala tersebut telah melemahkan tujuan dari pembentukan sistem pemasyarakatan di Tanah Air sehingga reintegrasi dengan masyarakat tidak terwujud, dan bahkan membuat sang narapidana mengulangi kembali kejahatan setelah keluar dari LP.
 
Masih segar di ingatan kita bahwa salah seorang pelaku aksi teror di Jakarta pada Januari 2016 lalu ternyata pernah mendekam di LP Cipinang selama tujuh tahun karena terlibat pelatihan teroris.
 
Selain itu, media massa pun kerap memberitakan terbongkarnya jaringan peredaran narkoba yang justru dilakukan dari dalam LP.
 
 
 
Muhammad Farid, Fellow pada Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Republik Indonesia