RADARRIAUNET.COM: Inspektorat di daerah ada tidak menggenapkan, tiada pun tak mengganjilkan. Ada atau tidak ada aparat pengawasan internal pemerintah (APIP) alias inspektorat di daerah, korupsi tetap saja kian marak.
Korupsi kian marak di daerah mencerminkan lemahnya, bahkan tidak ada sama sekali, pengawasan inspektorat.
Lemah karena faktanya inspektorat menjadi tempat kumpulan orang buangan. Ironisnya lagi, aparatur inspektorat kerap melakukan korupsi bersama-sama kepala daerah yang menjadi atasannya.APIP tidak mungkin mengawasi kepala daerah karena ia berada langsung di bawah kepala daerah.
Pasal 216 ayat (3) UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan inspektorat daerah dalam melaksanakan tugas bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah.
Konstruksi undang-undang, sengaja atau tidak, telah menempatkan APIP berada di bawah ketiak kepala daerah.
Ia tidak independen sehingga keberadaannya tidak efektif dalam pemberantasan korupsi dan perbaikan tata kelola pemerintah daerah.Menempatkan APIP sebagai lembaga yang bertaji tentu membutuhkan revisi UU Pemerintah Daerah. Revisi itu memerlukan waktu yang lama, sementara korupsi di daerah dalam kondisi darurat.
Karena itulah, Presiden Joko Widodo pada 14 Oktober 2019 menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perangkat Daerah.Peraturan itu sebagai revisi PP 18/2016 yang menjadi peraturan pelaksanaan UU Pemerintah Daerah.Ketentuan yang dimuat dalam PP 72/2019 itu memberikan semacam darah segar kepada APIP untuk memperkuat fungsi pengawasan.
Dalam PP itu, inspektorat di daerah tidak perlu menunggu penugasan dari kepala daerah jika terdapat potensi penyalahgunaan wewenang atau kerugian uang negara.Hasil pemeriksaan itu wajib dilaporkan ke menteri untuk inspektorat di level provinsi dan kepada gubernur jika terjadi di tingkat kabupaten/kota.
PP itu juga menegaskan keberadaan inspektorat daerah sebagai unsur pengawas penyelenggaraan pemerintah daerah.Dalam melaksanakan tugasnya, inspektorat daerah menjalankan fungsi antara lain pelaksanaan koordinasi pencegahan tindak pidana korupsi.Diharapkan, hasil pengawasan inspektorat dapat dijadikan alarm korupsi sehingga tidak saban tahun pejabat daerah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sayangnya, PP 72/2019 tidak menjelaskan lebih terperinci perihal pelaksanaan koordinasi pencegahan tindak pidana korupsi.Elok nian diatur, misalnya, bila ditemukan dugaan korupsi, inspektorat daerah bisa langsung berkoordinasi dengan aparat penegak hukum sehingga dugaan korupsi tidak diselesaikan secara adat.
Meski tidak diatur, inspektorat daerah harus berinisiatif untuk berkoordinasi dengan kepolisian dan kejaksaan jika ditemukan dugaan tindak pidana.Kemauan politik untuk memperkuat posisi inspektorat daerah sangat kental dalam PP 72/2019.
Disebutkan, mekanisme pemberhentian atau mutasi inspektur daerah tingkat provinsi harus melalui konsultasi tertulis kepada Menteri Dalam Negeri. Untuk inspektur daerah tingkat kabupaten/kota, konsultasi tertulis dilakukan melalui gubernur.
Dengan pengawasan yang ketat dan berjenjang terhadap pengangkatan, pemberhentian, dan mutasi di inspektorat daerah, diharapkan lembaga itu tidak lagi menjadi tempat pembuangan.
Lembaga itu bergengsi karena diisi orang-orang yang tepercaya dan kredibel.
Penguatan peran dan kapasitas inspektorat daerah tentu saja bertujuan agar lembaga itu lebih independen dan objektif dalam rangka memerangi praktik lancung di daerah.Setelah peran dan kapasitasnya diperkuat, kehadiran inspektorat justru menggenapkan sehingga ketiadaannya mengganjilkan.Namun, jika kelak korupsi tetap tumbuh subur, inspektorat daerah dibuang ke laut saja.
RR/MI