RADARRIAUNET.COM: Berturut-turut, sejak 1988 sampai 2007, saya mengurus Persatuan Sepak Bola Angkatan Darat (PS-AD), Persatuan Sepak Bola ABRI (PS-ABRI), PSSI, Bandung Raya, dan Persatuan Sepak Bola Indonesia Jakarta (Persija). Sementara itu, sejak 1992, saya mengurus wushu dan sampai kini diberi gelar sebagai Bapak Wushu Indonesia.
Saya bersyukur, atas berkat rahmat Tuhan Yang Mahakuasa, setiap lembaga olahraga yang saya urus bisa berjalan baik dan meraih prestasi. Sebagai putra bangsa dan prajurit, ini menjadi realisasi dari sumpah saya untuk mendedikasikan hidup bagi keutuhan dan kemajuan bangsa dan negara. Sebagai pribadi, mengurus olahraga ialah aktualisasi dari kecintaan saya pada satu aspek kehidupan yang dinamis, menantang, dan bermanfaat.
Pada dasarnya, saya bukan olahragawan profesional. Hanya, secara fisik dan mental saya terlatih sejak remaja dalam ketentaraan. Olahraga bagian dari kehidupan saya sehari-hari sampai hari ini. Melalui olahraga, saya menemukan dan menerapkan satu pandangan hidup tentang kesehatan, kerja keras, sportivitas, persaudaraan, dan nasionalisme.
Kini, dalam usia lebih dari tiga perempat abad, saya melihat olahraga Indonesia memerlukan pengembangan lebih fundamental. Berdasar pengalaman, hulu dari pengembangan itu, bagaimana para olahragawan, pelatih dan pengurus olahraga secara khusus, serta warganegara Indonesia umumnya, memiliki pandangan hidup dan sikap tepat tentang keolahragaan sehingga menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan.
Seiring dengan itu, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, tentu saja diperlukan political will para pengelola negara untuk memastikan keberadaan dan pengembangan sistem pengelolaan setiap cabang olahraga. Hanya dengan sistem yang baik profesionalisme olahragawan dan pengelola olahraga bisa terbentuk dan berkembang.
Pendidikan
Pandangan hidup keolahragaan, profesionalitas, political will, dan sistem pengelolaan olahraga nasional tentu tak begitu saja turun dari langit. Di satu sisi, itu berhubungan dengan cita-cita luhur kebangsaan bahwa secara sistemis negara harus mampu 'mencerdaskan kehidupan bangsa' sebagaimana termaktub dalam UUD 1945.
Di sisi lain, inisiatif dan kerja warga negara sebagai masyarakat berkeadaban tidak saja akan memperkaya dan menguatkan kerja-kerja negara, tetapi juga menjalankan mekanisme kontrol sehingga terjadi dialektika yang berbuah kemajuan.
Tafsir paling umum atas amanah konstitusional itu ialah penyelenggaraan pendidikan keolahragaan yang efektif, baik yang secara resmi difasilitasi negara maupun inisiatif-inisiatif yang dilakukan warga negara. Hal yang paling fundamental dalam pendidikan itu sendiri ialah bagaimana belajar menjadi laku hidup, terus-menerus, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan apa pun yang dilakukan setiap orang.
Pengertian pendidikan yang efektif, selanjutnya, tidak bisa dinilai semata-mata dengan melihat keterdidikan olahragawan dan pengelola olahraga dalam jenjang pendidikan formal. Kualitas bangunan pengetahuan, sikap dan kemampuan aktualisasi diri mereka, selain karena faktor persekolahan, juga amat bergantung pada 'sekolah sosial' dalam dinamika kehidupan sehari-hari. Olahragawan dan pengelola olahraga harus mampu hidup dan mengalami dialektika dengan lingkungan kultural-sosial di mana mereka berkarier.
Pendidikan olahraga yang efektif, selanjutnya, akan menumbuhkembangkan kepemilikan atas pandangan hidup keolahragaan. Dalam bentuk paling sederhana, ini bisa diindikasikan bagaimana olahragawan dan pengelola olahraga berkarier secara profesional dalam cabang yang ditekuni dan dikelola.
Secara intrinsik, pandangan hidup itu tecermin dalam tindakan-tindakan pribadi dan sosial mereka yang mencerminkan nilai-nilai sportivitas, persaudaraan, gotong royong, dst.
Bagi para olahragawan dan pengelola olahraga, ukuran paling umum profesionalitas ialah prestasi dalam kompetisi. Tujuan profesional berolahraga dalam konteks ini ialah kebanggaan dan kebahagiaan ketika meraih kemenangan, baik individu maupun tim. Demikian juga, prestasi ditandai dengan kebahagiaan ketika memenangi kompetisi demi nama bangsa dan negara, suatu sikap patriotisme dan nasionalisme.
Namun, profesionalitas ini tak bisa diukur semata-mata oleh medali, piala, atau jumlah uang yang berhasil diperoleh. Itu semua ialah hasil akhir. Profesionalitas justru berada pada proses. Makna profesionalitas ialah sebagai sikap dan laku diri yang menunjukkan militansi terhadap cita-cita dan nilai-nilai keolahragaan.
Olahragawan, pelatih, atau manajer olahraga yang berkarier bagus ialah mereka yang menganut profesionalitas dalam pengertian ini.
Selanjutnya, dalam pandangan dan pengalaman saya, di samping faktor bakat alami, pandangan hidup dan profesionalitas keolahragaan terlahir dan berkembang dengan baik jika dilakukan by design dan bukan given. Artinya, keberadaan olahragawan, pelatih, dan pengelola olahraga profesional ialah karena terdapat sistem pendidikan yang memungkinkan mereka mengembangkan diri secara bertahap dan terukur.
Dalam pengertian sistemis, sebagai contoh, pembinaan olahragawan haruslah dilakukan sejak dini, seperti yang dilakukan di negara-negara yang maju dalam bidang olahraga seperti Tiongkok. Tidak saja karena secara fisik olahragawan memerlukan waktu panjang dalam membentuk struktur dan kekuatan tubuh sampai taraf yang sesuai, keterampilan keolahragaan dan kematangan mental hanya bisa dikuasai dan dicapai dalam proses yang variatif dan berkelanjutan.
Dengan proses yang yang tepat dan benar, perkembangan bibit olahragawan yang difasilitasi sejak dini akan mencapai puncaknya pada rentang usia pascasekolah menengah atas. Di berbagai negara, terdapat akademi-akademi olahraga yang ditujukan untuk memfasilitasi para olahragawan muda dalam usia emas ini.
Di Indonesia, meskipun kini sedang tersandung kesalahpahaman akademik yang tak semestinya terjadinya, pembinaan bibit-bibit atlet bulutangkis ialah contoh baik. Atas inisiatif beberapa perusahaan swasta besar, terdapat sekolah-sekolah bulu tangkis yang melakukan pembinaan atlet sejak dini. Contoh lain, tentu saja dalam cabang olahraga wushu. Keberhasilan meraih prestasi di berbagai kejuaraan ialah juga karena pendekatan proses pembibitan yang baik.
Tantangan
Terkait dengan pengelolaan olahragawan, pelatih, dan pengelola olahraga, saya ingin memberikan catatan tersendiri. Pertama, dalam pengalaman saya, sebuah cabang olahraga bisa berprestasi karena ada konsep jelas, detail, dan terukur. The devil is the details, kata pepatah Inggris. Sebuah konsep yang baik harus bisa dimengerti semua pihak yang terlibat sehingga mereka bisa menjalankan fungsi masing-masing secara tepat.
Kedua, karena olahraga untuk kompetisi memerlukan kekuatan mental, aspek spiritualitas olahragawan, pelatih dan pengelola harus diasah. Dalam konteks Indonesia, ini pada umumnya dilakukan dengan pendekatan agama. Namun, hal yang tak kalah penting ialah bagaimana motivasi intrinsik bisa bertumbuh pada diri mereka.
Salah satu caranya ialah bagaimana supaya setiap orang merasa diwongke (diorangkan). Artinya, setiap orang berperan atas dasar kesukarelaan karena melakukan sesuatu yang berarti bagi dirinya, menyenangkan, dan dalam suasana yang positif.
Terakhir, dalam setiap kesempatan mengelola satu bidang olahraga, saya berusaha menerapkan prinsip yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara. Ketika di belakang, memakai tut wuri handayani (memberi dorongan dan arahan), ketika di tengah, ing madya mangun karso (membangkitkan semangat). Ketika di depan, ing ngarso sung tulodo (memberi teladan yang baik). Semoga olahraga Indonesia kembali berjaya!.
RR/MI