ADA dua isu panas yang saat ini tengah menggelinding. Pertama, konflik yang sudah berujung kerusuhan di Papua, dan kedua, perkara Ustaz Abdul Somad. Di permukaan, keduanya tampak sederhana. Yang pertama, hemat saya, berhubungan dengan nasionalisme, dan yang kedua, dengan penodaan agama.
Perkara pertama, sesuai berita yang beredar, bermula pelecehan rasial. Mahasiswa Papua, dengan eksistensi alami mereka, merasa diasosiasikan dengan hewan tertentu. Kalau dikunyah-kunyah lagi, besar kemungkinan mereka dipersepsi sebagai tidak nasionalis alias anti-Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebabnya, mereka dinyatakan tidak bersedia mengibarkan bendera Merah Putih di depan asrama mereka.
Perkara kedua, Ustaz kondang, Abdul Somad (UAS), diadukan ke polisi karena dipandang telah menodai agama Kristen, yakni terkait dengan salib dan patung Yesus. Berdasarkan pemahaman keagamaannya, UAS menyatakan bahwa di dalam patung salib terdapat jin kafir.
Salah satu sumber kesulitan dalam menyelesaikan kedua perkara ini ialah karena kualitas nasionalisme dan kebenaran ajaran agama tak bisa benar-benar diukur secara empiris. Orang yang tidak menaikkan bendera Merah Putih tak bisa serta-merta dikatakan tidak nasionalis. Demikian juga, kebenaran satu doktrin agama ialah perkara yang sangat subjektif. Sampai kapan pun, konsepsi ketuhanan yang paling benar atau jin yang dituduh menghuni salib tak akan pernah bisa dibuktikan secara saintifik.
Setelah bolak-balik membaca berita dan menonton video tentang kedua perkara ini, saya sampai pada pokok pikiran bahwa kedua kasus berhubungan erat dengan perkara keterdidikan (educatedness). Collins Dictionary (2019) mendefinisikan keterdidikan sebagai the quality of being educated, kualitas individual dan sosial yang dimiliki seseorang atau kelompok karena sudah menempuh pendidikan.
Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah kita bisa mengukur kualitas keterdidikan?
Cara yang paling sederhana dan paling umum digunakan ialah dengan melihat hasil ujian, tingkat pendidikan, gelar kesarjanaan, dan ukuran-ukuran simbolis lainnya. Kalau menggunakan cara ini, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa orang yang terdidik ialah orang yang lulus ujian dengan nilai tinggi, memiliki ijazah perguruan tinggi, bergelar mentereng dan sebagainya.
Pertanyaan berikutnya, dan di sini perkara ini menjadi lebih pelik, apakah dengan adanya nilai ujian yang tinggi dan/atau ijazah lalu kualitas diri, kehidupan dan sosiabilitas seseorang dengan serta-merta terjamin?
Terbitan European Journal of Sociology 2009 bercerita lain. Ketika gelar insinyur dipandang secara awam sebagai salah satu lambang keterdidikan, salah satu hasil riset yang dimuat jurnal tersebut mempertanyakan, “Why are there so many engineers among Islamic radicals?”. Tidak hanya insinyur, dalam kelompok-kelompok radikal yang diriset terdapat juga ditemukan dokter dan kalangan terdidik lainnya dalam jumlah yang signifikan.
Definisi Gregory Pastoll (1994) selanjutnya bisa membantu kita. Orang yang terdidik, tulis Pastoll, sebagai kesimpulan utama disertasinya, ialah orang berhasil berkembang dengan baik dalam proses pendidikan yang ditempuhnya. Itu dimungkinkan ketika pendidikan tersebut memfasilitasinya dengan beragam kondisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan pengembangan diri yang terus-menerus dan konstruktif.
Secara lebih sederhana, temuan ini sesuai dengan proposisi JJ Rousseau (1712-1778), bahwa pendidikan ialah cara untuk menjadikan orang sebagai orang sekaligus menjadi warga yang baik (a man and a citizen). Konsep lain yang serupa ialah bahwa pendidikan merupakan fasilitasi perkembangan manusia menuju kematangan, baik secara individual maupun sosial.
Lalu, bagaimana caranya supaya kedua hal itu dicapai dan apa saja tahapnya?
Marmar Mukhopadhyay (2016) memberikan salah satu solusi dalam bukunya Quality Management in Higher Education. Disebutnya sebagai taksonomi keterdidikan, Mukhopadhyay menyatakan empat tahap yang mesti ditempuh, yakni menjadi tahu (informed), keberbudayaan (cultured), keterbebasan (emancipated) dan manifestasi diri (self-actualized).
Kembali pada ukuran kuantitatif keterdidikan, keberadaan nilai ujian dan ijazah terutama jika ijazah sekadar didasarkan atas rangkaian ujian yang mengukur keterserapan pengetahuan (acquisition of knowledge pada hakikatnya baru mewakili tahap pertama.
Dalam kasus dialami mahasiswa Papua, terlepas dari apakah benar atau tidaknya terdapat unsur rasisme, hal paling kasat mata ialah terjadinya konflik karena perbedaan persepsi. Bagi pihak yang mendatangi asrama mahasiswa Papua di Surabaya, nasionalisme dan sosiabilitas diukur dengan kesediaan menaikkan bendera Merah Putih. Bagi mahasiswa Papua, nasionalisme utamanya ialah perkara kediterimaan (acceptability) sebagai warga yang setara.
Urusan yang wajib diselesaikan, supaya konflik tidak berulang dan apalagi berujung pada kekerasan, pertama-tama ialah mendudukkan berbagai persepsi yang ada. Sebagai bukti keterdidikan, semua pihak harus sama-sama mencari tahu, menggunakan perspektif berbeda dalam melihat perkara.
Akan tetapi, ini ternyata bukanlah perkara mudah. di saat bersamaan diperlukan keberbudayaan, yakni kemampuan untuk secara kritis menguji persepsi dan posisi diri serta menemukan dan menerima cacat-cacatnya. Demikian juga, keberbudayaan mensyaratkan kesediaan untuk menggunakan kacamata pihak lain dan mencari tahu dan menerima kebenarannya.
Ketika berhasil keluar dari perangkap keakuan dan/atau kekitaan dan menemukan serta menerima kebenaran dan kebaikan yang dimiliki orang, budaya atau agama lain, sampailah seorang individu atau kelompok pada tahap keterbebasan. Perbedaan simbolis, rupa kulit, dan sejenisnya tak lagi menjadi soal, bahkan sebaliknya menjadi berkah karena memperkaya visi dan kreativitas.
Pada tahap yang tertinggi, dalam taksonomi Mukhopadhyay, keterdidikan diindikasikan keberhasilan menggunakan potensi-potensi diri untuk berbuat dan mencipta, self-actualization. Seorang yang terdidik, umpamanya dalam kasus konflik, berkembang menjadi aktor, kreator, dan penjaga perdamaian dengan cara-cara yang orisinal dan kreatif. Seorang pemuka agama yang benar-benar terdidik, sejalan dengan itu, tak hanya menjadi suluh bagi semua pemeluk agama dengan berbagai pikiran, sikap dan tindakan religiusnya, tetapi juga produktif berkarya secara akademis maupun membuat kegiatan-kegiatan sosial-kemasyarakatan.
Dalam kedua kasus di atas, baik dalam perkara penodaan agama UAS maupun kasus rasisme mahasiswa Papua, para aktor yang memicu dan terlibat konflik tampaknya terhenti pada upaya menegakkan persepsi masing-masing. Sebagai penceramah agama, UAS sibuk dengan pengetahuan, persepsi, dan kelompoknya sendiri. Demikian juga aktor-aktor penggerak massa yang mendatangi mahasiswa Papua di Surabaya. Mereka tak berhasil keluar dari perangkap kepicikan karena bisa jadi memang belum pernah betul-betul terfasilitasi untuk berkembang secara wajar, baik dalam pendidikan formal maupun sosial.
Singkat kata, dalam kedua kasus, sang penceramah maupun sang nasionalis belum berhasil berpindah dari posisi terendah sesuai taksonomi keterdidikan Mukhopadhyay. Kalau pakai akal sehat, warga negara ini sudah selayaknya bersikap tegas: menyesalkan kedua kejadian dan membuat pilihan-pilihan yang lebih cerdas.
RRN/MI