Oleh: Mansyur HS
GAGASAN Pekansikawan (Pekanbaru, Siak, Kampar dan Pelalawan) patut disambut baik. Sejauh ini, dari serangkaian forum resmi dan tidak resmi yang telah diadakan, direspon positif. Kepala daerah, bupati dan wali kota ingin tindaklanjut lebih serius. Di kalangan DPRD Provinsi Riau sendiri, perdebatan dan pendalaman perlahan tapi pasti sudah dimulai.
Mengenai Pekansikawan, melihat pengertian, kita semua sudah punya dudukan yang jelas ke mana arah yang diinginkan. Untuk latar belakang, apa yang dituangkan Mardianto Manan, “Pekansikawan Wujudkan Persekawanan” (Riau Pos, 16 April 2015) mungkin bisa memberi sedikit gambaran tentang ke mana arah di balik sinergi yang melibatkan kabupaten/kota ini.
Secara substantif Pekansikawan bukanlah gagasan baru. Telah ada upaya sama sebelumnya yang coba ditempuh, dengan nama berbeda. Namun tak kunjung menemui sasaran. Namun kita tidak boleh menyerah. Demi menyudahi kegagalan tersebut, maka pengalaman terhadap faktor penghambat harus ditindaklanjuti dengan rencana lebih baik ke depan. Sepintas menyiratkan kesan “pemaksaan” ide Pekansikawan harus terealisasi. Bukan berangkat dari kepentingan sempit dan jangka pendek. Ide ini sangat diperlukan.
Saling Ketergantungan
Sebuah aksioma, seiring penerapan otonomi, setiap daerah punya tugas untuk dapat “menghidupi dirinya sendiri”. Namun rupanya, tidak semudah dibayangkan. Peralihan sistem pemerintahan sedikit banyak masih dihadapkan pada warisan sistem dan kebiasaan masa sebelumnya. Sedangkan wawasan dan pengetahuan mengatasi persoalan tersebut belum merata dimiliki sumber daya manusia di setiap daerah. Alhasil, ada daerah yang berhasil dan ada yang tidak.
Persoalan pemenuhan keperluan mendasar berupa barang publik, penyediaan sarana dan prasarana umum berupa pengelolaan sampah, air, pembangunan infrastruktur merupakan unsur detail yang kasatmata merupakan indikator keberhasilan pemerintahan daerah. Dalam konteks kekinian, seiring perubahan di ranah sosiologis, tantangan mewujudkan barang publik tadi semakin kompleks.
Utamanya menyoal mobilisasi. ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomi dan sarana membuat terjadinya kecenderungan sporadis. Bahkan ada temuan sekarang 60 persen populasi masyarakat memilih hidup di kawasan perkotaan (Winarso, 2006). Urusan pemenuhan sarana dan prasarana (mulai pendidikan, kesehatan dan sebagainya) serta gesekan yang sering mengemuka antara kabupaten/kota yang berdekatan ketika membangun di daerah perbatasan, mengemuka sebagai di antara persoalan yang sangat menganggu kemajuan Provinsi Riau secara kolektif.
Itulah mengapa penyatuan kawasan dapat dipandang sebagai jalan keluar strategis. Sederhana saja, setidaknya dalam tataran ekonomi misalnya, diyakini akan membawa efek baik. Kehidupan tak lagi terkonsentrasi di perkotaan. Menimbang konsep kawasan Pekansikawan bertujuan membentuk sinergi dan saling mengandalkan antara daerah inti dengan daerah penyangga (hinterland), membuat peluang pemerataan pembangunan secara proporsional ke wilayah pelosok lebih besar.
Jangan Apriori
Tidak semestinya kita bersikap apriori terhadap Pekansikawan. Meski harus diakui secara konsep setakad ini belum paripurna. Oleh karena itu, masih ada kesempatan untuk terus menggali lebih dalam pemikiran dan masukan yang berharga dan bernilai signifikan. Toh ini bukan pekerjaan tuntas dalam waktu satu malam.
Kemudian menyoal ada yang mempertanyakan kecenderungan swasta menginisiasi ide Pekansikawan, secara esensial tak ada yang keliru di sini. Kita semua tahu bahwa UUD 1945 telah menggariskan, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia, yang salah satunya diperlukan guna memajukan kesejateraan umum.
Oleh karenanya, terobosan terhadap kebijakan pemerintah sangat terbuka dan bisa berasal dari siapa saja. Tidak terbatas kalangan birokrasi. Pihak swasta dan elemen masyarakat sesuai kompetensinya masing-masing berhak memberi masukan terhadap sebuah kebijakan. Selagi tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada, ditambah bila itu baik untuk kemaslahatan provinsi ini, mengapa tidak?
Terakhir dan paling penting, hal yang membedakan passion terhadap Pekansikawan begitu kuat dibanding upaya serupa sebelumnya, adalah berpijak dari pengalaman masa lalu. Dari cita-cita yang sama guna membentuk sinergi kawasan dan belajar daerah-daerah lain yang telah melakukan upaya sejenis, bahwa kesiapan ini harus dibekali payung hukum sebagai sandaran dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Dengan begitu, pelaksanaannya memiliki kerangka yang jelas dari berbagai aspek.
Semoga melalui Pekansikawan manifest destiny sebagaimana tertuang dalam RPJP Provinsi Riau untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat dan majunya bumi lancang kuning di masa mendatang melalui kerja sama antar wilayah kabupaten/kota lintas sektor ini dapat tercapai. Sadar bahwa langkah ke sana banyak rintangan, dengan kontribusi positif dan spriti kebersamaan, insya Allah membuat persoalan lebih mudah untuk diatasi. Tanpa terkecuali masukan dan kritikan. Sehingga memperkaya khazanah pengetahuan dan bekal mengantisipasi setiap kemungkinan ke depan.***
Penulis adalah Anggota DPRD Provinsi Riau