Pekanbaru: Kejahatan korporasi disebut-sebut menjadi masalah yang sangat rumit diselesaikan. Meski terlihat jelas di depan mata, namun eksekusi atas pelaku kejahatan sangat sulit dilakukan.
Bahkan sudah banyak pihak yang telah memberikan laporan. Termasuk pansus monitoring DPRD Riau yang menyimpulkan ada 720 perusahaan yang terindikasi melanggar. Sebanyak 32 di antaranya sudah dilaporkan pansus ke pihak terkait.
Informasi tersebut terungkap melalui diskusi yang digelar di Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR), Kamis (31/1/2019). Dengan tema Kuasa Taipan Kelapa Sawit Indonesia tersebut menghadirkan pembicara dari berbagai kalangan.
Seperti Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia Ratnawati Retno Winarni, Koordinator Jikalahari Made Ali, Ketua MKA LAM Riau Datuk Seri Al azhar, mantan Ketua Pansus Monitoring DPRD Riau Suhardiman Amby, Dosen FEB Universitas Riau Dr Dahlan Tampubolon dan Wakil Pemimpin Redaksi (Wapemred) Riau Pos Muhammad Amin.
Di awal, Ratnawati Retno Winarni menyebut pihaknya telah melakukan serangkaian penelitian mengenai perusahaan kelapa sawit di Indonesia. Hasilnya cukup mengejutkan. Di mana terdapat banyak penyimpangan yang dilakukan perusahaan. Seperti penggelapan pajak, kerusakan lingkungan, pelanggaran perizinan, hingga pelaporan kekayaan yang tidak realistis.
Adapun beberapa perusahaan yang diambil sebagai objek, dipilih berdasarkan beberapa standar seperti kapitalisasi bisnis hingga pendapatan perusahaan. Ia kemudian membeberkan 25 perusahaan besar yang dimasukkan ke dalam kategori perusahaan besar. Jumlah tersebut dimiliki oleh individu-individu sebanyak 27 orang. Yang disebut-sebut sebagai taipan.
Maka dari itu, menurut Ratnawati pemerintah perlu mengambil kebijakan yang lebih konkret terhadap dugaan kejahatan yang dilakukan para taipan yang dimaksud.
“PPATK perlu ada penyelidikan khusus. Kalau di KPK sudah ada, korsup namanya untuk potensi korupsi. Yang pasti ini perlu ada transparansi. Pajak termasuk juga yang harus didalami. Kemudian regulasi mengenai pemilih,” paparnya.
Anggota DPRD Riau Suhardiman Amby hadir menjadi Pemateri dalam diskusi Kuasa Taipan Kelapa Sawit di Indonesia Kamis (31/1) yang diadakan TuK Indonesia di Gedung LAM Riau.
Dalam kesempatan itu Suhardiman kembali membuka data temuan Pansus lahan DPRD Riau.
Pada temuan tersebut ditemukan ada 1,8 juta hektar lahan yang tidak jelas dikuasai oleh korporasi secara ilegal.
Akibatnya tidak ada pemasukan pajak bagi negara dan daerah tentunya, perusahaan tersebut secara ilegal menggarap lahan.
Mereka (Perusahaan) mengambil tanah diluar izin yang diberikan oleh pemerintah, jika dihitung potensi pajak disana menurut Suhardiman Amby sangat besar.
Namun untuk melawan itu butuh keseriusan dan tangan kuat, apalagi yang dilawan ini memiliki tembok besar yang sulit untuk dilalui, karena diduga aparat dan pihak juga bermain disini.
"Ada 1,8 juta hektar temuan Pansus sebelumnya, kami hanya minta solusi untuk dilakukan eksekusi ada dua pilihan yakni dengan melegalkan sehingga jelas Kemasukan pajak bagi negara dan dieksekusi, "ujar Suhardiman Amby usai mengisi acara tersebut.
Memang untuk mencapai itu butuh kekuatan bersama masyarakat Riau, karena tidak semudah itu melakukan eksekusi, karena ada kekuatan besar kelompok pada lahan 1,8 juta hektar itu yang izinnya tidak jelas tersebut.
"Kita hanya ingin hukum ditegakkan apalagi Riau kan ada rencana aksi Kordinasi Supervisi Pencegahan Korupsi untuk sektor Sumber Daya Alam, jadi ini harus ditertibkan, "jelas Suhardiman Amby.
Suhardiman juga menyebutkan paling lambat 2021 persoalan lahan dan temuan Pansus yang sebelumnya dituntaskan, dengan demikian peruntukan untuk masyarakat juga jelas.
Ia menyebut pihaknya pesimistis kejahatan korporasi bisa dieksekusi. Pasalnya dari 32 laporan yang telah dibuat pihaknya, belum satu pun mendapat titik terang. Padahal data yang diberikan DPRD sudah sangat jelas dan terperinci. Baik lokasi, jenis pelanggaran yang dilakukan, pemilik perusahaan, luas hingga perizinan yang dimiliki.
“Bahkan jika ingin dituntaskan, tinggal datang ke lokasi cek dengan GPS. Jelas semuanya itu. Pertanyaannya, sekarang kita mau atau tidak untuk menindaklanjuti,” ucapnya.
Legislator asal Kuantan Singingi itu mencontohkan, salah satu perusahaan yang memiliki izin hak guna usaha (HGU) seluas 16 ribu hektare. Namun fakta di lapangan menunjukkan lain. Di mana areal tanam oleh perusahaan tersebut mencapai 24 ribu hektare. Bahkan ada juga yang hanya memiliki izin seluas 5 ribu hektare, namun areal luas tanam mencapai 23 ribu hektare.
“Modusnya ada dua, dia akan melakukan kerja sama dengan pihak perbankan. Kalau HGU 10 ribu hektare semua akan dilambungkan. Luas izin mereka yang tebang kemudian bank bayar. Dengan kelebihan itu kalau bank profesional dia hitung dengan kewajiban yang ia tanam paling cuma 60 persen dari izin yang dikeluarkan. Namun pihak perusahaan mengajukan luas HGU lebih dari yang dimiliki. Sehingga modal dari perbankan bisa lebih banyak” ungkapnya.
Sementara itu Ketua MKA LAM Riau Datuk Seri Al Azhar dalam kesempatan itu juga menyampaikan persoalan lahan dan korporasi di Riau ada masalah mendasar yang dihadapi dalam tatanan pemikiran secara mendasar.
"Karena sebagian dari pemangku adat juga ada pada institusi itu, Pada tataran pemikiran kita ada masalah mendasar, jadi ada kesulitan disana, "ujarnya.
Persoalan inilah hendaknya lanjut Al Azhar dibutuhkan orang - orang yang selalu berkoar seperti yang dilakukan LSM Jikalahari dan sahabatnya untuk perjuangan lahan dari ancaman korporasi Taipan.
Sementara Muhammad Amin menyebut bahwa media, selalu berupaya netral dalam setiap kasus. Hal itu sesuai dengan tugas pokok jurnalis yang mampu menyajikan pemberitaan yang berimbang kepada masyarakat.
“Semuanya ditampung. Kemudian masyarakat atau pembacalah yang menilai informasi yang disebarluaskan. Dinamika khusus sawit. Silakan masyarakat nilai itu. Soal dilema sawit ini, menurut bingkai media, dilema sawit sama dengan dilema rokok di Jawa Timur. Jadi awalnya sawit masuk ke Indonesia sekitar tahun 1800 oleh Belanda,” ujar Muhammad Amin.
Dari sejarah tersebut sawit terus berkembang di Indonesia. Bahkan kini menjadi primadona dan menjadi perkebunan penghasil uang.
lex/rpc/tpc/Adv