SEIRING dengan semakih hangatnya tahun politik menyongsong 2019, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) juga menerima sekian banyak laporan dan temuan terkait dengan anak dan politik. LPAI sendiri tidak antipolitik. Politik, bagi kami, dapat dibedakan menjadi dua ragam. Pertama, low politics. Politik yang satu ini tidak jauh-jauh dari persoalan menang-kalah, hitam-putih. Kami pilih memalingkan muka.
Politik kedua, diistilahkan sebagai high politics, berurusan dengan hajat hidup orang banyak. Titik pandang tidak sebatas pada siapa pemenang dan siapa pecundang. High politics hidup di dalam bahasan-bahasan tentang bagaimana menyejahterakan sebanyak mungkin warga bangsa, teristimewa anak-anak. Kepentingan anak menjadi lantai, langit, sekaligus juga ufuk kerja LPAI.
Terhadap high politics, LPAI tak memalingkan muka. Betapa pun kasus yang menggedor pintu LPAI bersangkut paut dengan low politics, kami tetap berikhtiar menanganinya dengan pijakan high politics. Bahwa ada tafsiran kerja kami bias, kami berpihak, kami punya vested interest, kami tidak lagi terlalu terusik oleh itu semua.
Jangankan terkait dengan politik, kasus-kasus domestik pun sering kali memosisikan kami sebagai pihak yang seolah tidak istikamah di dalam koridor perlindungan anak. Kenyang sudah prasangka menjadi santapan kami.
Salah satu kasus menonjol yang kami tangani saat ini ialah kasus seorang pelajar yang dikabarkan menjadi whistleblower atas kejadian di sekolahnya. Guru di sekolah itu konon menyisipkan ke dalam pelajaran hal-ihwal yang mendiskreditkan tokoh politik. Bisa dibayangkan, di tahun politik, materi semacam itu menjadi amat-sangat rawan untuk disikapi semata-mata berdasarkan pro si A dan anti si B.
Masalah berlanjut karena, berdasarkan informasi, si siswa merasa terancam sanksi berat karena dianggap sebagai penyebar kabar palsu. Semakin pelik, masalah itu sampai ke telinga lembaga negara yang mengurusi perhelatan pesta demokrasi. Kemungkinan masalah dibawa ke ranah pidana menjadi terbuka. Sebagian pihak bergidik mendengarnya.
Di tengah pusaran masalah yang semakin sengkarut itu, sang siswa hanya bisa meringkukkan badannya. Sekolah, yang awalnya sangat ia cintai, seketika menjadi gua gelap yang menakutkan. Guru, yang semula adalah bayang-bayang ayah-bunda di sekolah, tiba-tiba beralih rupa menjadi algojo. Demikian pula teman-teman. Mereka yang sebelumnya karib, kini menjelma sebagai perundung. Begitu gelembung-gelembung gelap yang menggelayuti benak sang anak.
Kami melihat masalah tersebut sudah berkembang sedemikian rupa dengan menyangkut tiga pihak. Pertama, sekolah. Kedua, siswa dan keluarganya. Ketiga, lembaga negara. Bagaimana kita mengurai masalah yang menyangkut tiga pihak tersebut?
Sebagai organisasi pegiat anak, kami bekerja dengan pendekatan ekologis (ecological approach). Untuk memahami pendekatan ekologis, bayangkan obat nyamuk bakar dengan sumbunya ialah anak atau siswa. Kemudian melebar ke keluarga, berlanjut ke sekolah, dan terakhir ke lembaga negara. Itu pendekatan dalam mengatasi persoalan anak yang semestinya bisa disepakati semua pihak.
Dengan pendekatan semacam itu, agenda terdepan yang harus direalisasikan ialah kepentingan terbaik siswa, yakni bagaimana agar siswa tersebut bisa tetap bersekolah dan bagaimana agar dia tidak dirundung (di-bully) di sekolah. Agar hal itu bisa terealisasi, identitas anak dan keluarganya tidak perlu diungkap.
Langkah tersebut relevan karena pihak keluarga si anak mempunyai hanya satu keinginan; masalah diakhiri sehingga keinginan anak untuk tetap bersekolah bisa segera diwujudkan. Keluarga siswa tersebut tidak ingin masalah dibawa ke konteks yang lebih luas, apalagi dengan melibatkan aparatus negara dan mencari solusinya di ranah pidana.
Sejalan dengan itu, dari pihak sekolah sendiri sudah mengeluarkan permintaan maaf secara terbuka atas kekeliruan yang mungkin telah terjadi. LPAI, berhadapan dengan dinamika kedua pihak (keluarga siswa dan sekolah), bergegas mengunci masalah ini sebagai urgensi bagi pengadaan strategi transfer ilmu pengetahuan secara lebih efektif. Bukan masalah siswa tertentu dan guru tertentu.
Ketika sisi anak, keluarga, dan sekolah sudah diletakkan pada posisi tersebut di atas, tinggal lagi lembaga negara. Pada sisi tersebut, LPAI menggarisbawahi bahwa asas ultimum remedium patut dijadikan pijakan. Konkretnya, ketika pihak-pihak sebelumnya sudah rukun sentosa, lembaga negara tidak perlu lagi memanjang-manjangkan kegaduhan dengan membawa masalah ke ranah pidana. Sebagai gantinya, masalah politik di sekolah ini perlu diredakan melalui proses mediasi saja. Mediasi ialah cara penyelesaian masalah yang sangat luhur.
Kami berkeyakinan, mediasi tidak hanya bermanfaat bagi pihak-pihak yang bersinggungan langsung dengan masalah ini. Keberhasilan mediasi antarpihak juga akan menenangkan para siswa dan guru lainnya. Dari mediasi pula, semua pihak didorong untuk membuat komitmen serius berupa penetapan sejumlah agenda makro.
Agenda makro ini akan menciptakan sistem yang dapat diandalkan ketika problem serupa berulang kembali di sekolah yang bersangkutan. Pertama, siswa dan keluarganya perlu diedukasi tentang bagaimana menyampaikan masukan ke guru atau sekolah secara langsung dan proporsional.
Kedua, sekolah perlu menguatkan strategi transfer ilmu pengetahuan sebagaimana tertulis di atas. Satuan acara pelajaran dan module plan perlu dipertajam dan diperinci. Pemberian materi tentang etika belajar-mengajar juga perlu diintensifkan kepada siswa, guru, dan karyawan.
Yang terakhir, lembaga negara yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu pun perlu lebih gencar lagi menyosialisasikan dos and don’ts mengenai politik di dalam lingkungan lembaga pendidikan. Semoga.
Penulis: Seto Mulyadi Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. MI