Hoaks dan Demokrasi yang Tercederai

Administrator - Rabu, 24 Oktober 2018 - 01:06:44 wib
Hoaks dan Demokrasi yang Tercederai
Thinkstock/MI

PEMIILU dan Pilpres idealnya menjadi pesta demokrasi yang menyejukkan dan menjadi media untuk menyalurkan aspirasi sosial masyarakat. Akan tetapi, di era digital seperti sekarang, pelaksanaan Pemilu dan Pilpres 2019 ternyata justru dibayang-bayangi ancaman merebaknya ujaran kebencian dan penyebaran hoaks yang makin masif.

Menjelang tahun politik 2019, sekitar 142 juta pengguna internet di Indonesia, 80% di antaranya masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) yang menjadi incaran pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Para produsen hoaks dan ujaran kebencian umumnya menjadikan para pengguna internet yang bakal menjadi pemilih pada 2019 nanti sebagai target empuk bagi penyebaran hoaks. Entah untuk kepentingan mempertahankan status quo atau kepentingan pihak oposan.

Dalam hitungan kasar, sekitar 119 juta pemilih yang notabene merupakan pengguna teknologi informasi dan terbiasa berhubungan melalui media sosial rawan terkontaminasi berita-berita hoaks yang setiap detik terus membanjiri dunia maya.

Implikasi hoaks
Kalau berbicara idealnya, kontestasi antarkandidat dalam pemilu maupun pilpres, seharusnya dilakukan secara fair dan rasional. Artinya, sah-sah saja bagi kandidat mana pun untuk memperkenalkan diri dan programnya kepada para kontituen, sepanjang hal itu dilakukan menurut koridor hukum dan moral yang berlaku. Akan tetapi, lain soal ketika para kandidat yang bertarung, termasuk tim suksesnya melakukan kampanye yang menyerang lawan dengan memanfaatkan berita-berita hoaks.

Jika dibandingkan dengan kampanye secara konvensional, seperti menghadiri satu per satu konstituen atau memasang spanduk dan baliho, berkampanye dengan menggunakan media sosial memang terbukti lebih efektif dan murah. Daya jangkau berkampanye melalui media sosial umumnya nyaris tanpa batas. Dan yang terpenting sesuai dengan profil para pemilih yang termasuk kelompok generasi internet atau netizen.

Yang menjadi masalah ialah ketika ada kandidat yang memilih jalan pintas dan memanfaatkan keunggulan media sosial untuk kepentingan yang pragmatis. Pemilu dan pilpres yang seharusnya berjalan demokratis dan fair, bukan tidak mungkin akan tercederai ketika ada pihak-pihak tertentu yang menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan dalam pesta demokrasi.

Menyerang kredibilitas lawan melalui ujaran kebencian dan merusak reputasi pesaing melalui berita hoaks, niscaya akan menjadi titik rawan yang sengaja dikembangkan untuk meraup suara-suara konstituen yang belum memiliki tingkat literasi kritis memadai.       
Implikasi yang terjadi jika penyebarluasan ujaran kebencian dan berita hoaks dibiarkan berlarut-larut ialah: pertama, dasar pertimbangan pemilih ketika mencoblos calon yang dipercaya dalam pemilu maupun pilpres bukan tidak mungkin menjadi bias, akibat penyebaran hoaks yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.  

Bukan tidak mungkin terjadi, seorang pemilih yang tidak kritis, akan menelan mentah-mentah informasi yang disirkulasi dalam grup-grup di media sosial ketika mereka menjadi anggota meskipun informasi itu hoaks. Berita hoaks yang menyerang kredibilitas salah seorang kandidat, meski tidak benar, kalau terus-menerus disebarluaskan, bisa saja sebagian masyarakat akan menjadi korban karena memercayai informasi itu.

Kedua, penyebaran informasi hoaks yang terus-menerus, berisiko menyebabkan batas antara black campaign dan negative campaign menjadi baur. Dalam kontestasi yang demokratis, sebetulnya tidak dilarang jika antarkandidat melakukan negative campaign-–sepanjang memang informasi yang di-share ke publik benar adanya. Namun, lain soal jika yang terjadi ialah black campaign.

Seorang kandidat yang dijatuhkan reputasinya lewat kampanye hitam yang tidak berbasis data yang benar, tentu akan dirugikan jika namanya rusak gara-gara lawannya memanipulasi informasi yang tidak benar, tetapi dikonstruksi sedemikian rupa seolah benar. Penggunaan hoaks untuk black campaign, sangat mungkin dilakukan jika tidak ada ketentuan hukum yang tegas untuk menindak siapa pun yang melakukan pelanggaran.

Ketiga, penyebarluasan hoaks yang lepas kendali, niscaya akan berisiko memantik konflik laten maupun terbuka di antara para konstituen. Hoaks yang dimanfaatkan sebagai instrumen untuk menjatuhkan nama baik kandidat yang tengah berkontestasi, sudah barang tentu akan membuat para pendukung kontestan itu merasa dirugikan dan bahkan bukan tidak mungkin mereka akan menempuh langkah-langkah di luar hukum untuk membalas tindakan lawan politiknya.
Pada titik penyebar hoaks benar-benar sudah merajalela, jangan heran jika setiap pihak akhirnya memilih jalan pintas untuk mempertahankan kebenaran yang diyakininya itu.

Darurat hoaks
Dengan mayoritas para pemilih yang sekitar 70% masih berpendidikan SMP, tetapi sudah terbiasa mempergunakan media sosial untuk menelusuri informasi maupun menerima informasi, tidaklah berlebihan jika Indonesia saat ini berada dalam situasi darurat hoaks. Kenapa? Karena dengan latar belakang pendidikan yang relatif rendah, kemungkinan para konstituen untuk terpengaruh atau bahkan terprovokasi hoaks sangatlah besar.

Dalam UU No 1/1946 Pasal 28 ayat 1 dan 2, UU ITE Pasal 28 ayat 2, serta UU No 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, di Indonesia sebetulnya perangkat aturan hukum yang ada sudah lebih dari cukup, guna menjerat siapa pun yang bermain-main dengan hoaks untuk kepentingan politik maupun ekonomis.

Persoalannya sekarang ialah bagaimana melaksanakan secara konsisten perangkat aturan hukum yang ada dan memastikan siapa pun yang terlibat dalam upaya memproduksi hoaks maupun ujaran kebencian memperoleh sanksi yang setimpal.

Berharap meredam penyebarluasan hoaks semata pada daya tahan dan sikap kritis warga masyarakat, tentu agak sulit dilakukan, jika profil pendidikan masyarakat Indonesia sebagian besar masih tergolong rendah. Sementara itu, berharap para kandidat yang tengah berkontestasi sadar dan tidak memanfaatkan hoaks untuk tujuan politik praktis juga kemungkinan sulit dilakukan, jika mereka belum memiliki kesadaran yang penuh tentang hakikat pesta demokrasi.

Bola untuk mencegah penyebaran hoaks kini sepenuhnya ada di tangan aparat penegak hukum. Ikhtiar untuk menyelenggarakan pemilu dan pilpres yang damai dan jujur, niscaya akan sulit terealisasi jika Divisi Cyber Crime Kepolisian tidak terus mencermati dan segera mengambil langkah yang dibutuhkan untuk meredam meruyaknya hoaks yang makin lepas kendali.

 

Penulis: Rahma Sugihartati Dosen Masyarakat Digital FISIP Unair, Melakukan penelitian tentang partisipasi politik daring para netizen dari program penelitian unggulan FISIP Unair tahun 2018. MI