Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan sejumlah calon kepala daerah sebagai tersangka memantik polemik. Langkah itu memang bagian dari upaya memberangus korupsi. Akan tetapi, ia juga berimbas pada pesta demokrasi sehingga perlu ada solusi.
Setidaknya sudah delapan calon kepala daerah yang menyandang status baru, yakni tersangka kasus korupsi. Terakhir, KPK menjadikan dua calon Wali Kota Malang, Jawa Timur, yakni Mochamad Anton dan Yaqud Ananda Gudban sebagai pesakitan.
Anton dan Yaqud kini meringkuk di sel tahanan KPK. Keduanya mengikuti jejak buruk enam calon kepala daerah lainnya, seperti calon Gubernur Sulawesi Tenggara Asrun, cagub Lampung Mustafa, cagub NTT Marianus Sae, dan calon Bupati Subang Imas Aryumningsih.
Ada pula cabup Jombang Nyono Suharli Wihandoko dan cagub Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus. Bagi orang-orang itu, status tersangka jelas sangat tidak diharapkan.
Pun bagi partai politik pengusung yang sedari awal bersusah payah menjaring dan memilih calon terbaik. Bagi pilkada pun, penetapan beberapa calon sebagai tersangka ialah fakta menyesakkan yang sarat noda.
Amat tidak elok ketika pilkada yang semestinya menjadi arena untuk memilih pemimpin daerah bersih dan berintegritas justru diikuti calon yang diduga kotor. Dari situlah polemik mengemuka.
Menko Polhukam Wiranto, misalnya, menyarankan KPK menunda penetapan tersangka calon kepala daerah hingga pilkada usai. Namun, KPK berkeras tak akan mengulur waktu penetapan jika sudah ada minimal dua alat bukti.
KPK malah menyarankan Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) agar calon yang jadi tersangka bisa digantikan orang lain. Kita memahami sikap Wiranto agar penetapan tersangka ditunda demi mencegah kegaduhan.
Kita juga memahami kekukuhan KPK karena penetapan tersangka memang sepenuhnya domain mereka. Namun, polemik pantang kita biarkan terus membelit.
Pada situasi itulah usul revisi peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) perihal pergantian calon kepala daerah yang menjadi tersangka patut dipertimbangkan. PKPU Nomor 3 Tahun 2017 juncto PKPU No 15 Tahun 2017 yang menginduk pada UU tentang Pilkada memang amat membatasi peluang penggantian calon kepala daerah.
PKPU menggariskan bahwa penggantian hanya bisa dilakukan jika calon tak memenuhi syarat kesehatan, berhalangan tetap, dan dijatuhi hukuman yang telah berkekuatan hukum tetap.
Terjemahan terhadap frasa 'berhalangan tetap' pun cuma dua, yakni meninggal dunia dan tidak mampu melaksanakan tugas secara permanen. Jelas bahwa status tersangka dan ditahan bukanlah bagian dari prasyarat penggantian calon yang diatur dalam PKPU saat ini.
Padahal, ketika menyandang predikat itu, seseorang sama saja berhalangan tetap. Ia mustahil menjalankan kewajiban dan menggunakan hak sebagai kandidat, seperti berkampanye dan mengikuti debat.
Merevisi PKPU agar status tersangka dan ditahan masuk daftar syarat penggantian calon ialah cara yang mudah dan cepat untuk meniadakan tersangka di pilkada. Berbeda dengan perppu seperti yang diusulkan KPK, apalagi jika harus mengubah UU, revisi PKPU tak perlu waktu lama.
Ia lebih ringkas dan tak perlu mendapat persetujuan DPR sehingga pas untuk mengatasi persoalan yang mendesak saat ini. Dengan kewenangan yang mereka miliki, KPU bisa mengubah peraturan yang ada demi kebaikan pilkada.
Ibarat sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui, merevisi PKPU berarti mengawal pilkada steril dari tersangka sekaligus memastikan upaya pemberantasan korupsi oleh KPK tetap terjaga.
Mtvn