Jakarta: Pemerintah Presiden Joko Widodo lebih memilih menaikkan utang atau pinjaman untuk menutupi gap penerimaan negara yang mengalami potensi shortfall atau kekurangan.
Hal ini ditunjukkan dari naiknya target pembiayaan melalui penerbitan surat berharga negara (SBN) Rp67,3 triliun dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan (RAPBNP) 2017 sehingga menjadi Rp467,3 triun. Dalam APBN induk, SBN yang ditetapkan sebesar Rp400 triliun.
Dalam mengajukan revisi APBN, pemerintah mengurangi target penerimaan negara dari Rp1.748,9 triliun menjadi Rp1.711,0 triliun. Sementara, belanja negara dinaikkan dari Rp1.315,5 triliun menjadi Rp1.351,6 triliun.
Maka dari itu, pemerintah menaikkan defisit anggaran menjadi 2,92 persen atau senilai Rp397,2 triliun dari sebelumnya 2,41 persen atau Rp330 triliun.
Namun demikian, meskipun melebar menjadi 2,92 persen, namun diperkirakan defisit hingga akhir tahun bisa dijaga di level 2,67 persen sehingga SBN yang diterbitkan Rp433,0 triliun.
Lebih jauh mantan Gubenurnur Bank Indonesia ini menambahkan, utang yang digunakan untuk kepentingan belanja yang produktif.
"Kita enggak ingin memangkasnya (belanja), kita ingin juga menjaga supaya APBN itu tidak kontraktif, tapi ekspansif," jelas dia.
Mtvn/Ahl/RRN