Jakarta: Politikus PDI Perjuangan Arif Wibowo menyatakan fraksinya sempat tak setuju dengan pengadaan proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP). Arif menyebut, fraksi berlambang banteng itu termasuk yang paling vokal mengkritik saat rapat pengadaan proyek senilai Rp5,9 triliun tersebut.
"Kalau rapat cek saja siapa yang hadir, siapa yang paling vokal. Cek pasti fraksi kami yang kritis saat itu," ujar Arif usai diperiksa sebagai saksi bagi tersangka Andi Agustinus alias Andi Narogong di gedung KPK, Jakarta, Rabu (5/7).
Arif menuturkan, kritikan terhadap proyek yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun itu terjadi karena sistem pada e-KTP saat itu belum rampung. Berkaca pada pemilu tahun 2009 yang dinilai kacau, Arif menilai hal itu terjadi karena sistem pendataan yang belum tertata.
"NIK (Nomor Induk Kependudukan) di e-KTP harus beres baru bisa jalan. Sepanjang NIK enggak beres, ya enggak bisa. Makanya kami kritik," katanya.
Di sisi lain, Arif mengaku tak tahu banyak soal proses penganggaran proyek e-KTP. Anggota Komisi II DPR itu juga membantah tudingan penerimaan aliran dana terkait proyek tersebut. Dalam surat dakwaan Irman dan Sugiharto, Arif disebut menerima uang sebesar US$108 ribu.
"Saya tidak pernah terima uang. Semua sudah dikonfirmasi. Saya sudah jelaskan pada KPK untuk meneliti detail soal itu," ucapnya.
Politikus PDIP lainnya, Olly Dondokambey juga sempat menyebut fraksinya menolak jumlah anggaran yang digunakan sebesar Rp5,9 triliun. PDIP, kata Olly, khawatir anggaran sebesar itu akan menimbulkan masalah.
KPK sebelumnya menegaskan pekan ini penyidik akan berfokus memeriksa sejumlah saksi dari anggota DPR. Penyidik, kata Febri, akan mengklarifikasi dugaan penerimaan aliran dana dan anggaran proyek e-KTP. Selain Arif, KPK juga telah memeriksa sejumlah anggota DPR lainnya termasuk Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
cnni/pit