Jakarta: (Untuk anakku tetap berada di antara bus kota)
Setelah turun dari bus kota tak pernah keluhkan apapun. Kegembiraan, irama musik telah memainkan peraduan imaji perjalanan. Bendera tetap memegang teguh identitas mu.
Demikian waktu terus berlatih di tengah masa musim penghujan ataupun panas. Selalu saja ada di antara perayaan senja, cinta kasih bercengkerama menyelesaikan kegelisahan, di tengah deru bus kota. Semesta terbuka bagi siapapun tidak menentukan pilihan waktu apapun.
Pertanyaan hari ini ataupun esok tak tentu sama di putaran kehidupan. Tetaplah tersenyum pada keadaan meski tengah berlari-lari bersamanya di realitas hutan kota, di antara rasa irama violin mengikuti suara mesin bus kota.
Perpaduan cuaca dan suara-suara metropolis bagai gelak tawa simfoni, memainkan lagu untuk sesama. Siapapun, di dalam arena kotak besi bus kota semoga tak terasa menempuh perjalanan meski panas tergarang aspal terik, anggaplah seakan gerimis dalam koor kehidupan.
Berbahagialah semua kenangan di manapun berada. Peluh, sahabat setia mencapai kantongmu. Tak perlu dirisaukan benar apa pun tujuan hidup, senantiasa persembahkan nyanyian bagi semua cinta di bus kota.
Violinku, katamu, benar milikmu namun tak sepenuhnya bagimu, ia bagai rumpun tanaman padi menguning setiap waktu, itu juga katamu. Gembira selalu mencatat, mata rantai kehidupan rasa irama tanpa batas, tidak perlu upacara formalitas kebahagiaan.
Inilah citarasa kemerdekaan dimerdekakan para pendahulu, penuh arti pengorbanan menebarkan benih generasi kebangsaan. Inilah entitas jiwa-jiwa. Lilin-lilin kecil tetap menyala di pelita-pelita hati membawa nama pemberi cinta, menerangi jagad raya.
Mengalun bunyi violinmu damai peradaban nurani. Semoga sampai kepada para pemilik cinta nun jauh di sana di manapun berada dekat di hati, terdengar mazmur syahdu semesta hati tentang kangen. Meski barangkali, hanya sebuah harapan.
Jika kau lelah. Pulanglah sejenak.
Jakarta, Indonesia, April 14, 2017.
Cnni/ded