Cerita Senyap dari Timur Laut Tesso Nilo

Administrator - Selasa, 21 Maret 2017 - 11:38:39 wib
Cerita Senyap dari Timur Laut Tesso Nilo
Ilustrasi Gambar Peta Hasil Overlay. dok.pic

RADARRIAUNET.COM - Seperti pada kebanyakan taman nasional di negeri ini, Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) juga tidak lepas dari ketidakpastian. Melalui media massa, publik disuguhkan pemberitaan mulai dari tumpang tindih pengelolaan dengan pihak lain, perambahan dan atau okupasi, penebangan liar hingga pembakaraan pada saat penyiapan lahan untuk dijadikan perkebunan.

Sementara tidak banyak diketahui publik bahwa dalam konteks pengelolaan hutan pada kawasan hutan Tesso Nilo terdapat beberapa izin usaha, di antaranya Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) PT Riau Andalan Pulp and Paper, PT Rimba Peranap Indah, PT Rimba Lazuardi, dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) PT Hutani Sola.

TNTN untuk pelestarian

Kawasan hutan Tesso Nilo ditetapkan sebagai Taman Nasional oleh Menteri Kehutanan melalui SK.255/Menhut-II/2004 pada tanggal 19 Juli 2004 sebagai upaya untuk melestarikan keanekaragaman hewan dan tumbuhan khas Sumatera. Kawasan taman nasional itu sebelumnya adalah areal HPH PT Inhutani IV yang telah dicabut izinnya.

Untuk mencapai luasan yang dianggap ideal dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati khas Sumatera tersebut, Menteri Kehutanan memperluas kawasan TNTN melalui SK.633/Menhut-II/2009 pada tanggal 15 Oktober 2009.

Timur Laut TNTN

Menjadi penting untuk membahas sisi Timur Laut TNTN karena pada jangka waktu yang hampir bersamaan, pemerintah melakukan dua hal yang ‘bertentangan’ pada wilayah tersebut. Di satu sisi pemerintah melakukan upaya pelestarian keanekaragaman hewan dan tumbuhan khas Sumatera melalui penetapan kawasan hutan Tesso Nilo menjadi Taman Nasional pada tahun 2004, dan 2009. Sementara di sisi lain, di areal yang sama pada rentang waktu yang sama, pemerintah juga menerbitkan izin pemanfaatan hutan dengan skema HTI yang justru bisa memusnahkan keanekaragaman hewan dan tumbuhan.

Salah satu unit yang dikelola oleh perusahaan pemegang izin dengan skema HTI yang berada di Timur Laut Kawasan TNTN adalah Blok Ukui. Perusahaan pengelola Blok Ukui memperoleh SK Definitif berdasarkan SK Menhut No.137/Kpts-II/1997. Pada tanggal 1 Oktober 2004 Menteri Kehutanan menerbitkan SK No.356/Menhut-II/2004 untuk menambah luasan IUPHHK-HTI, dan pada tanggal 12 Juni 2009 Menteri Kehutanan kembali menerbitkan izin perluasan melalui SK No.327/Menhut-II/2009. Luas Blok Ukui pun ikut bertambah.

Uniknya pada peta yang menjadi Lampiran SK No.327/Menhut-II/2009 dituliskan dengan tegas bahwa areal TNTN pada bagian Utara sampai dengan Timur Laut yang bersinggungan dengan areal kerja Blok Ukui hasil perluasan tersebut sudah ditata batas dengan Identitas Tata Batas Nomor 1386/2000.  Penambahan luasan Blok Ukui ini terindikasi sebagian besar berada di dalam kawasan TNTN sesuai SK.633/Menhut-II/2009.

Pengukuran secara kartografi pada salah satu bagian areal kerja diketahui bahwa areal Blok Ukui merambah sejauh kurang lebih 2,4 kilometer ke dalam Kawasan TNTN, di sepanjang Timur Laut.

Gambar Peta Hasil Overlay

Perkembangan selanjutnya pada tanggal 21 Maret 2013 Menteri Kehutanan kembali menerbitkan SK Perubahan Keempat untuk perusahaan pengelola Blok Ukui, melalui SK.180/Menhut-II/2013. Pada peta lampiran SK ini dicantumkan Identitas hasil pelaksanaan tata batas dengan notasi (penulisan) Berita Acara Tata Batas (BATB) 16-11-2011 pada bagian areal yang bersinggungan dengan Kawasan TNTN.

Implikasi dari SK. 180/Menhut-II/2013 ini adalah pihak pengelola Blok Ukui harus mengalokasikan 500 (lima ratus) meter arealnya yang bersinggungan dengan TNTN sebagai daerah penyangga (buffer zone) yang tidak boleh dieksploitasi namun pengawasan dan pengamanannya menjadi tanggung jawab perusahaan.

Karena pada saat SK Perluasan yang terakhir Kawasan TNTN sudah ditata batas, dengan sendirinya pihak pengelola Blok Ukui hanya berkewajiban mengalokasikan sebagian arealnya (500 meter) untuk menjadi buffer zone. Anehnya areal yang selanjutnya dijadikan buffer zone seolah-olah ‘dipersiapkan’ oleh penerbit izin.

Karena jika berdasarkan penetapan TNTN pada tahun 2004, areal tersebut adalah bagian dari TNTN. Penyesuaian lanjutan yang dilakukan oleh pemberi izin adalah mengubah fungsi kawasan hutan seluruh areal Blok Ukui yang semula hutan produksi terbatas (HPT) menjadi hutan produksi tetap (HP) melalui SK.673/Menhut-II/2014. Kawasan TNTN yang terindikasi ‘dirambah’ pun ikut pula dirubah, yang semula fungsinya Kawasan Suaka Alam (KSA) menjadi hutan produksi tetap (HP).

Pengelolaan Kawasan Hutan

Sedemikian seringnya pengelola Blok Ukui mengalami perubahan izin menimbulkan tanda tanya, apa sebenarnya yang terjadi atas pengelolaan kawasan hutan Indonesia yang dipercayakan kepada mereka? Di mana tanggung jawab para pihak yang terkait dengan masalah ini? Selain dari pihak perusahaan, pihak KLHK maupun pemerintah daerah semestinya bisa memberikan penjelasan.

Khusus areal Blok Ukui yang bersinggungan dengan TNTN, dan karena pada akhirnya ada bagian kawasan hutan yang tanggung jawabnya dikembalikan kepada negara, sepatutnya pihak pengelola dan pemerintah mempublikasikan aktivitas mereka selama rentang waktu 4 (empat) tahun mereka berusaha di dalam kawasan TNTN.

TNTN sebagai Representasi Negara

Pasal 34 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyebutkan bahwa penyelenggaraan Taman Nasional dilakukan oleh pemerintah. Bisa disebut penyelenggaraan taman nasional adalah representasi penyelenggaraan negara. Bila demikian maka tampak bahwa negara ini tidak punya rencana dalam pelestarian hutannya. Karena pada tahun yang sama pemerintah menerbitkan peraturan-peraturan yang saling bertentangan – mengupayakan pelestarian keanekaragaman hayati sekaligus memusnahkannya.

Hampir setahun yang lalu dalam sebuah acara dies natalis sebuah sekolah tinggi filsafat di Jakarta, Menteri LHK menyatakan bahwa lingkungan hidup adalah soal politik. Bahwa kerusakan sumberdaya alam berdampak langsung terhadap kewibawaan negara, dan saat ini pemerintah sedang mengkaji ulang izin-izin dan konsesi di kawasan hutan serta mengintensifkan pengawasan izin. “Seharusnya izin itu adalah instrumen pengawasan,” begitu pernyataan Menteri LHK yang dikutip oleh salah satu harian nasional.

Melihat kacaunya penyelenggaraan TNTN oleh pemerintah, tentu kita berharap pernyataan tersebut benar-benar bisa direalisasikan. Izin-izin di dalam kawasan hutan benar-benar dapat difungsikan sebagai instrumen pengawasan agar hutan kita tetap terjaga. Bukan malah sebaliknya, karena terkait masalah politik melalui izin yang diterbitkan oleh pemerintah kita justru menjadi semakin kehilangan hutan. Lalu hanya seolah-olah saja negara ini menjaga hutannya.

Selamat merayakan Hari Hutan Sedunia, pas hari ini Selasa 21 Maret 2017. Semoga semakin banyak kebijakan di negeri ini yang dibuat dengan nurani agar hutan kita tetap lestari. Salam Rimbawan!

Oleh T. Nala Puruhita

Peneliti Kehutanan kini tinggal di Bogor