Target Ambisius dan Darurat APBN

Administrator - Rabu, 19 Oktober 2016 - 15:21:38 wib
Target Ambisius dan Darurat APBN
ilustrasi. rmol
RADARRIAUNET.COM - Joko Widodo adalah presiden ke-7 RI. Dari enam presiden sebelumnya, tak ada satu pun yang memiliki latar belakang pengusaha. Sukarno seorang pejuang dan politikus, Soeharto berlatar belakang militer, BJ Habibie seorang ilmuwan, Megawati Soekarnoputri seorang politikus, Abdurrahman Wahid seorang intelektual dan ulama, dan Susilo Bambang Yudhoyono dari militer. Baru Jokowi inilah sosok pengusaha menjadi presiden.
 
Pasangannya, Jusuf Kalla, juga seorang pengusaha. Setelah sukses menjadi pengusaha, keduanya masuk panggung politik. Jokowi bermain di politik lokal di Surakarta, sedangkan Jusuf Kalla di arena nasional, termasuk menjadi ketua umum Partai Golkar.
 
Tentu latar belakang ini berpengaruh terhadap gaya kepemimpinan. Salah satu yang paling mencolok adalah keberanian memasang target. Di swasta, seorang pengusaha wajib memasang target tinggi karena target itulah, yang akan memotivasi diri agar berusaha lebih keras untuk mencapainya.
 
Keberanian menancapkan target ini dilakukan Jokowi begitu terpilih menjadi presiden. Dia ingin Indonesia segera keluar sebagai bangsa pemenang, menjadi bangsa yang bermartabat dan berdaulat.
 
Untuk itu, ekonomi harus dibangkitkan secara cepat, tapi tetap berkeadilan. Maka dipasanglah target-target tinggi, target yang cenderung ambisius, dan kebanyakan dari kita ragu, apakah target tersebut bisa tercapai.
 
Kita lihat saja dari target pembangunan pembangkit listrik. Jokowi menargetkan sampai 2019 terpasang 35 gigawatt (gw). Target yang ambisius karena jika melihat ke belakang, Pemerintahan SBY yang satu dasawarsa saja hanya 10 gw. Namun, Jokowi yakin bakal tercapai, sampai-sampai Rizal Ramli pun sewaktu menjadi menko maritim keder dan memangkas sendiri target itu menjadi 16 gw.
 
Untuk infrastruktur jalan, Jokowi menargetkan 1.000 km tol sampai 2019, termasuk tol di Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan tersambungnya tol Merak-Surabaya pada 2018 (yang seharusnya selesai pada 2011). Jalan nontol akan dibangun ribuan kilometer sampai 2019, di antaranya meliputi pembangunan jalan di trans-Papua, trans-Sulawesi, dan trans-Kalimantan, serta infrastruktur jalan di perbatasan negara.
 
Begitu juga, dalam pembangunan waduk. Jokowi menargetkan 49 waduk sampai 2019 nanti. Sebanyak 13 waduk sudah diselesaikan sampai 2016 ini, termasuk waduk Jatigede di Jawa Barat yang sudah mangkrak selama puluhan tahun. Belum lagi target pembangunan puluhan pelabuhan untuk mendorong terealisasinya tol laut.
 
Masih ingat juga ketika terjadi kenaikan harga daging sapi menjelang Lebaran silam? Bagi Jokowi, harga daging Rp 120 ribu per kg tidak masuk akal. Dia lalu mematok target harga daging Rp 80 ribu per kg. Ini juga target yang fantastis karena harus dilakukan dalam waktu dua pekan.
 
Masih banyak lagi target tinggi yang ditancapkan, termasuk dalam pembuatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Semangat Jokowi dalam membangun negeri dicerminkan dengan memasang target pembangunan setinggi mungkin. Pada akhirnya, Jokowi terbelit sendiri dengan beberapa target yang dicanangkan karena dibuat tergesa-gesa tanpa perhitungan matang.
 
Kita bisa lihat pada APBN 2015, misalnya. Di situ, target penerimaan pajak naik 30 persen (Rp 342 triliun) dibandingkan realisasi penerimaan pajak 2014. Padahal, saat itu ekonomi sedang melambat. Logikanya jika ekonomi melambat, penerimaan pajak akan turut melambat. Akibatnya, target hanya tercapai 83 persen, meleset Rp 249 triliun.
 
Anehnya lagi, penentuan target penerimaan pajak APBN 2016 masih tetap fantastis, yakni dengan menaikkan 24 persen (Rp 300 triliun) dibandingkan realisasi penerimaan 2015 menjadi Rp 1.539 triliun. Hingga 26 September 2016 lalu, penerimaan pajak sektor nonmigas baru Rp 729 triliun. Sebuah pencapaian yang masih jauh dari target.
 
Sejak triwulan kedua, pemerintah sadar bahwa target pajak takkan tercapai. Banyak faktor yang memengaruhinya, seperti kondisi ekonomi yang masih belum menggembirakan, harga migas yang masih rendah, begitu juga harga komoditas. Berbagai jurus dilakukan untuk menyelamatkan APBN, utamanya adalah amnesti pajak (ax amnesty), menambah porsi utang, dan pemangkasan anggaran.
 
Soal amnesti pajak, pemerintah ngotot segera diberlakukan. Tak heran jika pembahasan dan pengesahan UU Pengampunan Pajak bisa selesai hanya dua-tiga bulan. Namun, lagi-lagi Jokowi mencanangkan target ambisius, yakni memperoleh tebusan pajak sebesar Rp 165 triliun!
 
Hingga 27 September 2016, uang tebusan baru mencapai Rp 73,3 triliun. Itu pun 72 persen (Rp 1.719 triliun) deklarasi dalam negeri, sementara luar negeri hanya 28 persen (Rp 666 triliun). Padahal, selama ini yang diharapkan dan digembor-gemborkan deklarasi uang di luar negeri.
 
Jurus kedua menambah utang. Menteri Keuangan sudah bersiap menaikkan defisit anggaran dari 2,35 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) di APBNP 2016 menjadi 2,41 persen. Itu berarti jumlah utang akan membengkak sehingga beban negara semakin tinggi.
 
Apalagi, sebagian besar utang adalah surat berharga negara (SUN) yang berbunga tinggi. Pada 2016, untuk pembayaran bunga saja sudah mencapai Rp 58,8 triliun. Beberapa lembaga saat ini 'dipaksa' untuk membeli SUN, termasuk konversi dari dana daerah.
 
Jurus ketiga berupa pemangkasan anggaran. Baru dua pekan menjabat sebagai menteri keuangan, Sri Mulyani langsung memotong anggaran belanja Rp 136 triliun. Tanpa kompromi. Salah satu yang disayangkan adalah pemotongan anggaran untuk riset. Hal ini menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah bahwa jika ingin menjadi bangsa yang maju, anggaran riset harus diutamakan.
 
Pengalaman Sri Mulyani sebagai menteri keuangan saat krisis global 2008 ditambah sebagai direktur Bank Dunia selama enam tahun, menjadikan dia berani berkata 'tidak' jika dinilainya kebijakan APBN Jokowi tidak tepat. Termasuk dalam penentuan target pajak yang biasanya selalu naik, pada APBN 2017 diturunkan menjadi Rp 1.495 triliun, lebih rendah dari target APBNP 2016 yang Rp 1.539 triliun.
 
Saat ini pemerintah sedang mengalami darurat APBN. Begitu daruratnya sehingga APBNP yang merupakan revisi dari APBN kembali direvisi. Karena kalau tidak, kredibilitas APBN akan hancur karena salah mengelola cashflow. Tiga bulan terakhir ini akan menjadi masa sulit dan menentukan jalannya pemerintahan yang terbelit masalah keuangan.
 
Muara darurat APBN adalah perencanaan anggaran yang tidak matang, termasuk pencanangan target-target yang ambisius. Kondisi saat ini menjadi pelajaran bagi Jokowi agar hati-hati dalam menetapkan target, apalagi target dalam APBN yang menyangkut kehidupan rakyat. Jangan sampai rakyat menjadi korban atas ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola APBN. 
 
 
ANIF PUNTO UTOMO
Direktur Indostrategic Economic Intelligen/rol