RADARRIAUNET.COM - Mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi Abdurrachman membantah dirinya telah meminta uang Rp3 miliar dari Lippo Group untuk kepentingan sebuah acara olahraga tenis yang diselenggarakan bagi internal MA.
"Tidak, tidak ada. Bohong itu," ujar Nurhadi di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Kamis (6/10).
Nurhadi enggan membeberkan secara rinci soal dugaan penerimaan uang tersebut. Ia berkata akan memberi kesaksian atas hal tersebut di Pengadilan.
"Nanti saya jelaskan di Pengadilan itu," ujarnya.
Untuk kedua kalinya, Nurhadi kembali dimintai keterangan berkaitan dengan penyelidikan yang dilakukan KPK. Nama Nurhadi sempat disebut-sebut terlibat dalam sejumlah kasus penanganan perkara yang ada di Pengadilan dan MA.
Nurhadi diduga meminta uang sebesar Rp3 miliar kepada Lippo Group, terkait pengurusan sejumlah perkara hukum yang dihadapi beberapa perusahaan tersebut. Uang itu diduga digunakan untuk Pertandingan Tenis Warga Pengadilan (PTWP) se-Indonesia yang digelar di Bali.
Hal itu terungkap dalam surat dakwaan Jaksa penuntut KPK terhadap terdakwa Edy Nasution, yang dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (7/9).
Lippo Group melalui PT Jakarta Baru Cosmopolitan (JBC) menghadapi persoalan hukum terkait permohonan eksekusi tanah oleh ahli waris berdasarkan putusan Raad Van Justitie Nomor 232/1937 tanggal 12 Juli 1940 atas tanah yang berlokasi di Tangerang.
Tanah itu adalah milik ahli waris Tan Hok Tjioe. Namun, saat ini tanah tersebut dikuasai oleh PT JBC, dan telah dijadikan lapangan golf Gading Raya Serpong.
Selanjutnya, Mahkamah Agung mengeluarkan petunjuk bahwa permohonan eksekusi tanah tersebut diajukan melalui PN Jakpus, sementara pelaksanaan dilakukan oleh PN Tangerang.
Mengetahui adanya permohonan eksekusi, Eddy Sindoro selaku Presiden Direktur Lippo Group dan Direktur PT JBC menugaskan bagian legal Lippo Group, Wresti Kristian Hesti, untuk melakukan pengurusan perkara.
Hesti lantas menemui panitera PN Jakpus Edy Nasution untuk meminta pembatalan permohonan eksekusi tanah yang telah dikuasai PT JBC.
Namun, setelah beberapa lama, Edy tidak juga melakukan tindak lanjut, sehingga Hesti meminta Eddy Sindoro untuk membuat memo kepada promotor, yakni Nurhadi.
Setelah itu, Edy menghubungi Hesti dan menyampaikan kesediaan untuk membantu mengurus perkara.
"Edy menyampaikan bahwa dalam rangka pengurusan penolakan permohonan eksekusi, atas arahan Nurhadi, agar disediakan uang sebesar Rp 3 miliar," ujar Jaksa KPK Tito Jaelani saat membacakan surat dakwaan Edy Nasution.
Meski demikian, Eddy Sindoro menyampaikan kepada Hesti bahwa Lippo Group hanya bersedia membayar Rp1 miliar. Hesti kemudian menyampaikan hal itu kepada Edy di PN Jakpus.
Namun, Edy mengatakan bahwa sesuai arahan Nurhadi yang sering disebut WU, uang tersebut akan digunakan untuk menggelar pertandingan tenis. Akhirnya, Edy menurunkan permintaan menjadi Rp2 miliar.
Hesti kemudian berbicara kepada Eddy Sindoro mengenai permintaan Edy. Hesti menyampaikan bahwa permintaan Edy tersebut sesuai dengan permintaan dan persetujuan Nurhadi.
"Terhadap permintaan tersebut, Eddy akhirnya hanya menyanggupi memberikan uang sebesar Rp1,5 miliar," ujar Jaksa KPK.
Pemberian uang kepada Edy dilakukan oleh pegawai Lippo Group yang juga sebagai asisten Eddy Sindoro, yakni Doddy Aryanto Supeno. Penyerahan uang dilakukan di Hotel Acacia, Jakarta Pusat, pada 26 Oktober 2015.
cnn/radarriaunet.com