Logika Ekonomi Parpol

Administrator - Sabtu, 24 September 2016 - 16:42:49 wib
Logika Ekonomi Parpol
ilustrasi. hhc

RADARRIAUNET.COM - Masih banyak yang penasaran mengapa PDIP sebagai partai pemenang di DKI Jakarta tidak mencalonkan kader intinya sendiri untuk maju dalam Pilkada DKI Jakarta 2017? Mengapa harus Ahok yang resistensinya dari warga DKI Jakarta demikian tinggi tetap diajukan oleh PDIP sebagai calon gubernur?

Untuk menganalisis keputusan politik semacam ini sering kali orang mengukurnya dari sisi ideologis. Padahal, jika mengukur hal tersebut dari sisi ideologis, jelas tidak paralel dan senapas. Keputusan politik semacam ini bukan hanya monopoli PDIP, tetapi meliputi semua partai. Hal yang dapat menjelaskan perilaku politik semacam itu ialah melihatnya dari logika ekonomi partai politik.

Partai politik sekarang ini tak ubahnya suatu korporasi yang bergerak di pasar suara. Kekuatan ekonomi sebuah parpol antara lain dapat ditakar dari perolehan kursi legislatif dan eksekutifnya. Tapi karena kursi ekskutif seperti kepala daerah biasanya diperoleh lewat kongsi politik dari berbagai parpol, maka agak sulit menentukannya sebagai wilayah mutlak satu parpol. Tulisan analisis ini hanya berlaku pada sistem politik Indonesia yang berjalan dalam suatu formasi multipartai yang tidak satu kekuatan politik pun yang sanggup mengontrol secara mutlak peta politik Indonesia.

Sebagai contoh, marilah kita cermati PKS untuk tujuan menakar ekonomi yang ditimbulkan oleh keberadaan parpol tersebut. Hal ini juga berguna untuk melihat sistem demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia dari sudut pandang ekonomi.

Saat ini terdapat 20.257 kursi legislatif yang tersedia untuk diperebutkan aneka parpol dalam satu momen pemilu legislatif. Perinciannya ialah 560 kursi untuk DPR, 2.137 kursi untuk DPRD Provinsi dan 17.560 kursi untuk DPRD Kabupaten/Kota. Indonesia memiliki 34 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Masing-masing daerah memiliki pola dan cirinya sendiri terkait perebutan kursi legislatif maupun hasil kursi. Semakin kaya suatu daerah, semakin besar penghasilan anggota DPRD-nya.

Sekarang mari kita hitung pendapatan 1.146 anggota legislatif PKS tersebut. Dari 560 kursi DPR, PKS memperoleh 40 kursi. Total income setiap anggota DPR 2014-2019 per tahun diperkirakan Rp 1,2 miliar. Income itu meliputi banyak aspek, gaji pokok sebesar Rp 55.294.000 per bulan, dana reses Rp 118.000.000 dalam empat kali setahun, gaji ke-13 Rp 16.400.000, tarif per rapat Rp 500.000, tunjangan komunikasi, listrik, perumahan, beras dan lauk-pauk, tanggungan anak, istri, dst.

Jadi, dalam setahun, PKS dapat mengumpulkan Rp 48 miliar dari 40 orang anggota DPR-nya di Senayan. Lalu, berapa yang diperoleh PKS dari 1.106 anggota DPRD-nya di seluruh Indonesia?

Mari kita ambil angka moderat bahwa pendapatan setiap anggota DPRD adalah Rp 30 juta per bulan. Untuk DPRD DKI dapat menjadi Rp 45 juta. Hal ini disampaikan oleh Lembaga Fitra pada suatu kesempatan.

Jika PKS memiliki 1.106 kursi DPRD, dengan pendapatan Rp 30 juta per kursi per bulan, maka dalam sebulan PKS meraup dana sebesar Rp 33.180.000.000. Dalam setahun, PKS memperoleh Rp 398.160.000.000 dari anggotanya di DPRD. Ditambahkan dengan pendapatan dari 40 orang anggota DPR dari PKS di atas, maka total dalam setahun PKS meraup dana dari lini legislatif sebesar Rp 446.160.000.000. Angka yang tidak remeh, bukan?

Bagaimana dengan PDIP dan Partai Golkar yang jumlah anggota legislatifnya jauh lebih banyak? Tentu angkanya jauh melebihi nilai dana yang disabet oleh PKS.

Industri politik
Partai seperti Golkar tentunya menyadari dan menghayati bahwa politik tak lebih daripada industri. Layaknya industri, pendekatan yang digunakan untuk meraup kursi tidak penting apakah bernilai ideologis atau tidak. Fokusnya adalah perolehan kursi. Perolehan suara pun tidak senantiasa berbanding lurus dengan perolehan kursi.

Semakin banyak kursi dikumpulkan, semakin besar dana yang diterima. Ibarat praktik industri, semakin besar volume penjualan, semakin besar dana yang diperoleh. Paradigma politik sebagai industri ini teroperasi dalam sistem dan perilaku politik orang-orang Golkar.

Itulah sebabnya perilaku politik Partai Golkar yang bagi publik dipandang oportunistis dan jauh dari pendirian yang bermoral serta selalu menempel kepada yang sedang berkuasa dapat dimengerti dengan merujuk kepada soal politik adalah industri itu.

Namun sialnya, bagaimana jadinya apabila nasib rakyat dipertaruhkan di tangan politisi-politisi yang memandang politik tak lebih daripada industri. Jadilah rakyat dalam penilaian mereka tak lebih daripada komoditas yang setiap waktu dapat mereka perlakukan layaknya dagangan.

Rakyat, tepatnya suara rakyat, sebagai komoditas ini menjadi bencana yang merusak sendi-sendi kehidupan. Moralitas pun hancur dan terkubur di dalam rongga-rongga kerongkongan para politisi. Rakyat sendiri dengan segenap kemanusiaannya itu akhirnya jatuh tak berharga.

Implikasi
Saat ini, sistem politik yang berjalan adalah menempatkan partai politik sebagai entitas layaknya special purpose vehicle dalam memperebutkan kendali kekuasaan. Ibarat industri memperebutkan pasar, partai politik pun tak jauh berbeda di dalam memperebutkan pasar suara. Hal ini telah mendorong partai-partai yang ada untuk berperilaku layaknya industri. Mulai dari reposisi, strategi marketing, branding, hingga segmentasi. Yang belum terlihat ialah trik akuisisi, penciptaan holding dan aksi-aksi korporasi yang luar biasa itu. Ruh dan model aksi parpol nyaris sudah mencerminkan perilaku korporasi.

Lantas, jika politik pun sudah bekerja layaknya industri yang hanya berfokus mengejar profit, hal ini akan tentu menyempurnakan setiap aspek kehidupan manusia bekerja untuk profit dan materi. Kebajikan dalam dunia yang terhomogenisasi seperti itu jelas semakin langka untuk ditemukan.

Di titik inilah agama yang tadinya cukup berperan dalam membimbing kehidupan manusia tergerus dan terbonsai secara sistematis oleh politik yang bekerja berdasarkan paradigma profil dalam industri. Agama akan semakin kesulitan untuk mengaktualisasikan dirinya secara utuh dan menyeluruh. Yang lahir adalah agama yang menyesuaikan diri dengan paradigma industri.

Itulah mungkin sebabnya mengapa agama yang hadir di ruang-ruang publik bukan lagi agama yang orisinal dan murni, tetapi sudah bercampur dengan motif, muatan, dan visi industri. Banyak yang menyadari hal ini tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena semua wilayah kehidupan telah terokupasi oleh sistem industri yang mengejar profit itu.

Namun sebagian lagi yang jenuh dengan hegemoni sistem industri dalam kehidupan manusia, mencoba bereaksi. Di antara sekian reaksi itu adalah mengambil lakon hidup eskapis dari sistem kehidupan tersebut. Jenis reaksi yang lain adalah memberontak dan berusaha meruntuhkan sistem tersebut dan menggantinya dengan sistem baru. Gejala penolakan terhadap demokrasi dari kelompok-kelompok masyarakat tentu ada kaitannya dengan makin jenuhnya demokrasi dan jatuh sekadar industri politik.


Syahrul Efendi Dasopang
Mantan Ketum PB HMI/rol