Polemik Cuti Calon Pejawat

Administrator - Jumat, 23 September 2016 - 15:28:16 wib
Polemik Cuti Calon Pejawat
ilustrasi. rwc

RADARRIAUNET.COM - UU Pilkada yang mengatur soal kewajiban cuti calon pejawat memantik polemik seiring gugatan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ke Mahkamah Konstitusi. Ahok menuding aturan tersebut inkonstitusional karena menghambatnya bekerja membangun Jakarta.

Kewajiban cuti kandidat pejawat telah diatur dalam UU Pilkada No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dalam Pasal 70 disebutkan, kepala daerah, yakni Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Wali Kota atau Wakil Wali Kota yang kembali mencalonkan diri di daerah yang sama wajib melakukan cuti selama masa kampanye.

Selain inkonstitusional, Ahok menilai UU Pilkada yang memuat pasal wajib cuti mencederai mandat rakyat yang telah diberikan kepadanya sebagai gubernur. Bahkan, mantan bupati Belitung Timur ini rela tak berkampanye asal tidak "dipaksa" meninggalkan tugas gubernurnya memimpin Jakarta.

Hal lain yang memicu polemik terkait adanya multitafsir soal kewajiban cuti bagi calon pejawat yang tidak diperinci detail mulai kapan cuti harus dilakukan dan dalam jangka waktu berapa lama.

Tafsir pertama menegaskan cuti kampanye wajib dilakukan tiga hari setelah KPUD menetapkan calon pejawat sebagai kandidat kepala daerah. Itu artinya, calon pejawat harus cuti selama masa kampanye pilkada berlangsung atau setara dengan tiga bulan lamanya.

Tafsir kedua menyebut cuti kampanye wajib dilakukan ketika calon pejawat hendak menemui konstituen atau calon pemilihnya saja. Jadwal cuti calon pejawat bisa tentatif yang bisa dilakukan kapan saja sesuai kebutuhan sang calon.

Tampaknya, Ahok keberatan jika tafsir pertama yang dijadikan pedoman pelaksanaan pilkada serentak 2017. Hal inilah yang mengakibatkan Ahok begitu getol melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi guna menganulir ketentuan yang dianggap mengebiri kewenangannya sebagai gubernur.

Padahal, jika dirunut ke belakang, munculnya UU Pilkada yang mengatur kewajiban cuti bagi calon pejawat didasarkan pada sejumlah argumen penting. Pertama, untuk memenuhi rasa keadilan bagi semua kandidat.

Jika calon pejawat tak melakukan cuti, dikhawatirkan akan terjadi conflict of interest. Bahkan, waktu draf RUU Pilkada ini masih digodok di DPR, sejumlah fraksi mengusulkan agar kandidat pejawat wajib mundur sebagai kepala daerah, bukan sekadar cuti.

Kedua, potensi abuse of power yang cukup besar karena calon pejawat memiliki akses luas terhadap birokrasi dan infrastruktur politik lainnya. Pada titik ini, perlu ditekankan bahwa birokrasi harus dijauhkan dari anasir-anasir kekuasaan politik penguasa.

Max Weber dalam The Theory of Social and Economic Organization (1947) memosisikan birokrasi sebagai organisasi formal rasional yang memiliki fungsi pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan.

Sebab itu, birokrasi berparadigma melayani, netral, bebas nilai, dan jauh dari praktik nepotis. Birokrasi mesti dijauhkan dari unsur subjektivitas dalam setiap implementasi kebijakan politik, sifatnya impersonal, menanggalkan segenap kepentingan individu dari segala ragam kepentingan yang ada.

Sedangkan, yang ketiga meminimalisasi terjadinya praktik politik dinasti yang cenderung koruptif serta berorientasi melayani kepentingan kroni-kroninya semata. Semua program pemda disalurkan kepada pemangku kepentingan terdekat guna memuluskan kepentingan politik pejawat.

Argumen Ahok yang menolak kewajiban cuti bagi calon pejawat memang masuk akal. Jika cuti, otomatis Ahok hanya menjadi outsider yang tidak bisa turut andil dalam memutuskan kebijakan strategis, termasuk mengawal APBD 2017 yang bakal dibahas dengan DPRD Jakarta. Kekhawatiran ditelikung cukup beralasan mengingat kasus pengadaan uninterruptible power supply (UPS) pernah membelit para politikus Kebon Sirih.

Meski begitu, publik tak lagi memedulikan hal substansial dalam materi gugatan Ahok ke Mahkamah Konstitusi. Sebaliknya, publik malah menuding Ahok tak tulus menggugat aturan tersebut. Sebab, dalam Pilgub DKI Jakarta 2012, Ahok getol meminta Fauzi Bowo melakukan cuti.

Kini, saat posisi Ahok seperti Fauzi Bowo empat tahun silam, angin politik berbalik arah menerjang Ahok. Gugatan yang ingin menganulir kewajiban cuti pejawat dituding sekadar manuver menjelang pilkada. Ahok tak konsisten dan memiliki agenda politik tersembunyi, yakni mendulang insentif elektoral.

Ahok terus bermanuver di tengah resistensi publik yang kian mengeras. Meski hasil survei menempatkan Ahok sebagai calon unggulan, bukan berarti Ahok akan mudah memenangkan pertarungan di Ibu Kota.

Bukan kali ini saja Ahok dituding tak konsisten. Sebelumnya, Ahok yang santer dikabarkan bakal maju lewat jalur independen, akhirnya bertekuk lutut di bawah kuasa partai politik. Relawan politiknya, Teman Ahok, yang mengklaim berhasil mengumpulkan satu juta lebih KTP dukungan, nyaris tak berarti.

Belum lagi soal sikap Ahok yang kerap melakukan jumping politik dengan meninggalkan partai pengusungnya membuat publik makin tak percaya terhadap ketulusan Ahok menggugat UU Pilkada. Terkesan, Ahok hanya panik karena hak istimewa sebagai pengguna anggaran daerah bakal diamputasi.

Sikap Ahok yang tidak konsisten dan kerap pindah haluan menjadi isu yang lebih menarik perhatian publik dari sekadar substansi materi yang digugat Ahok ke Mahkamah Konstitusi. Apalagi, menjelang pendaftaran calon ke KPUD, semua isu yang dimainkan Ahok diduga bermuatan politis.

Oleh karena itu, polemik kewajiban cuti bagi calon pejawat terasa hambar jika tak dibarengi sikap tulus untuk memperkuat demokrasi. Apalagi, gugatan ke Mahkamah Konstitusi sekadar memenuhi hasrat politik sesaat, yaitu memenangkan pilkada, membuat polemik ini makin tak berarti.


Adi Prayitno
Dosen Politik UIN Jakarta, Peneliti The Political Literacy Institute/rol