RADARRIAUNET.COM - Aneh rasanya membaca SK Kemenristekdikti No 492.A/M/Kp/VIII/2016 tentang Pemeringkatan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Indonesia tahun 2015. Pada tiga baris pertama, daftar nama-nama perguruan tinggi swasta terkemuka itu tidak satu pun PTS Islam.
Bahkan, dari deretan 10 besar, hanya empat PTS Islam yang terdaftar dan sisanya didominasi PTS non-Islam. Hal ini tentu saja akan memengaruhi reputasi PTS Islam itu sendiri. Reputasi sebuah organisasi jasa, terutama jasa pendidikan tinggi, sangat penting karena akan menjadi salah satu acuan penilaian kualitas bagi penggunanya.
Dalam pemeringkatan PTS yang dilakukan setiap tahun itu, Kemenristekdikti menggunakan empat komponen penilaian. Pertama, kualitas sumber daya manusia. Kedua, kualitas manajemen. Ketiga, kualitas kegiatan mahasiswa. Keempat, kualitas penelitian dan publikasi ilmiah.
Jika diteliti lagi, ternyata keempat komponen penilaian itu bermuara pada kualitas sumber daya manusianya, termasuk kualitas mahasiswanya. Kualitas input inilah yang bersama-sama dengan kualitas proses akan menghasilkan output yang berkualitas.
Dengan jumlah penduduk Indonesia yang sebagian besar beragama Islam, logikanya tidak sulit bagi PTS Islam mencari input terbaik. Oleh karena itu, perlu dipertanyakan, ke mana saja calon-calon mahasiswa terbaik berada? Apakah calon mahasiswa yang berkualitas ini memang ada, tapi masih ragu-ragu bergabung dengan PTS Islam? Atau, PTS Islam itu yang dipersepsikan kurang berkualitas? Atau, kualitas yang sudah ada tidak dikomunikasikan dengan baik sehingga para pemangku kepentingan tidak mengetahuinya?
Untuk itu, diperlukan upaya serius untuk mencari penyebabnya. Kalaupun diasusmsikan kualitas PTS Islam sudah mumpuni, perlu diupayakan cara mengomunikasikan keunggulan PTS Islam itu sehingga tidak ada keraguan bagi calon mahasiswa untuk memilihnya.
Jika kita mengacu pada karakteristiknya, perguruan tinggi termasuk organisasi jasa yang mempunyai sifat intangibility (tidak berwujud). Sifat yang melekat pada jasa ini menyebabkan proses pilihannya menjadi berisiko tinggi.
Pada saat mendaftar di suatu perguruan tinggi, calon mahasiswa belum mengetahui kualitas produk jasa intinya. Mereka hanya dapat "meraba" sinyal-sinyal kualitas itu dari hal yang bersifat fisik, seperti akreditasinya, gedungnya, daftar nama-nama dosennya, peralatannya, dan mengevaluasinya bersama-sama dengan informasi dan rekomendasi dari beberapa pihak tepercaya.
Rekomendasi merupakan pertukaran informasi, baik positif maupun negatif, yang dilakukan secara informal antarindividu mengenai suatu produk. Rekomendasi juga diartikan sebagai menyarankan dan atau mengajak untuk bergabung.
Rekomendasi ini sangat penting dalam memengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Kekuatan rekomendasi dari mulut ke mulut berasal dari kenyataan bahwa orang menganggap sumber-sumber komunikasi personal lebih dipercaya daripada sumber komunikasi lainnya, seperti iklan TV dan radio.
Di antara sumber rekomendasi itu, yang paling tepercaya untuk mengomunikasikan sebuah perguruan tinggi adalah yang dilakukan alumninya. Alumni dipercaya sebagai pihak paling kredibel dalam memberikan informasi, bahkan lebih akurat dibandingkan promosi yang dilakukan perguruan tinggi itu sendiri.
Alumni yang sukses merupakan bukti nyata kualitas proses sebuah perguruan tinggi. Alumni yang sukses juga memainkan peran penting dalam membentuk opini publik dan dapat menjadi live brand perguruan tinggi. Live brand bisa digunakan sebagai jembatan ingatan seseorang terhadap almamaternya. Untuk itu, alumni perlu didorong untuk bersedia secara sukarela menyebarkan hal-hal baik tentang kampusnya.
Selama ini yang dibahas dalam banyak diskusi, minat merekomendasikan dari para alumni ini hanya dipahami sebagai hasil respons emosional sebagai akibat kepuasan yang mereka terima dari pihak kampus dan belum dipahami sebagai respons spiritual di mana para alumnus memaknainya sebagai komunikasi dakwah.
Komunikasi dakwah adalah bentuk komunikasi yang hasilnya tidak hanya diperoleh di dunia, tapi menjadi persembahan terbaik bagi Tuhannya. Bentuk komunikasi seperti ini sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan sifat tablighnya. Dalam Alquran surah Ali Imran ayat 104, komunikasi dakwah diartikan sebagai keinginan menyebarkan hal-hal baik.
Lebih dalam lagi, komunikasi dakwah mengarah pada ajakan kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran. Komunikasi dakwah ini harus dimaknai oleh alumni PTS Islam sebagai syiar Islam dan sebagai perjuangan untuk mambantu almamaternya mendapatkan "bibit unggul" dalam upaya menciptakan generasi khaira ummah. Sebuah generasi terbaik, yang tidak hanya kompeten dalam bidangnya, tapi memiliki akhlak mulia dan manjadi suri teladan bagi masyarakat di sekitarnya.
Pertanyaan selanjutnya: bagaimana caranya agar para alumnus dari PTS Islam ini bersedia sukarela mengomunikasikan keunggulan kampusnya kepada calon mahasiswa? Pastinya, mereka harus dipuaskan terlebih dahulu. Kepuasan relasi ini tergantung dari kesesuaian kontribusi organisasi dalam membantu seorang individu mencapai tujuan mereka.
Kepuasan ini semakin mendekatkan alumni dengan kampusnya. Individu akan merasa dekat jika organisasi tersebut membantu mereka mencapai tujuan personal dan jika puas dengan tawaran organisasi tersebut (Mael dan Ashforth, 1992).
Seorang alumnus PTS Islam akan sukarela melakukan gethok tular jika mereka merasa kampusnya mampu memberikan manfaat dunia akhirat. Tidak hanya kompeten dalam bidang keilmuannya, tapi juga membekali mereka dengan nilai-nilai spiritual serta membantu mereka bermetamorfosis dari individu yang "abangan" (tidak tahu-menahu tentang Islam) menjadi seseorang yang siap menerangi lingkungan sekitarnya.
Hong dan Yang (2009) juga menyatakan, jika tawaran organisasi membantu seseorang mencapai yang mereka inginkan, kemudian dia puas tawaran tersebut, dia akan merasa semakin dekat dengan organisasi tersebut.
Untuk dapat menghasilkan alumni yang punya minat tinggi dan secara sukarela melakukan dakwah, dapat dimulai dari proses belajar mengajarnya. Mahasiswa harus dipuaskan emosional ataupun spiritualnya.
Mahasiswa harus mendapatkan "lebih" yang tidak mereka dapatkan di PTS non-Islam atau bahkan PTN sekalipun. Suasana akademis yang Islami dan internalisasi nilai-nilai Islam dalam setiap kegiatan proses belajar mengajar, dapat dijadikan faktor pembeda yang unik.
Kampus dan orang-orang di dalamnya menjadi rumah dan anggota keluarga kedua yang saling membantu, saling menguatkan, dan saling ber-fastabiqul khairat. Kesan yang memorable inilah yang akan menciptakan pemahaman bahwa "Aku adalah kampusku dan kampusku adalah aku".
Ken Sudarti
Dosen FE Unissula Semarang/rol