RADARRIAUNET.COM - Fenomena kejahatan kerah putih atau white-collar crime telah menjadi perhatian para ahli kriminologi. Terlebih setelah konsep white-collar crime dicetuskan oleh Edwin Hardin Sutherland pada tahun 1939.
Pada pertemuan tahunan ke-34, tepatnya 27 Desember 1939 di Philadelphia, Pennsylvania, Sutherland menjadi Ketua American Sociological Society setelah berceramah tentang konsep "white-collar crime" berjudul "The White-collar Criminal" dan diterbitkan pada Februari 1940 dalam American Sociological Review berjudul "White-Collar Criminality".
Konsep white-collar crime merupakan kulminasi dari materi-materi yang dikumpulkan Sutherland sepanjang 13 tahun lebih hingga tahun 1939. Pasca-pertemuan tersebut, ia dianggap sebagai orang yang pertama kali mampu mengidentifikasi secara sistematis, menggunakan, dan akhirnya memopulerkan konsep tersebut.
Definisi yang paling sering dikutip berasal dari tulisannya yang diterbitkan pada tahun 1949 berjudul white-collar crime, "Approximately as a crime committed by a person of respectability and high social status in the course of his occupation." Buku yang dia tulis merupakan hasil studinya selama 20 tahun, berisikan kompilasi ratusan pelanggaran yang dilakukan, termasuk 70 perusahaan terbesar di Amerika Serikat masa itu. Berbagai nama perusahaan tersebut, baru diungkap pada White-Collar Crime: The Uncut Version (1983).
Pada beberapa referensi disebutkan, ide Sutherland terkait white-collar crime dipengaruhi tulisan-tulisan sebelumnya, yaitu Joseph Lincoln Steffens—The Struggle for Self-Government: Being an Attempt to Trace American Political Corruption to Its Sources in Six States of the United States (1903); Upton Sinclair—The Jungle (1906); Edward Alsworth Ross—Sin and Society (1907), yang memberi perhatian pada "the kind of person who hides behind his or her image as a pillar of the community and paragon of virtue to get personal gain through any means necessary" dan menyebutnya sebagai criminaloid; Thorstein Veblen—Theory of the Leisure Class (1912); WA Bonger—Criminality and Economic Conditions (1916); Matthew Josephson—The Robber Barons (1934); serta Albert Morris—yang membahas tentang criminals of the upperworld pada tahun 1935.
Dalam perkembangannya, berbagai diskusi tentang white-collar crime kerap mengesampingkan aspek gender. Padahal keanyataannya, seperti di Indonesia, ada beberapa kasus white-collar crime yang melibatkan perempuan sebagai pelaku dan mendapat perhatian media dan publik. Misalnya Mindo Rosalina Manulang, Miranda Swaray Gultom, Angelina Sondakh, Chairun Nisa, dan Ratu Atut Chosiyah.
Dalam konteks diskusi perbedaan gender dari pelaku kejahatan, secara luas dipahami bahwa jumlah laki-laki sebagai pelaku kejahatan sangat melebihi jumlah perempuan di antara para pelaku kejahatan konvensional. Namun, menurut Dodge (2009), diperkirakan setidaknya terdapat enam laki-laki banding satu perempuan.
Perkiraan tersebut besar kemungkinan merujuk pada situasi paralel bagi pelaku white-collar crime. Weisburd et al (1991) memperkirakan, terdapat dimensi ketidakseimbangan yang proporsional dari data yang dikumpulkan Weisburd et al (1991) dan diperkirakan tingkat penangkapan terhadap perempuan pelaku white-collar crime adalah seperempat atau seperlima dari tingkat penangkapan laki-laki pelaku white-collar crime.
Ketiadaan data memadai dipandang sebagai penyebab utama terjadi ketidakseimbangan yang proporsional dalam mengembangkan diskusi tentang pelaku kejahatan berdasarkan gender. Sebenarnya, lebih dalam lagi diskusi tentang perempuan pelaku white-collar crime selalu berada dalam posisi underrepresentation.
Memang harus diakui, seperti dituliskan oleh Braithwaite (1995) dan Dodge (2009), dominasi laki-laki yang sangat kuat di dalam perusahaan dan pekerjaan di luar rumah tampaknya menjadi faktor paling penting untuk menjelaskan perbedaan keseluruhan atau underrepresentation dari perempuan pelaku white-collar crime.
Untuk tingkat keterlibatan perempuan masih rendah dalam posisi high status atau memiliki kuasa. Huffman, Cohen, dan Pearlman mengatakan (2010), terdapat ketimpangan kuasa di tempat kerja dan perempuan tidak berada dalam posisi elite. Kedua hal tersebut bisa diinterpretasikan sebagai penyebab perempuan memiliki kesempatan jauh lebih sedikit melakukan kejahatan kerah putih.
Salah satu penjelasan yang sering dikutip dalam konteks perbedaan gender dari pelaku white-collar crime, adalah Kathleen Daly (1989), setidaknya terdapat lima kondisi yang menggambarkan jumlah perempuan pelaku white-collar crime yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Pertama, jumlah perempuan pelaku corporate crime atau organizational crime memang rendah, diperkirakan terdapat hanya 1 persen, sedangkan setidaknya terdapat 14 persen laki-laki yang berada dalam kategori ini.
Kedua, secara umum jumlah perempuan pelaku occupational crime memang rendah, bahkan perempuan pelaku bank embezzlement hanya mencapai angka 50 persen (berimbang tidak melebihi jumlah pelaku laki-laki). Ketiga, sangat kecil kemungkinan bagi para perempuan dapat melakukan white-collar crime secara bersama-sama, bahkan lebih kecil lagi kemungkinannya untuk melakukan secara sendiri.
Keempat, keuntungan dilakukannya white-collar crime perempuan jauh lebih sedikit dibandingkan pelaku laki-laki. Kelima, keterlibatan perempuan lebih banyak dilatarbelakangi atau dimotivasi oleh upaya memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, hanya sedikit laki-laki pelaku white-collar crime yang memiliki motivasi serupa.
Selain itu, Steffensmeier dan Allan (1996) mengatakan, perbedaan gender dari pelaku white-collar crime disebabkan adanya interaksi saling memengaruhi antara organization of gender, faktor-faktor biologis, kesempatan untuk dilakukannya kejahatan, perbedaan gender dalam kejahatan, konteks dilakukannya kejahatan, serta motivasi.
Norma-norma gender, kontrol sosial, kurangnya kekuatan fisik, serta kekhawatiran moral dan relasional turut membatasi keinginan perempuan berpartisipasi dalam kejahatan di tingkat subjektif—dengan berkontribusi terhadap perbedaan gender dalam memaknai risiko, kemungkinan untuk didera rasa malu, pengendalian diri, serta penilaian antara biaya dan imbalan hasil kejahatan.
Motivasi berbeda dari kesempatan, tetapi keduanya sering kali saling berkaitan, jika terdapat kesempatan akan meningkatkan godaan melakukan kejahatan. Dalam sebuah perusahaan, perempuan akan melakukan white-collar crime jika tertarik untuk kegiatan-kegiatan yang mudah dan tersedia, berada dalam lingkup keterampilan mereka, memberikan keuntungan atau hasil yang memuaskan, serta membawa risiko paling sedikit.
Jika sosialisasi dan struktur kesempatan kerja bagi perempuan semakin terbuka dan setara dengan laki-laki, salah satu dampak yang akan muncul adalah terdapat kesamaan pola keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam segala bentuk kejahatan kerah putih. Posisi dan kedudukan perempuan yang semakin menjadi lebih baik, menjadikan bisa terwakili dalam elite korporasi, pekerjaan, dan posisi politik, yang menyebabkan semakin besar kemungkinan perempuan terlibat dalam kejahatan kerah putih tersebut.
oleh M Fadil Imran
Doktor di bidang kriminologi pada Program Pascasarjana Departemen Kriminologi FISIP UI/rol